Dari SMP sampai dengan kuliah, saya bersama keluarga di rumah biasa mengadakan pengajian atau tadarusan dengan mengundang guru ngaji atau ustaz yang sama tiap satu minggu sekali—setiap Kamis malam tepatnya. Anggota keluarga yang biasa ikut mengaji diantaranya Bapak, Ibu, Mbak—kakak saya—, dan saya.
Pengajian biasanya dimulai setelah Maghrib sampai dengan adzan Isya. Namun, sesekali terkadang tadarusan dimulai setelah Isya sampai jam sembilan menyesuaikan jam kehadiran Pak Ustaz. Kami memulai pengajian dengan obrolan singkat termasuk juga beberapa pertanyaan jika memang ada yang diajukan atau butuh pencerahan.
Suasana mengobrol dengan Pak Ustaz terbilang akrab dan santai diselingi dengan beberapa canda tawa karena kami sekeluarga sudah saling mengenal satu sama lain cukup lama—sekitar lima tahun.
Materi ceramah dari Pak Ustaz pun selalu menenangkan dan ringan tentang kehidupan sehari-hari juga bagaimana cara bersosialisasi yang baik dengan para tetangga. Sebab menurutnya, selain keluarga inti dan saudara, tetangga menjadi orang terdekat yang dapat memberi pertolongan saat kita terkena musibah.
Seperti halnya pada tahun 2012 lalu, keluarga saya sempat terkena musibah rumah kebakaran. Kejadian berlangsung sekitar jam empat sore. Lantai dua di rumah habis terbakar—tidak ada satu pun yang tersisa—beruntung, kami sekeluarga tidak ada yang menjadi korban. Yang tersisa hanyalah tangis sedih dari Ibu dan Bapak, apalagi kerugian terbilang cukup besar.
Pada kejadian itu, yang membantu memadamkan api adalah para tetangga yang sigap ketika di lantai dua rumah kami terlihat api yang berkobar—mereka beramai-ramai membawa ember berisikan air dan diangkut sampai atap dengan menggunakan tangga kayu seadanya. Saat itu, tidak ada satu pun dari kami—orang tua dan saya—yang berada di rumah, kemungkinan kebakaran terjadi karena listrik yang konslet.
Kerugian dan kehilangan harta bisa dicari lagi, yang penting semuanya sehat dan selamat tanpa kurang sedikit pun, begitu kata Pak Ustaz sesaat setelah musibah kebakaran terjadi. Setelah tadarusan rutin lama tak terlaksana alias harus rehat sejenak karena rumah yang harus direnovasi kembali, akhirnya pada suatu Kamis malam kami kembali mulai tadarusan bersama.
Saat itu semua berjalan seperti biasanya. Sementara di lantai dua di tempat kami mengaji hanya ada saya, Ibu, dan Bapak. Sewaktu Ibu mengaji, saya mendengar suara tangisan di kamar Mbak di lantai dua—tangisan yang terdengar sedih dan tersedu-sedu dan laiknya anak kecil—saya pikir kala itu, “ih, Mbak norak banget kalau lagi marahan sama pacarnya, nangisnya sampai sebegitunya. Malu dong sama Pak Ustaz”. Huuuuu.. huuuuu.. —begitu kira-kira suara tangisnya.
Tangisan itu berlangsung cukup lama, sekitar 20 menit. Saya semakin malu jika Mbak betul-betul menangis sebegitunya hanya karena sedang marahan dengan pacarnya. Tak lama kemudian Mbak naik ke lantai dua dan saya betul-betul kaget, “Loh, Mbak bukannya di kamar dari tadi nangis?” Terus dengan nada yang sama sewotnya Mbak membalas “Apa sih? Dari tadi di bawah kok, lagi nonton.”
Setelah itu, saya langsung menarik Mbak dan bercerita bahwa ada suara tangis perempuan dari kamarnya Mbak dan isak tangis tersebut hilang sewaktu Mbak muncul di lantai dua. Seperti biasa, Mbak yang penakut meminta saya untuk bercerita ke Bapak hal yang baru saja dialami.
Sewaktu saya cerita ke Bapak—karena kurang percaya dengan hal yang seperti itu—beliau hanya berkata, “ah, paling cuma khayalanmu aja. Mana mungkin yang kayak gitu ada—sambil nangis lagi. Minta pertanggungjawaban kamu mungkin. haha,” Bapak hanya tertawa sambil mengejek.
Kami belum berani bercerita ke Pak Ustaz, khawatir jika memang saya salah mendengar. Sampai akhirnya tiba giliran Bapak mengaji, semuanya berjalan seperti biasanya sampai Bapak mengucap shadaqallahul‘adzim dan secara perlahan beliau mendekati saya lalu berkata, “Mas, ternyata betul suara tangisnya. Bapak juga dengar—merinding banget dengernya”.
Akhirnya kami memutuskan untuk lapor ke Pak Ustaz, dan di malam jumat itu saya dengan yang lain langsung membacakan doa untuk yang menangis semalam. Jika itu adalah suara dari mereka yang ingin usil semoga tidak mengganggu lagi. Dan jika itu berasal mereka yang penasaran dan hilang arah, semoga bisa diberi petunjuk—apalagi kini sudah tersedia Google beserta Maps—nya yang sangat berguna.