Diskusi Yu Darti tukang sayur, mas Jon tukang parkir, dan mbah Damin marbot musholla di parkiran kios potokopian sudah mirip ILC saja. Topiknya soal bansos bagi orang miskin terdampak corona. Meskipun nggak saya ikuti sampai kelar, karena mesti beli pulsa listrik ke Indomaret. Kesimpulannya paling nggak jauh-jauh, banyak bansos nyasar ke orang kaya, orang miskin malah nangis kejer ditikungnya.
Saya teringat sebuah story. Tentang seorang gembel miskin bernama Karjan yang tak sengaja reuni dengan teman lamanya. Sebagai simbol pesahabatan, ia diberi oleh temannya yang kaya itu, seekor kambing bandot. Saat on the way pulang, melihat seorang gembel repot menyeret-nyeret kambing, aparat curiga dan gerak cepat menangkap Karjan.
“Orang miskin seperti kamu temannya adalah orang miskin. Orang miskin tidak mungkin memberi kambing kepada orang miskin ”
“Pada suatu saat orang miskin itu ada yang menjadi kaya, itulah yang terjadi, Pak”
“…..Orang kaya, temannya adalah orang-orang kaya. Orang miskin tidak mungkin memberi seekor kambing kepada orang miskin. Berdasarkan pertimbangan itu Saudara, kami tangkap!”
Kisah itu diceritakan ke saya. Oleh Hamsad Rangkuti lewat kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember.
Baiklah, mari coba disepakati cara berpikir aparat penangkap Karjan. Barangkali ini solusi untuk mengakhiri debat yang bikin ndas mumet. Mengidentifikasi Orang Miskin itu Simpel, Cukup Lihat Siapa Teman-Temannya.
Orang miskin, temannya ya orang miskin. Orang kaya, temannya sudah tentu orang kaya. Artis temennya selebritis, sosialita atau setara. Siswa International School, temennya juga bertaraf dunia. Temen-teman kerja saya, juga lulusan SD Negeri seperti saya. Ojol nongkrongnya sama ojol. Tidak konvoi dengan pengendara moge.
Jadi, mindset, orang miskin temennya orang miskin. Itu logis saja. Menganggap miskin itu permanen, ya sah-sah aja. Orang kaya mungkin saja ada yang baik dan akrab seperti kisah bos dengan drivernya. Tapi tidak serta-merta drivernya akan masuk daftar pewarisnya, kan?
Kisah miskin menjadi kaya. Ada, satu dua. Proses menjadi kaya mana mungkin berjamaah. Rame-rame seperti jumatan di masjid. Belajar dari kisah suksesnya, pun harus ditempuh puluhan taun mencapainya, dengan jungkir balik. Orang miskin biasanya habis masa aktifnya, layu sebelum disiram. Mati sebelum menjadi kaya. Tidak heran, Muhadjir Effendy, Menko Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pernah usul: orang miskin harusnya nikah dengan orang kaya.
Jadi, apa sudah press release, laporan statistik orang kaya yang mau nikah dengan orang miskin. Mangkraknya ide ini, sebab menghianati mindset: orang miskin, temannya orang miskin.
Data miskin bukan pula soal indikatornya. Yu Darti, tukang sayur yang disebut tadi, juga fasih. Bedanya aset nyicil mercy dan yang nyicil panci. Meski dia pake kaos yang leceknya semirip oblong kaya Mark Zuckerberg. Tau bedanya WC dengan plunglap. Dia juga tau, semriwingnya kipass angin hadiah jalan sehat agustusan dengan AC. Indikator itu nempel dalam hidup Yu Darti, ibarat untingan kangkung, pete, tempe, dan sejenisnya, kemana-mana pating cranthel di sepeda reotnya.
Mengidentifikasi orang miskin itu simpel, cukup dengan melihat teman-temannya. Mendata orang miskin itu sederhana, cukup mencatat teman-temannya. Kelemahan data orang miskin bermula dari kesalahan strategi rekrutmen petugas pendata.
Ini penting saya utarakan. Maaf, pinjam mantranya Gus Baha. Yang selama ini dilupakan adalah syarat utama: petugas data harus orang paling miskin di RT setempat. Biarlah warga se-RT, rembug pilih satu orang saja yang termiskin. Selanjutnya, biarlah dia mencatat teman-temannya, tetangga satu RTnya.
Orang miskin pasti tau siapa teman-temannya. Nggak usah diajari sosialisasi ke tetangga. Dia bukan tipe orang, di balik kaca mobil yang gelap, berhenti sejenak, karena ada tukang sampah yang lalai gerobaknya parkir melintang di jalan perumahan, menghalanginya lewat.
Sekali lagi, orang miskin, temannya orang miskin. Sehingga, logis, orang miskin, ya dibantu negara. Lewat skema jaminan, perlindungan sosial dan bantuan sosial oleh pemerintah.
Lalu, memangnya orang kaya tidak mau bantu orang miskin? Tidak ada larangan orang kaya untuk beramal. Orang kaya, boleh ngapain aja.. Setelah mapan di dunia. Mosok, mereka nggak pengin bahagia di surga.
Akan tetapi, tugas pemerintah untuk menjamin orang paling susah, sudah disepakati konstitusi. Kecuali kalau setuju mindset nya Gus Dur. Urusan menolong orang susah, orang-orang paling miskin, yang butuh dilindungi dan mendapat bansos, itu urusan masyarakat sendiri. Ini bukan ide jahat. Beliau yang paling percaya, masalah sosial itu bisa diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Baginya, maaf, Kementerian Sosial, nggak usah repot-repot, off saja.
Bagaimana, apa sampeyan masih nyaman berpikir dikotomis. Berpikir kaya dan miskin. Kalo begitu simpulkan saja, termasuk orang kaya atau temannya Karjan?
Jangan khawatir. Untungnya, orang Indonesia itu luwes. Mirip kanebo dicelupin air. So, ada jenis ketiga, yang belum sempat dibahas. Bukan orang miskin, jelas bukan orang kaya. Ini, klaster yang paling banyak, tapi paling tidak jelas ukurannya. Sehari-hari nggak mirip orang miskin. Malah kadang-kadang berakrobat, gimana caranya kelihatan kaya. Tapi kalau kehabisan daya, bisa jadi harus ngaku miskin.
Klaster ini disebut Orang Biasa. Saya termasuk orang biasa. Yah, yang dimaksud biasa sambat. Bagi orang biasa, mentalitas sambat ini karakteristik utamanya. Hanya manusia yang ngga biasa sambat, yang boleh menghujat Iis Dahlia. Yang ngresulo, kesulitan cicilan rumah 250 juta per bulan
Sebentar, ternyata ada juga. Orang Luar Biasa. Orang miskin yang keukeuh, nggak mau dibantu siapa-siapa. Dia bilang, “Saya harus usaha sendiri. Tuhan kasih saya 10 jari dipakai untuk usaha. Itu yang saya tidak mau, Tidak ada alasan lain.” Arogansi nan indah, dari ibu asal Alor ini. Namanya Salomi Malaka, penolak bantuan sembako pemerintah. Jadi perlawanan Salomi terhadap stigma itu makjleb. Menembus jantung Sang Pengeluh seperti saya.
Orang luar biasa, seperti Salomi Malaka, sangat minimalis jumlahnya. Mentalitasnya seperti dirinya, membuat orang miskin tetap survive. Mentalitas demikian menjaga dendam anak miskin mengejar cita-citanya. Dendam untuk menjaga probabilitas merubah nasib keluarga. Mentalitas yang selalu relevan, ditiru untuk semua orang. Tugas pemerintah menyediakan kesempatan, dalam hal ini sebenarnya mereka terlalu pintar untuk diajari teorinya.
BACA JUGA Orang Miskin yang Sebenar-benarnya Miskin Adalah Kaum Marjinal Tanpa KTP dan tulisan Makhsun Bustomi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.