Apa yang bakal sering dibahas ketika menyongsong pemilu? Banyak sih, mulai dari isu SARA sampai perkara ramalan siapa yang akan jadi presiden. Salah satunya pasti ramalan dalam Jangka Jayabaya. Banyak orang mengaitkan isi dari kitab ini dengan situasi Indonesia, entah masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Kitab yang konon meramalkan masa depan Indonesia ini menyimpan ratusan “ramalan”. Beberapa ramalan konon sudah terjadi. Apa saja ramalan yang sudah terjadi itu? Dan lebih penting, apakah Jangka Jayabaya benar-benar ramalan masa lampau?
Daftar Isi
- Siapa yang menulis Jangka Jayabaya?
- Jangka Jayabaya ada demi kepentingan politis
- Ramalan yang (katanya) terjadi
- #1 Kereto mlaku tanpo jaran, tanah Jawa Kalungan Wesi (Kereta berjalan tanpa kuda, tanah Jawa berkalung besi)
- #2 Semut ireng anak-anak sapi (Semut hitam anak-anak sapi)
- #3 Kejajah saumur jagung karo wong cebol (Terjajah seumur jagung oleh orang kerdil)
- #4 Kodo Ijo ongkang-ongkang (Katak hijau duduk berleha-leha)
- #5 Ratu ora nepati janji, musna kekuasaane (Raja tak menepati janji, musnah kekuasaannya)
Narasi tentang Jangka Jayabaya selalu sama: ditulis oleh Prabu Jayabaya, raja Kediri yang digdaya dan dikenal sebagai peramal. Tapi, apa iya begitu? Apakah Prabu Jayabaya benar-benar menulis kitab fenomenal ini?
Sebenarnya asal muasal kitab ini masih diperdebatkan, tapi mayoritas ahli sepakat jika Jangka Jayabaya bukanlah karya dari Prabu Jayabaya. Salah satu alasannya adalah tidak adanya bukti valid tentang penulis kitab ini. Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, pujangga era Prabu Jayabaya, juga tidak pernah menyebut Prabu Jayabaya memiliki karya tulis apa pun. Dan lebih penting, kitab ini baru muncul pada tahun 1600-an Masehi.
Lantas siapa yang menulis kitab tersebut? Ada beberapa versi yang beredar, salah satunya terkait dengan Sunan Giri III. Karya beliau berjudul Kitab Musarar disebut sebagai sumber dari Jangka Jayabaya. Sedangkan versi Jangka Jayabaya yang dianggap “asli” digubah oleh Pangeran Wijil. Dan sekali lagi, bersumber dari Kitab Musarar.
Versi kedua menyatakan bahwa Jangka Jayabaya ditulis oleh Ranggawarsita, pujangga besar Jawa. Alasan utamanya adalah isi ramalan itu terkesan mendukung Serat Kalatidha, karya Ranggawarsita tentang zaman edan. Akan tetapi versi kedua ini masih diperdebatkan. Apakah Ranggawarsita yang menulis Jangka Jayabaya, atau malah menyadur isinya ke dalam Serat Kalatidha?
Jangka Jayabaya ada demi kepentingan politis
Dari kedua versi lahirnya Jangka Jayabaya, semuanya bermuara pada hal yang sama: kepentingan politis. Dari versi pertama, Jangka Jayabaya dipandang memperkuat validasi Giri Kedaton, yaitu pesantren Sunan Giri yang punya kekuatan besar hingga dijuluki “kedaton” alias kraton. Isi kitab itu seolah mendukung lahirnya Giri Kedaton sebagai bagian dari ramalan masa silam.
Sedangkan versi kedua menilai Jangka Jayabaya dan Serat Kalatidha adalah alat proter Ranggawarsita pada Kasunanan Surakarta. Serat Kalatidha ditulis ketika pangkatnya di Kraton tidak dinaikkan sesuai harapan sehingga dia melempar kritik kepada pemerintahan Kasunanan Surakarta yang disebut telah masuk zaman gila atau zaman edan.
Tidak hanya kelahirannya, Jangka Jayabaya juga dipelihara sebagai alat politis di era modern. Dari pra kemerdekaan, konsep Ratu Adil dari Jangka Jayabaya mendapat tempat spesial dalam perjuangan. Dari Cokroaminoto sampai Soekarno disebut sebagai Ratu Adil yang akan memerdekakan Indonesia.
Akhirnya Jangka Jayabaya terus dipelihara dengan banyak alasan. Beberapa tokoh menjadikannya sebagai cara memenangkan hati rakyat, sekaligus menyebut tokoh lain bagian dari zaman edan. Sisanya terus membahas kitab ini untuk menjawab berbagai peristiwa yang terjadi, termasuk pandemi dan bencana alam.
Ramalan yang (katanya) terjadi
“Tapi, bukankah ada ramalan yang terbukti?” Saya sih tidak bisa menolak 100 persen. Memang Jangka Jayabaya disebut ramalan karena beberapa poin dalam kitab ini jadi nyata. Namun sebelum kita percaya lebih jauh, saya mau mengingatkan beberapa hal lagi.
Pertama, isi Jangka Jayabaya memang cukup fleksibel. Seperti ramalan pada umumnya, tidak ada muatan yang tegas meramalkan sesuatu. Maka bisa jadi ramalan yang jadi nyata itu karena Anda cocok-cocokkan saja.
Kedua, perkara kapan ditulis. Jika teori Sunan Giri atau Ranggawarsita ini benar, kitab ini bukanlah karya kuno dan beberapa ramalan yang terbukti nyata sebenarnya sudah terjadi saat “penulis sebenarnya” hidup.
#1 Kereto mlaku tanpo jaran, tanah Jawa Kalungan Wesi (Kereta berjalan tanpa kuda, tanah Jawa berkalung besi)
Ini adalah ramalan paling populer dari Jangka Jayabaya. Kebetulan, ramalan ini juga membuka kitab fenomenal ini. Banyak yang menghubungkan bahwa ungkapan ini meramalkan kereta api dan kendaraan bermesin masuk ke tanah Jawa. Kalungan wesi dianggap sebagai rel kereta yang mengelilingi tanah Jawa.
#2 Semut ireng anak-anak sapi (Semut hitam anak-anak sapi)
Ungkapan ini dianggap meramalkan kedatangan Bangsa Eropa ke Indonesia. Istilah semut hitam menggambarkan bagaimana tentara kolonialis dari Eropa yang berbaris memasuki Indonesia. Ada juga yang menyebut semut hitam juga menggambarkan keuletan bangsa Eropa. Sementara itu, anak sapi disebut merujuk pada kebiasaan orang Eropa untuk minum susu sapi.
#3 Kejajah saumur jagung karo wong cebol (Terjajah seumur jagung oleh orang kerdil)
Ini ramalan yang disebut sebagai bukti kehebatan Jangka Jayabaya. Ungkapan ini dianggap merujuk pada penjajahan Jepang pada era Perang Dunia II. Selain sangat cepat yang dipandang seumur jagung, orang Jepang juga dianggap pendek alias kerdil. Akan tetapi, beberapa orang menilai ungkapan ini menggambarkan kedatangan orang Mongol saat masa akhir Kerajaan Kediri.
#4 Kodo Ijo ongkang-ongkang (Katak hijau duduk berleha-leha)
Istilah ongkang-ongkang memang susah diterjemahkan, tapi maknanya adalah tingkah laku yang jumawa dan cenderung congkak. Nah, ungkapan ini dipandang meramalkan Orde Baru di mana ABRI yang berseragam doreng hijau berkuasa dan semena-mena. Ungkapan ini, meskipun bisa sangat bias, dijadikan bukti kehebatan ramalan Jangka Jayabaya.
#5 Ratu ora nepati janji, musna kekuasaane (Raja tak menepati janji, musnah kekuasaannya)
Ungkapan satu ini juga cenderung bias dan bisa menggambarkan berbagai pemimpin dalam sejarah Indonesia. Ada yang menganggap raja yang dimaksud adalah Pakubuwono III yang dinilai tidak menepati janji para leluhur dan mendekat pada kolonialis Belanda. Ada yang menyebut kalau ini meramalkan Soekarno yang tidak menepati janji kesejahteraan sehingga lengser. Dan tentu saja, Soeharto juga disebut sebagai ratu yang disinggung.
Masih ada banyak poin ramalan dalam Jangka Jayabaya yang dianggap sudah terjadi, namun mayoritas ungkapan di dalamnya lebih dekat dengan urusan moral. Degradasi moral menurut Jangka Jayabaya ini sendiri juga sudah terjadi dari zaman dulu. Sisanya juga terus diotak-atik dan dicari padanannya dengan peristiwa hari ini.
Lalu, bagaimana kita memandang Jangka Jayabaya? Apakah sebagai karya sastra besar atau karya raja misterius yang meramalkan masa depan? Apakah menjadi peringatan atas degradasi moral atau validasi seorang pemimpin?
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Tafsir Lain Ramalan Jayabaya Perihal Masa Depan Jawa yang Dipercaya Akurat.