Mungkin Anda bertanya-tanya, “ada masalah apa sih ini orang nulis hal negatif tentang Kraton Jogja terus?” Ya kalau masalah negatif, saya sih bukan karena masalah pribadi ya. Semata-mata saya cuma ingin bicara hal yang terlewat dari perhatian. Toh kalau bicara hal positif, sudah ada akun romantisasi Jogja yang hobi menyiarkan Jogja rasa Ubud, Jogja rasa Imbeza, dan rasa-rasa ra mashok lain.
Tapi, kalau bicara “masalah”, ada hal yang mengganjal batin saya. Mungkin bukan serta merta masalah pribadi antara saya dan Kraton Jogja. Toh saya ini hanyalah rakyat yang berpegang pada semangat narimo ing pandum. Tapi, masalah sistem feodal yang rentan konflik agraria.
Masalah tadi adalah perkara Sultan Ground (SG). Keluarga saya terlahir di tanah adat Kraton Jogja ini. Sejak eyang buyut saya hijrah ke jantung Kasultanan Yogyakarta, keluarga kami lahir dan besar di tanah yang sama. Dari eyang saya sampai saya sendiri lahir di tanah SG.
Liputan kolaborasi Project Multatuli, Jaring.ID, Tirto, dan lain-lain menggugah hasrat saya. Liputan perihal kasus pencaplokan lahan menjadi SG membuat saya teringat: eyang saya masih tinggal di tanah SG dan terancam digusur. Bahkan kami bersama seperti menanti sangkakala perataan rumah kami demi proyek estetika.
Saya lahir di Tamansari Jogja. Itu lho, istana air yang megah berdiri di samping barat Kraton Jogja. Dahulu, Sri Sultan HB II menyempurnakan mimpi sang ayah untuk membangun istana plesiran yang megah dan berada di tengah danau buatan. Sayang sekali, istana air ini hancur karena gempa Jogja tahun 1867.
Istana ini terbengkalai dan mulai ditinggali orang umum secara liar. Pada masa itu, eyang buyut saya hijrah dari daerah Mangiran yang kini berada di Bantul barat. Eyang saya pun mendaftar jadi abdi dalem Kraton dan mendapat gelar Hangga Binangun.
Pada awalnya, eyang buyut kami, beserta empat orang abdi dalem mendapat tugas untuk merawat area Tamansari serta Pemandian Ambarbinangun. Sultan HB VIII selaku pemberi mandat menggelari tim ini dengan nama Kanca Hangga serta menghadiahi hak guna tanah di Tamansari. Kanca Hangga inilah yang menjadi cikal bakal penduduk di Tamansari.
Sebagai keturunan dari Kanca Hangga, keluarga saya mendapat serat kekancingan magersari. Surat ini adalah “sertifikat” hak pakai tanah sultan ground yang diterbitkan oleh kraton. Surat ini menandakan bahwa penduduk tersebut menempati SG secara legal.
Dan seperti teorinya, yang kami peroleh adalah hak guna dari Kraton. Sejak awal memang sudah diingatkan bahwa Kraton berhak mengusir kami jika tanah tersebut dibutuhkan. Semua yang tinggal di tanah magersari Sultan Ground juga serupa. Termasuk UGM yang juga berdiri di atas Sultan Ground. Jadi kalian para adik tingkat jangan sombong, karena kampus kebanggaan kita bisa digusur kapan saja.
Meskipun demikian, kami tetap mempunyai sertifikat dari negara. Sekaligus rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Inilah keunikan kami karena punya dua sertifikat dan membayar dua pajak. Meskipun pajak dari Kraton tidak berbeda dengan gaji abdi dalem, alias sangat murah. Lumayan, ada yang hal positif yang saya dapat dari Kraton.
Meskipun diakui negara, tapi kami tetap di bawah kendali Kraton. Apalagi disempurnakan dengan UU Keistimewaan yang memberi keleluasaan Kraton dalam urusan tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground (PG).
Puncaknya terjadi pada 2009. Terdapat wacana bahwa lokasi Tamansari akan dikembalikan seperti semula. Alasannya agar mendapat pengakuan dari UNESCO. Wacana ini berarti kami harus siap dan ikhlas diusir dari kediaman kami. Meskipun kami sekeluarga hanya menumpang, kami juga tidak rela jika kami harus terpisahkan dari tanah tumpah darah kami.
Eyang putri saya tidak tinggal diam. Blio sampai menemui salah satu adik HB IX yang pernah menjadi teman akrab saat kecil. Semua warga yang terdampak wacana ini juga mulai panik. Memang, ada janji bahwa kami tidak serta merta digusur. Namun, ada potensi direlokasi ke SG lain yang memungkinkan. Tapi, perkara tanah dan bangunan bukan sekedar barang.
Kami lahir dan besar di Tamansari. Bahkan eyang buyut saya menjadi juru kunci. Setiap jengkal tanah dan situs Tamansari telah seperti bagian dari tubuh kami. Bisa dibilang kami ikut menyemarakkan Tamansari sebagai destinasi wisata. Eyang kakung saya juga jadi pelopor industri batik khas Tamansari. Dan saya pribadi tidak bisa lepas dari ikatan spiritual dengan istana air ini.
Paling sedih ketika melihat ikatan kuat antara kedua eyang saya dengan tanah Tamansari. Apalagi setelah eyang kakung saya mengalami dementia ringan pasca karantina Covid-19. Dalam situasi memori yang kacau, eyang saya selalu memegang senter setiap malam hari. “Biar nanti bisa mengusir orang yang mau menggusur rumahku,” ujar blio penuh takut.
Warga lain juga menanggung rasa yang sama. Setiap saat kami semua bisa tergusur dan meninggalkan tanah kelahiran. Alasannya ya karena ini tanah feodal dan estetika lebih penting dari pada harmonisnya masyarakat Tamansari. Masyarakat yang telah membangun peradaban kreatif, berseni, dan menjadi bagian dari roda industri pariwisata Jogja.
Tapi, inilah kejamnya konflik agraria. Apalagi kalau berurusan dengan tanah SG yang punya posisi unik. Mau sekuat apa ikatan saya, sedalam apa sejarah saya, sampai realitas bahwa saya sekeluarga menyandang gelar Raden dari HB II, saya tetap terancam digusur.
Seperti geger gedhen di Temon dulu, penggusuran bertabir ganti untung tidak benar-benar membuat hati ikhlas. Ikatan emosional dengan tanah tumpah darah tidak bisa dibayar. Maka saya tidak kaget kalau ada masyarakat yang bebal untuk digusur meskipun diiming-imingi ganti untung.
Tapi kalau Anda tinggal di SG, penggusuran harus diterima dengan semangat narimo ing pandum. Segala memori indah bisa dihapus dengan titah raja. Dan sampai saat saya menulis kalimat ini, saya masih belajar menerima realitas. Realitas bahwa kami hanyalah menumpang, tanpa peduli apa yang kami berikan pada tanah tumpangan kami. Belajar amorfati alias mencintai takdir sebagai calon orang yang diusir dari tanah kelahirannya. Narimo ing pandum yang menjadi narimo ing pan-doom.