Menurut Mbah Sastro, kepergian Syekh Leduni yang diusir dari Kesultanan Pajang ini ditemani oleh seorang pembantunya. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Leduni di Dukuh Bawang yang dahulu Dukuh Bawang ini menurut Mbah Sastro bernama Tanjungsari. Hingga melahirkan anak yang sedang dikandungnya selama ini, kemudian anak itu diberi nama Joko Sampurno.
Setelah besar, Joko Sampurno ini mempertanyakan siapa ayah kandungnya selama ini. Karena sehari-hari hidup hanya bersama ibu dan pembantunya. Joko Sampurno kemudian berinisiatif bertanya pada ibunya, siapa ayahnya. Maka ibunya akhirnya memberi tahu Joko Sampurno bahwa Joko Tingkir adalah ayahnya, ialah seorang Raja Kesultanan Pajang.
Joko Sampurno yang mengetahui kenyataan itu dari ibunya menjadi bersemangat untuk menemuinya. Menurut Mbah Sastro, percobaan Joko Sampurno untuk bertemu ayahnya Joko Tingkir terhitung dua kali. Pada sowan pertama gagal, dan Joko Sampurno tidak diakui oleh Joko Tingkir sebagai anaknya.
“Pada sowan pertama, Joko Tingkir nggak percaya dengan Joko Sampurno. Kemudian pulanglah Joko Sampurno kembali, dan bercerita kepada ibunya.”
Mencari Joko Tingkir
Semakin dewasanya Joko Sampurno, keinginannya untuk bertemu dan diakui oleh ayahnya Joko Tingkir masih ada. Joko Sampurno kemudian izin ke ibunya untuk kembali datang ke Keraton agar diakui. Ibunya yang saat itu sudah tua, kali ini mengizinkan dan meminta Joko Sampurno untuk membawa hasil pertanian berupa bawang merah yang besar.
“Ya kamu kalau sowan ke Keraton bawalah ini, bawang merah besar. Tunjukan pada ayahmu bawang ini hasil pertanian. Kurang lebih seperti itu perkataan ibunya pada Joko Tingkir” Sambung Mbah Sastro.
“Jika kamu akhirnya berhasil diakui olehnya, ketika pulang maka bawalah sebuah batu maesan. Begitulah perintah Syekh Leduni kepada anaknya.”
Akhirnya dengan sowan yang kedua sambil membawa hasil pertanian berupa bawang, Joko Sampurno pun diakui oleh Joko Tingkir sebagai anaknya. Saat pulang kembali ke ibunya, Joko Sampurno tidak lupa untuk membawa batu maesan.
Maka karena hal itulah, Joko Sampurno kemudian cukup dihormati oleh warga sekitar. Sebelum Syekh Leduni meninggal, ia sempat berpesan pada anaknya bahwa nanti warga sekitar akan mengunjungi Joko Sempurno karena kabar tentang Joko Sampurno adalah anak dari Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang telah tersebar. Syekh Leduni pun kemudian meninggal, begitupun dengan pembantunya, dan karena menjadi sebatang kara, Joko Sampurno juga kemudian tutup usia. Dengan begitu, makam Syekh Leduni, Joko Sampurno, dan pembantunya kemudian dimakamkan di tempat yang sekarang bernama Punden Bawang.
Meskipun begitu, hingga kini Punden Bawang tetap menjadi salah satu makam di Desa Poleng yang cukup sakral oleh warga sekitar, maupun beberapa orang di luar desa yang tahu akan cerita soal makamnya. Beberapa warga sekitar seringkali ketika mendapat hal baik, ataupun hasil panen yang melimpah, pada bulan-bulan tertentu kerap melakukan sadranan di Punden Bawang.
Menjaga tradisi
Tidak sembarangan orang yang diperbolehkan masuk ke dalam bangunan untuk melihat ketiga makam di dalamnya, akan tetapi jika hanya melihat-lihat saja dari luar masih diperkenankan, tutur Mbah Sastro.
Dari cerita di atas, terdapat sedikit perbedaan dengan apa yang disampaikan pak Pujiono terkait Joko Sampurno yang diakui dan tidak diakuinya oleh Joko Tingkir. Mbah Sastro pun menyampaikan bahwa cerita ini memang diwariskan secara turun temurun, dan tidak ada bentuk fisiknya seperti buku sejarah Punden Bawang. Maka ketika terjadi beberapa perbedaan versi cerita yang beredar menjadi sebuah hal wajar.
Bagi saya ini menjadi sebuah hal menarik, ketika sebuah folklore apabila terus dilestarikan akan tetap menjaga tradisi yang ada dan mungkin bisa memunculkan sebuah tradisi baru. Perihal percaya atau tidak, hal itu tentu saja dikembalikan kepada mereka pada bagaimana menyikapi hal ini. Satu hal yang jelas adalah keberadaan makam ini benar adanya,. Bagi siapapun yang ingin mengunjungi atau melihat langsung ke lokasi, silakan datang saja ke Desa Poleng, Kecamatan Gesi, Kabupaten Sragen. Tepatnya berada di Dukuh Bawang.
Penulis: Rizky Surya Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Misteri Makam Syekh Jumadil Qubro di Puncak Turgo