Orang jawa memang dikenal memiliki banyak sekali ritual atau upacara sebagai bagian dari kebudayaan mereka. Pada umumnya upacara tersebut dibagi menjadi tiga golongan. Yang pertama adalah upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan seperti slametan 7 bulanan, mendhak, nyatus, dll. Kedua, upacara yang berkaitan dengan kontak masyarakat beserta siklus alam seperti :bersih desa, ruwat bumi dan upacara panen. Terakhir upacara tata cara kelembagaan seperti garebeg, labuhan, sekatenan, suran, dll.
Dari sekian banyak upacara adat yang dikenal masyarakat jawa, ada salah satu yang unik karena konon dianggap bisa melihat masa depan anak, yaitu mudhun lemah. Mudhun lemah adalah upacara yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia 7 lapan (7×35 hari) atau 245 hari, yaitu ketika bayi sudah mulai bisa menapakkan kakinya untuk pertama kali. Sesuai dengan namanya: mudhun berarti turun dan lemah berarti tanah. Mudhun lemah juga biasa disebut dengan upacara tedhak sinten. Tedhak berarti injak, dan sinten diambil dari kata siti yang berarti tanah.
Upacara ini diawali dengan orang tua menuntun anak berjalan di atas 7 jadah yang memiliki warna berbeda. Eh, jadah ini beda dengan pengertian anak jadah alias anak haram, loh, ya…Jadah yang dimaksud adalah makanan olahan yang terbuat dari beras ketan. Jadah sengaja dibuat berwarna-warni sebagai gambaran bahwa hidup itu ya berwarna-warni: ada senang, ada sedih, ada marah, kecewa, berjuang, dll. Jadi, filosofi berjalan di atas jadah ini adalah sebagai simbol kehidupan yang akan dilalui si anak kelak.
Selanjutnya, anak akan dituntun untuk menaiki tangga kecil 7 susun yang terbuat dari batang tebu arjuna. Pemilihan tebu sebagai bahan dasar bukan tanpa alasan. Tebu dipilih karena kata ‘tebu’ memiliki makna antebing kalbu yang berati penuh tekad dan percaya diri. Harapannya, anak bisa melangkah di kehidupan dengan penuh percaya diri. Ditinggal nikah, ya tetap setroong. No baper-baper. Apalagi mewek sampe 7 hari 7 malam.
Tahapan berikutnya dalam upacara mudhun lemah yaitu anak dimasukkan dalam kurungan ayam besar yang sudah dihias sedemikan rupa. Di dalam kurungan itu sudah diisi dengan berbagai macam benda seperti: sisir, buku, uang, tasbih, peci, pulpen, topi, mobil-mobilan… apa saja. Nah, d isinilah yang menarik. Konon, benda yang pertama kali diraih anak saat dia dimasukkan ke dalam kurungan akan menjadi gambaran anak di masa depan. Memiliki profesi apakah kelak? Apa bakatnya? Jadi misalnya, misal ini loh ya…Ada anak yang mengambil tasbih, maka digambarkan anak tersebut akan jadi ustad atau ulama. Anak ambil mainan suntik-suntikan, berarti kalau besar jadi perawat atau dokter, dst.
Jika dipikirkan secara logika, tentu ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebuah benda yang diambil anak yang belum tahu apa-apa bisa menggambarkan masa depan si anak kelak? Bisa jadi anak mengambil benda tersebut karena tertarik dengan warna atau bentuknya yang lucu. Iya, kan? Tapi perlu diingat juga bahwa ketika kita sedang ngomong soal budaya, kita nggak boleh ngomong logika di saat yang bersamaan. Nggak bakal ketemu. Logika dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak mungkin bersatu. Seperti kamu dan si dia yang sudah nikah duluan. Eh.
Bagaimana dengan saya? Apakah saya juga melakukan upacara mudhun lemah? Benda apa yang kemudian saya ambil?
Orang tua saya juga nglakoni upacara mudhun lemah. Tapi sederhana saja. Tidak pakai acara nginjak jadah, naik tangga dan dimasukan di kurungan ayam. Nggak ada duit. Kurungan ayam juga adanya kurungan ayam beneran punya simbah. Lha masa iya anaknya ini mau dimasukan ke kurungan ayam betulan? Bau tai nanti.
Maka kata ibu, saat itu ibu hanya membuat bubur cadhil sebagai ganti jadah, mencelupkan jempol kaki saya ke dalam bubur dan menurunkan saya ke lantai sambil berdoa untuk kebaikan saya. Nah, nggak jauh dari tempat saya diturunkan itu sudah disiapkan berbagai macam barang yang bisa saya pilih. Dan ternyata, saya memilih…pulpen dan buku! Hahaha…
Ketika melihat anak perempuannya mengambil dua benda itu, bapak sama Ibu auto panik. Dalam bayangan ibu, aduh nih anak jangan-jangan gedenya jadi tukang catetin kredit! Tahu sendiri kan, jaman doeloe itu di kampung yang yang pegang pulpen dan buku itu ya tukang kredit keliling. Dan ibu khawatir sekali kalau anaknya ini nanti bakal jadi seperti itu. Maka dicobalah segala cara menukar benda yang sudah saya ambil. Diganti uang, saya nggak mau. Nangis. Diganti suntik-suntikkan, saya njerit. Diganti kacamata juga nggak mau. Ngosek. Akhirnya mereka nyerah. Buku dan pulpen itu dikembalikan lagi ke tangan saja. Hehehe…
Tapi kalau toh saat ini benar buku dan pulpen jadi pegangan saya sehari-hari-–ye kan saya guru, masa pegang ember! Saya yakin bukan karena dua benda itu yang dulu saya pilih saat mudhun lemah. Tapi itu karena dorongan dari doa kedua orangtua yang terus mengalir tiada henti ke saya. Ya nggak, sehh?
BACA JUGA Mengenal Istilah-istilah Kelamin yang Digunakan Orang Jawa untuk Memanggil Anak dan tulisan Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.