Tiga tahun tinggal di Morotai bikin saya makin nggak paham gimana negara ini dikelola
Apakah kalian pernah mendengar Pulau Morotai? Belum pernah? Nggak apa-apa, kalian nggak sendirian kok. Meskipun memiliki keindahan alam yang luar biasa dan kerap disebut Maldives versi Indonesia, nama Morotai memang kalah populer dibandingkan Bali, Lombok, ataupun Raja Ampat.
Pulau Morotai sendiri berada di ujung utara Provinsi Maluku Utara. Sebelah utara Morotai adalah Samudera Pasifik, di sebelah timur dan baratnya adalah Laut Halmahera, sementara di sisi selatannya adalah Selat Morotai. Dikepung laut dan samudra membuat Morotai memiliki keindahan bawah laut yang membuatmu terpana. Mayoritas penduduknya juga bekerja sebagai nelayan dengan komoditas unggulan ikan tuna.
Ketika saya bilang keindahan yang bikin terpana, percayalah, saya hanya tak bisa mencari kata yang lebih tepat. Bayangkan ketika Anda melihat sesuatu yang indah, hingga tak bisa lagi berkata-kata. Itulah yang saya rasakan ketika melihat keindahan bawah laut Morotai.
Saya berkunjung ke Morotai pertama kali sekira tiga tahun lalu untuk bekerja —membangun jaringan telekomunikasi (BTS)—di Desa Nakamura, kurang lebih 11 km dari Daruba, Ibu Kota Kabupaten Pulau Morotai. Daruba boleh dibilang kawasan paling ramai dan pusat pemerintahannya. Namun, jangan dibayangkan seramai Jogja. Apalagi membayangkan ada gedung pencakar langit, kampus megah, dan Bandara Internasional. Nggak ada yang seperti itu, Gaes.
Meski saya tadi bilang Morotai adalah Maldives-nya Indonesia, tapi jangan bayangkan Morotai terlihat mewah. Well, beberapa tempat punya kemewahan yang tak terbayangkan, tapi mayoritas nggak. Bangunan rumah di Morotai masih terlihat sederhana. Bioskop dan resto Jepang? Buang jauh-jauh dari pikiranmu.
Sependek ingatan saya, Morotai hanya punya satu kampus bernama Universitas Pasifik Morotai dengan gedung dan fasilitas yang tak lebih megah dari sekolah swasta di Surabaya. Jumlah mahasiswanya pun tak banyak. Menurut Iswan—akamsi sekaligus mahasiswa Universitas Pasifik, dalam sekali wisuda hanya ada sekitar 150 sampai 200 orang saja.
Iswan juga curhat ke saya kalau fasilitas pendidikan di Morotai sangat tertinggal dibandingkan di Pulau Jawa. Di Morotai, toko yang menjual buku perkuliahan juga hampir nggak ada. Boro-boro ada Mojokstore atau EA Books, Gramedia saja nggak masuk, Nder.
Berkunjung ke Pulau Morotai menyadarkan saya satu hal: pembangunan di Indonesia tidak merata dan njomplang antara Pulau Jawa dan luar pulau Jawa adalah benar adanya.
Di saat orang-orang di Jawa sudah menikmati fasilitas internet 4G (sekarang mulai 5G), di Morotai masih dalam proses membangun beberapa BTS lagi agar penduduknya bisa menikmati layanan internet secara merata di seluruh wilayah kabupaten. Catat, merata. Artinya, pulau yang tak besar-besar amat tersebut, tak semuanya menikmati sinyal yang rata.
Kabupaten Pulau Morotai dengan luasan 2.337 Km², pada 2020 hanya memiliki sekitar 29 buah BTS (Base Transceiver Station). Bandingkan dengan Surabaya, pada 2018 saja sudah ada 113 BTS.
Baca halaman selanjutnya
Negara yang abai dengan permatanya sendiri