Mojokerto kota paling kecil se-Indonesia yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Perlahan kota ini mulai menunjukkan spirit-spirit kemajuan. Kalau tidak percaya, lihat saja pembangunan infrastruktur, transportasi umum, dan fasilitas publik lain di kota ini.
Kehadiran Sunrise Mall menjadi salah satu tanda kota mungil ini mulai dilirik investor. Artinya, investor melihat ada potensi dari kota ini. Perkembangan lain terlihat dari penataan kota yang makin apik. Sebut saja Alun-Alun Kota Mojokerto yang dahulu tampak kumuh sekarang begitu bersih. Belum lagi sentra kulinernya bernama Skywalk Mojopahit yang ala-ala rooftop. Warga jadi nggak malu lagi kalau harus nongkrong di sana dan memotretnya untuk Instastory.
Banyak perubahan positif lain di kota dengan sebutan Kota Onde-Onde ini. Misal, beberapa jalan raya rusak yang sudah diperbaiki, Gelora A Yani yang direstorasi, hingga beroperasinya Bus Trans Jatim.
Akan tetapi, di balik perkembangan itu, saya merasa ada beberapa hal yang luput dari spirit kemajuan Mojokerto. Warga resah pemerintah setempat telah melupakan 3 persoalan klasik yang masih menjamur ini karena terlalu fokus mempercantik kotanya.
Daftar Isi
Masih banyak pengemis dan anak jalanan di jalanan umum Mojokerto
Masalah pertama yang dari dulu hingga sekarang masih meresahkan warga adalah pengemis dan anak jalanan atau PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Konon, PMKS di Mojokerto ini sempat diberdayakan dinas sosial. Namun entah kenapa, setiap kali saya pulang dari Kediri ke Mojokerto, mereka masih menjamur di tempat-tempat umum, khususnya di persimpangan atau lampu merah.
Saking seringnya ketemu, saya itu sampai hafal kalau mereka pasti ada di persimpangan Jalan Pahlawan, Jalan Gajah Mada, dan Jalan Empunala. Mereka berada di sana dari siang sampai tengah malam.
Selain PMKS, ada juga pengamen. Saya pribadi sejujurnya nggak begitu jengkel dengan keberadaan pengamen. Malah, terkadang saya terhibur ketika lagi di persimpangan jalan atau di tempat-tempat hiburan. Hanya saja, saya merasa jumlah pengamen di Mojokerto itu buanyak betul. Mulai dari pengamen angklung, gitar, kentrung, hingga ketipung, itu ada semua di persimpangan jalan dan di beberapa tempat hiburan.
Saking banyaknya pengamen di Mojokerto, kemana-mana saya sengaja membawa uang seribuan atau koin. Kejadian yang sering terjadi, para pengamen datang ke saya secara bergiliran hingga uang recehan saya habis. Masalahnya, mereka kadang memaksa dan jadi galak kalau nggak saya kasih uang.
Persoalan sampah yang nggak kunjung tuntas
Lalu masalah kedua yang dari dulu hingga sekarang tak kunjung tuntas adalah sampah. Persoalan ini sudah lama menghantui Mojokerto. Namun, berdasar pengamatan saya terakhir pulang ke Mojokerto, TPS Benteng Pancasila, sungai di Desa Gembongan, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto menjadi yang paling parah.
Asal tahu saja, TPS Benteng Pancasila dulu sempat viral di Instagram, gara-gara tumpukan sampahnya sampai meluber ke jalan raya. Bagi saya, wajar jika ada yang memviralkan. Sebab, bau busuknya itu jelas nggak banget untuk kawasan yang hampir setiap hari ramai dikunjungi wisatawan.
Pemkot Mojokerto sempat menanggapi, masalah bau sampah itu karena karena armada pengangkut sampah lagi rusak. Mereka berjanji akan segera memperbaikinya. Namun, tempo hari saya ke sana, masih ada saja tumpukan sampah yang menimbulkan bau nggak sedap itu.
Penguna jalan yang “buta” lampu merah
Seorang teman pernah berkelakar, Mojokerto kota yang menyenangkan selama kalian nggak terjebak di lampu merah. Saat itu saya hanya tertawa saja. Namun, perlahan saya renungkan, candaan itu benar adanya.
Pengguna jalan di Mojokerto memang nggak kebut-kebutan atau ugal-ugalan. Bahkan, saya berani jamin, tipe berkendara mereka bisa dibilang cenderung pelan. Namun, ketika bertemu dengan lampu merah, pengguna jalan di Mojokerto bisa begitu mengesalkan. Mereka saling klakson, menyerobot dengan asal, tidak lupa sumpah serapah di sana sini.
Hingga detik ini saya nggak tau apa yang membuat pengendara di Mojokerto bersikap demikian. Padahal kalau tidak bertemu dengan lampu merah, mereka bisa dengan sabar berkendara. Namun, entah mengapa kesabaran itu seolah menguap entah ke mana ketika terjebak lampu merah.
Di atas beberapa keresahan warga Mojokerto di tengah kemajuan kota yang begitu pesat. Warga hanya takut pemkot terlalu asyik mengembangkan kota hingga lupa ada persoalan-persoalan yang belum selesai. Saya rasa, kalau masalah klasik ini nggak kunjung dibenahi, bisa berdampak buruk pada perkembangan Mojokerto ke depan.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Bertahun-tahun Merantau di Kediri Bikin Saya Sadar, Nggak Semua Orang Bisa Cocok Hidup di Daerah Ini
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.