Mie Ayam Pakde Wonogiri kurang nendang di lidah saya.
Saya merantau dari Surabaya ke Jogja sejak 2021. Bertahun-tahun merantau membuat saya cukup percaya diri kalau lidah ini sudah beradaptasi dengan makanan Jogja. Seperti yang kalian tahu, kota ini terkenal dengan cita rasa kulinernya yang manis. Sementara, lidah Surabaya seperti saya senang dengan rasa pedas.
Memang, di banyak kesempatan, saya sudah bisa menikmati kuliner Jogja yang manis itu. Tapi, tetap ada saja waktu di mana saya sama sekali tidak menikmatinya. Biasanya saya kurang bisa menikmati kuliner yang sedang viral. Entah mengapa ada saja yang kurang cocok dengan kuliner viral Jogja. Bisa dari harganya yang overprice, pelayanan yang kurang, hingga rasa yang biasa aja.
Salah satu kuliner viral di Jogja yang ternyata nggak cocok di lidah Surabaya saya adalah Mie Ayam Pakde Wonogiri yang terletak di Wates, Wonogiri. Mie ayam yang populer sejak 2021 ini menawarkan porsi jumbo dan pengalaman menyeruput seporsi mie ayam di samping rel kereta api.
Mencicipinya setelah viral 4 tahun lalu
Setelah bertahun-tahun viral, akhirnya saya berkesempatan mampir Mie Ayam Pakde Wonogiri di Wates, Kulon Progo. Siang itu bertepatan dengan saya harus ngantor ke Wates dan seorang teman mengajak ke sana saat makan siang.
Setibanya di lokasi saya melihat tempat makan ini ramai pengunjung. Saya pun memasang ekspektasi lebih. Pasti ada yang spesial dengan kuliner sehingga masih bisa bertahan setelah viral sekitar 4 tahun lalu. Saya pun memutuskan untuk memesan mie ayam bakso kecil dan segelas es teh kampul.
Sekitar sepuluh menit menunggu pesanan saya tiba. Menurut saya makanan datang cukup cepat mengingat pada hari itu cukup ramai. Hingga seporsi mie ayam bakso kecil tiba di hadapan, saya cukup puas dengan semuanya.
Ternyata Mie Ayam Pakde Wonogiri tidak cocok di lidah saya
Saya terbiasa untuk mencicipi makanan, khususnya yang berkuah, tanpa menambahkan apapun terlebih dahulu. Harapannya agar cita rasa asli dari resep pemilik tempat makan itu dapat benar ternikmati. Ketika pertama kali menyeruputnya, jujur saja saya kecewa.
Mie ayam bakso kecil yang saya pesan terasa tidak medok seperti mie ayam Wonogiri yang biasa saya nikmati. Entah memang resep aslinya seperti itu atau lidah saya yang bermasalah. Sungguh rasanya hambar. Rasa manis gurih yang selalu muncul saat mencicipi mie ayam Wonogiri tidak ditemukan.
Mie ayam yang saya cicipi saat itu tidak akan nikmat jika tidak menambahkan sambal, saus atau kecap. Pengalaman kecewa karena rasa yang biasa saja itu kembali muncul di dalam batin. Kenapa setiap kuliner viral yang saya coba selalu berakhir dengan kekecewaan ya. Kembali aku coba menginstropeksi diri. Ini yang salah lidah saya atau memang saya tidak cocok dengan kuliner yang viral-viral itu.
Terlepas dari rasa yang mengecewakan, bagi saya yang lebih suka mie ayam polos tanpa tambahan apapun, Mie Ayam Pakde Wonogiri tetap patut untuk dicoba. Mampu bertahan hingga lebih dari dua tahun dengan keramaian pengunjung seperti itu tentu banyak orang yang merasa cocok dengan rasanya.
Kembali saya tekankan mungkin memang saya saja yang tidak cocok dengan kuliner viral. Rasa memang harus dikembalikan kepada individu masing-masing. Kekecewaan yang selalu saya rasakan di kuliner viral mungkin mewakili sebagian orang namun saya rasa tidak dengan sebagian besar orang. Toh pada akhirnya konsumen yang akan menilai apakah kuliner-kuliner viral itu layak atau tidak untuk dikunjungi kembali.
Penulis: Arya Bagaskara Putra
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
