Kelas yang (sama saja) sengsara(nya)
Dilahirkan oleh keluarga yang biasa-biasa saja membuat saya bersyukur akan pentingnya makna kehidupan. Banyak hal yang bisa dipetik dengan mencicipi rasa senang dan tenang atas pemenuhan kebutuhan harian yang layak. Tapi terkadang juga merasakan pahitnya kehidupan yang kurang berkenaan dengan keinginan saya dalam aspek tertentu. Dalam pendidikan misalnya.
Sebagai anak yang memiliki kecerdasan yang tidak seberapa dan berasal dari middle class, saya merasakan berbagai ketidakadilan selama menjalani masa-masa pendidikan. Baik dari SD hingga kuliah seperti sekarang ini.
Berbagai bentuk bantuan uang pendidikan tak pernah sekalipun saya rasakan. Mendaftar beasiswa, sudah rontok dengan persyaratan sertifikat lomba. Kalau mau pakai jalur reguler, harus menyertakan surat keterangan tidak mampu, yang jelas tak mungkin saya dapatkan. Padahal pemasukan keluarga saya ya tak sebanding dengan biaya pendidikan.
Aren’t we all the same?
Orang tua saya, sejauh ini, tidak pernah mengeluh biaya pendidikan yang tinggi dan tidak masuk akal ini. Tapi saya yang kena mental. Mereka memang memintaku fokus kepada pendidikan, tapi anak mana yang tak khawatir dengan orang tuanya?
PTN tidak lagi murah, dan tak akan kembali murah
Mindset masyarakat kita perlu dibenahi dalam memandang kualitas pendidikan, harusnya tak lagi berdasarkan status kampus. Kita harusnya tak lagi menilai perguruan tinggi setinggi dulu, semulia dulu.
Anggapan bahwa perguruan tinggi punya prospek cerah dan biayanya murah harus kita buang jauh-jauh. Nyatanya, kesesatan pikir tersebut bikin banyak orang tertipu. Salah satunya, saya.
Saya juga merupakan korban dari sesat pikir tersebut. Ketika saya pertama kali diinformasikan lulus SNMPTN, saya bahagia, seperti kebanyakan pemuda tanggung lainnya. Tapi, saya, sebagai anak dari anggota middle class, terkejut ketika mendapat biaya UKT yang kelewat tinggi. Saya pikir, ekonomi keluarga nggak akan “terluka”, nyatanya malah sebaliknya.
Katanya PTN murah, ini murah menurut siapa, Keluarga Bakrie?
Terlebih, lulus dari PTN tak memberi jaminan apa-apa dalam hidup. Jaminan mudah mendapat pekerjaan pun tak lebih dari omong kosong. Saya sendiri masih mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Baiklah, boleh menuding mungkin saya tak cakap-cakap amat. Tapi, ketika pendidikan kini tak bisa dimungkiri lagi, hanya untuk mencetak karyawan, kenapa pekerjaan tetap saja susah didapat?
Kini saya sering kali menggerutu dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Pendidikan adalah hak segala warga negara, tapi kenapa banyak yang terbebani dengan biayanya?
Pada akhirnya, middle class dan lower class “bersatu” dalam hal ini. sama-sama hancur, sama-sama terkapar jika harus berhadapan langsung dengan biaya pendidikan. Dan hanya ada satu golongan yang jelas tak terdampak. Tentu saja saya tak perlu sebutkan.
Middle class tak akan bisa naik kelas. Lower class akan selamanya mengendap di kerak tangga sosial. Semua karena pendidikan yang benar-benar mahal.
Penulis: Agung Anugraha Pambudhi
Editor: Rizky Prasetya