Mojokerto Belum Pantas Punya Pelican Crossing, Pengendaranya Udik Plus Nalarnya Remuk!

Mojokerto Belum Pantas Punya Pelican Crossing, Pengendaranya Udik Plus Nalarnya Remuk!

Mojokerto Belum Pantas Punya Pelican Crossing, Pengendaranya Udik Plus Nalarnya Remuk! (Unsplash.com)

Menjelang masa nataru kemarin, saya sempat senang mendengar rencana kebijakan Pemkab Mojokerto terkait pengendalian lalu lintas. Akhirnya, traffic light akan diperbanyak di beberapa daerah rawan kecelakaan. Selain itu, pelican crossing pun akan dipasang di sebagian area sekolah, terutama yang belum memiliki zona selamat sekolah (ZoSS).

Sebagai warga asli, tentu awalnya saya punya ekspektasi tinggi. Membayangkan lalu lintas di Kabupaten Mojokerto mulai terawat seperti kota-kota besar. Juga berharap anak-anak bisa pergi sekolah dengan tenang; tidak perlu lagi terburu-buru berangkat terlalu pagi hanya demi menghindari potensi kecelakaan.

Nahasnya, setelah pelican crossing sudah beroperasi mulai awal 2024, ekspektasi saya tersebut hanya ada di atas kertas. Realitasnya, alat bantu penyeberangan itu sampai sekarang tidak ada harganya di kabupaten ini. Lalu lintasnya masih nggak karu-karuan, masih mengancam nyawa orang-orang yang menyeberang.

Justru satpam sekolah yang lebih diperhatikan

Penyebab utamanya tidak usah ditanya, sudah barang tentu pengendara yang nalarnya remuk. Mulai dari pengendara motor, mobil, hingga truk, semuanya remuk. Soal apakah mereka sengaja menghiraukan, atau belum paham tentang pelican crossing, saya nggak tahu. Yang jelas, belakangan saya selalu menyaksikan pelanggaran lalu lintas di beberapa kawasan sekolah.

Ada empat spot pelican crossing yang sempat saya lewati. Yaitu di SD Negeri Jetis 2, SDN Mojodadi, MA Al-Musthofa, dan MAN 1 Mojokerto. Selama lewat sana, nggak pernah sekalipun saya lihat pengendara tertib berhenti setelah anak-anak sekolah memencet tombol pelican crossing. Malah, saya yang was-was karena berhenti sendirian, sementara pengendara di belakang terus tancap gas.

Untungnya, sebagian sekolah punya satpam, seperti MA AL-Musthofa dan MAN 1 Mojokerto. Pengendara brengsek itu baru mau berhenti kalau disetop sama satpam. Tapi itu cuma di sebagian sekolah, yang lainnya saya nggak tahu gimana nasibnya. Yang pasti dari sini jelas, bahwa kebanyakan pengendara di Mojokerto lebih memperhatikan satpam sekolah ketimbang pelican crossing.

Mojokerto belum pantas untuk punya pelican crossing

Saya pikir, Kabupaten Mojokerto memang masih belum pantas untuk punya pelican crossing. Soalnya ya masih banyak pengendara yang nalarnya remuk. Ibarat ujian sekolah, pengendara di kabupaten ini anak SMA yang masih remidi. Masih harus menyelesaikan soal-soal pelajaran umum, sebelum akhirnya belajar pengetahuan spesifik di perkuliahan.

Sebagai contoh, soal berhenti di lampu merah. Sampai sekarang, mana pernah persimpangan macam Perempatan Kemlagi atau Perempatan Sooko lalu lintasnya tertib. Setiap hari pasti berbagai jenis pengendara selalu berperilaku ndlogok tanpa malu. Sudah tahu jalannya sempit, padat pengendara, lampu masih merah, tapi tetap saja nekat menyerobot.

Atau kalau mau contoh yang lebih dewasa, coba lihat jalanan kampung seperti di Desa Parengan atau Sidorejo. Di sana banyak sekali speed bump (buatan warga sendiri) yang nggak punya harga diri. Sudah ada peringatan pelan-pelan, banyak anak kecil, tapi tetap saja pengendara kebut-kebutan. Dan nggak heran, karena nalarnya memang masih remuk.

Maka buat saya, kalau sarana pengendali lalu lintas yang jelas-jelas memaksa pengendara tertib saja masih dilanggar, bagaimana mungkin mereka bisa patuh begitu saja pada pelican crossing. Lampu lalu lintas itu jelas butuh kesadaran mandiri pengendara, nggak perlu dipaksa untuk bisa tertib.

Butuh pengawasan dan pendampingan

Kalaupun Pemkab Mojokerto beneran mau memaksimalkan pelican crossing, saran saya, sementara ini perlu ada pak polisi yang mengawasi dan mendampingi penyeberang. Sebab, kebanyakan pengendara di sini nggak peduli sama rakyat-rakyat kecil yang menyeberang. Mereka baru mau menghargai, bahkan hormat ketika di situ ada orang yang berseragam aparat.

Lagi pula, sejak lampu lalu lintas itu dipasang, setahu saya belum ada upaya mensosialisasikan mekanisme pelican crossing kepada para penyeberang dan pengendara. Dengan begitu langkah ini sekaligus bisa menjadi upaya mengedukasi soal pelican crossing. Siapa tahu pengendara yang nalarnya remuk itu memang belum paham soal aturan lampu lalu lintas ini.

Tilang manual bisa jadi solusi terakhir untuk Mojokerto

Kemudian, jika setelah pengawasan dan pendampingan masih ada pengendara yang melanggar, maka tidak bisa tidak, solusi terakhir adalah menilangnya manual. Kenapa kok manual? Karena pengendara yang melintas itu biar tahu secara langsung, bahwa pelican crossing memang sarana penting untuk menjaga hak pejalan kaki. Toh, ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 pasal 131 ayat (2).

Kalau memang Pemkab Mojokerto mau mengayomi warganya, saya pikir, langkah-langkah tersebut tidak begitu berat. Atau kalau memang dirasa kurang tepat, ya sebagai warga asli, saya berharap semoga pelican crossing di kabupaten ini benar-benar berfungsi. Benar-benar bisa menjadi representasi dari kepedulian pemkab, tidak hanya sekadar ornamen-ornamen jalan.

Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Pelican Crossing di Malang: Antara Ada dan Tiada

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version