Tumpahkan tangismu di Ring Road Jogja. Sebab, ialah penyembuh luka yang menganga di jiwa.
Kata orang, Jogja adalah pecahan surga yang jatuh dari langit, turun menuju Bumi Yogyakarta, dan menjadi bagian di dalamnya. Berbagai karya menyebut Jogja sebagai kesatuan indah yang tidak bisa diganggu-gugat. Tiap tikungan, tiap pojokan, dan jengkalnya adalah kenangan. Langit yang memeluknya adalah selimut penuh romansa yang menguap dan turun kembali melalui hujan dini hari. Ya, begitulah kata orang-orang ketika meromantisasi kota ini. Dengan anggukan yang paling khusyuk, saya setuju.
Namun, ada suatu babak dalam kehidupan ketika anggapan-anggapan menguap menjadi tanda tanya bagi kawan-kawan, kolega, atau saudara di luar daerah. Acapkali mereka bertanya, apakah Warga Jogja bisa sedih? Kan Jogja sendiri merupakan sebuah “panggung hiburan” yang tak pernah libur untuk menghibur. Kemudian ada juga yang berkata, Warga Jogja diciptakan untuk bahagia. Sampai-sampai, rekan sejawat saya yang berasal dari luar daerah mengatakan bahwa saya tercipta untuk menghibur mereka dengan celetukan yang dianggapnya lucu.
Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut, saya hanya bisa bilang bahwa kami adalah manusia biasa yang kebetulan dilahirkan di Bumi Yogyakarta. Nggak makan seharian ya pastinya lapar, nggak minum seharian ya pastinya haus, nggak nyawang dia di medsosnya sehari saja ya rasanya ambyar. Samalah dengan kalian yang berada di daerah mana pun, saya yakini itu. Kemudian, apa saja yang biasa muda-mudi ambyar ini lakukan ketika sad? Mubeng Ring Road seakan menjadi sebuah tradisi di balik itu semua.
Ring Road ini adalah jalan yang memeluk Kota Jogja dan seisinya. Jalan yang berbentuk lingkaran ini dianggap oleh muda-mudi Jogja sebagai hal ampuh mengusir kegalauan hati yang telah menumpuk. Bagai kapsul waktu, Ring Road yang ramai ini memeras otak kita yang sedang menaiki sepeda motor untuk tetap eling lan waspada. Makna tersiratnya adalah kehidupan ini perlu dilakukan dengan teliti dan berhati-hati, sama seperti menaiki motor di Ring Road ini.
Walau kebanyakan kawula muda Jogja melakukan kegiatan ini tanpa tujuan, tapi setelah saya melakukan riset kecil-kecilan (kecil karena lingkupnya adalah teman-teman saya), terdapat maksud terselubung dari kawula muda Jogja melakukan tradisi ini ketika sad.
Pertama, sambil menyelam minum air alias sambil mengusir kebosanan, dibarengi dengan cari jadwal konser Lord Didi Kempot. Padahal, sudah ada media sosial yang memfasilitasi itu semua. Namun, salah satu teman saya bilang, “nemu jadwal Lord Didi di jalan (baliho atau pamflet) rasanya lebih nyess. Dan kebanyakan baliho tersaji di Ring Road.”
Terlepas dari pembahasan tradisi mubeng Ring Road, biasanya hal ini dilakukan oleh mas mbak Sobat Ambyar yang nggak malu untuk bernyanyi dan menangis. Malu kenapa, to? Lha wong semua yang datang ke konsernya Lord Didi ini memiliki berbagai tujuan. Yang pacaran ya monggo, yang mau ngisi feed Instagram ya silakan, kalau mau sad dan melepas beban batin ya harusnya boleh juga, dong? Harus!
Hal ini seperti wahana lain mengusir kesedihan selain mubengi Ring Road. Mereka yang sedang terombang-ambing dalam kegalauan dan nggak tahu cerita sama siapa, pasti menyantroni konser Lord Didi jadi satu dari sekian ribu opsi. Dari konser ini, kita bisa melihat sisi lain dari teman-teman kita. Mbok tenan. Lihatlah temanmu yang biasanya gondyes, ia akan memperlihatkan sisi lain ketika Lord Didi nembang Banyu Langit. Sambil joget, sambil nangis ngetoke eluh neng pipi, suwe ra weruh senadyan mung ono mimpi. Duh, Dek!
Kedua, maksud terselubung dari kawula muda Jogja mubeng Ring Road adalah mencari kafe-kafe terbaik di pinggiran Jogja. Jika mubeng Ring Road bisa menghadirkan perasaan eling lan waspada dalam kehidupan dan kemudian lelah, maka untuk mengobati lelah, kafe sepanjang pinggiran Jogja bisa menjadi tempat yang layak untuk merenung sekaligus kontemplasi.
Dalam suasana syahdu-syahdu penuh rindu, Jogja pinggiran juga menciptakan hal-hal romantis. Mulai dari obrolan orang lain yang selalu masuk ke telingan seperti, “jarene Danu keno klitih, yo!” atau “wingi aku gabur doro nang Pasty malah ra balik-balik, jingan!” yang kadang bisa bikin kamu senyum-senyum nggilani sendiri. Yang jelas, mereka akan memberikan tempat kepadamu jika kamu ingin sendirian dan bahkan jika ingin menangis. Serius! Mereka nggak bakal ngece lha wong nggak kenal.
Di kafe-kafe pinggiran ini juga menyediakan fasilitas pengobat kesedihan. Yakni lagu-lagu yang diputar bisa menyayat-nyayat hatimu. Mulai dari lagunya Denny Caknan seperti Kartonyono Medot Janji dan Sugeng Ndalu. Atau Mbak Happy Asmara yang sedang nembang, “ra sepirone loro ati iki amergo ditinggal pergi, tapi loro ati iki amergo dikhianati,”. Sampai lagunya Aftershine dengan judul Yowes Modaro yang bakal puas kamu dendangkan pada bagian, “waton ninggal lungo, gandeng karo wong liyo, yowes ora popo karma iseh ono, yowes MODARO…”
Ketiga, jika kafe kurang cocok dan kamu ingin tempat istirahat yang lebih intim, maka angkringan sekitaran Ring Road dapat dijadikan opsi. Ada ribuan, dekat Termnal Giwangan hingga Terminal Jombor pun berjejer dengan rapi dan siap kamu kuncingi pasca lelah mubeng Ring Road. Memang tidak ada fasilitas semacam lagu di kafe, tapi ada bakul angkringan yang siap menjadi penasehat terbaik untuk kehidupan yang keras ini. Alasannya simpel, pertama, nggak malu cerita karena nggak kenal. Kedua, bakul angkringan adalah orang yang paling bisa menjaga sebuah rahasia dan penasehat terbaik di tiap problema hidup yang terus melanda. Panjang umur, Pak, Buk bakul angkring di seluruh Yogyakarta.
Keempat, melakukan mubeng Ring Road ketika sedih, kawula muda Jogja jebul punya maksud lain. Berbekal dari FTV-FTV yang sering melakukan syuting di Jogja, kawula muda Jogja ini berniat menemukan manusia baru entah bagaimana caranya. Kata teman saya, “Harapannya, ada mbak-mbak yang kebetulan kurang beruntung ban motornya kebanan (bocor, red), lalu saya bantuin dan kenalan. Kan selain membantu, memiliki maksud lain nggak apa, to? Asal baik.”
Ketika saya tanya bagaimana jika yang kebanan kebetulan sama-sama cowok, apakah dibantu juga? Lalu teman saya menjawab, “Kalau cowok ya kan bisa jadi temen. Siapa tahu hobinya sama, bisa jadi temen ngopi suatu saat. Dan jika ternyata ia juga sedang melakukan tradisi mubeng Ring Road untuk melepas galau, kan siapa tahu bisa jadi teman sharing.”
Mubeng Ring Road memang menyenangkan. Kita bisa melihat keindahan Jogja melalui kemacetannya. Kita juga bisa melihat bahwa baliho-baliho di perempatan besar sudah membuat sudut pandang yang baru akan sebuah kegetiran. Pun hotel-hotel yang tinggi menjulang sudah terlampau menggeser wajah cerah kota ini. Semua bisa kita sapu menggunakan mata, bisa diolah dengan perasaan, dan bisa direnungkan menggunakan pikiran ketika melakukan tradisi mubeng Ring Road dengan cermat.
Namun, mubeng Ring Road bukan perkara sepele. Jika tradisi sad ini dilakukan dengan cara asal-asalan, bukannya sedih hilang malah dapat kemalangan. Hanya orang-orang siap dan berpikiran dewasa saja yang bisa melakukan ini. Kenapa harus orang-orang yang siap? Karena tradisi mubeng Ring Road bagi kawula muda Jogja sangat diwajibkan memiliki SIM dan STNK lengkap terlebih dahulu. Lak yo ra lucu kalau galau hilang tapi malah ditilang.
Mubeng Ring Road juga harus berhati-hati, ya. Pakai helm, taat aturan, dan jangan merugikan pengguna jalan yang lain. Galau boleh, tapi jangan sampai fokus kamu hilang. Iya saya paham kok kamu sedang sedih, tapi kan masih banyak yang sayang kamu di bumi Yogyakarta yang indah ini. Saya dan pembaca setia Mojok yang lain salah satunya.
BACA JUGA Jogja Berkata: Rene-Rene Sambat!!! atau tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.