Kegagalan Manchester City merengkuh trofi Premier League untuk ketiga kali beruntun musim ini sontak mengundang vonis bahwa taji tim besutan Pep Guardiola tersebut sudah asat. Banyak yang menilai tiki taka Guardiola yang membawa Barcelona meraih treble tempo hari sudah basi.
Di samping Liverpool yang emang jago banget semusim belakangan, pokoknya macam-macam deh penghakiman yang intinya menyatakan kalau Manchester City sudah kalah relevan ketimbang Liverpool untuk menyandang predikat sebagai klub terbaik di Inggris Raya. Namun, saya mencoba mengungkap satu faktor kunci mengapa saya berani berasumsi bahwa dalam waktu dekat ini kiamat belum akan mengguncang Etihad Stadium.
Selama satu dekade terakhir, bisa dikatakan Man. City dihuni oleh dua angkatan pemain berbeda yang masing-masing angkatan tersebut kerap disebut sebagai golden generation. Generasi pertama golden generation City di bawah asuhan Roberto Mancini dan Manuel Pellegrini terdiri dari Joe Hart, Vincent Kompany, Yaya Toure, David Silva, Carlos Tevez, Sergio Aguero, dan lain-lainnya.
Sedangkan generasi emas kedua yang diasuh oleh Pep Guardiola diwakili oleh Ederson, Aymeric Laporte, Kevin De Bruyne, Raheem Sterling, Gabriel Jesus, dan yang lain. Hebatnya, dengan dua generasi yang berbeda, City tetap mampu merajai Liga Inggris. Situasi tersebut menandakan proses regenerasi pemain berjalan dengan baik. Manajemen City mampu mengganti pemain yang masuk usia senja atau dinilai sudah redup performanya dengan pemain baru yang lebih muda dan siap mengisi tim utama. Kesuksesan The Citizens dalam melakukan regenerasi tersebut yang akan saya bahas lebih lanjut dan menjadi kunci dalam wacana ini.
Mari kita cermati pola jajan pemain yang diterapkan Manchester City ketika pemain kunci angkatan mereka mulai menua. Semenjak musim 2011/2012 sebenarnya City sudah mulai “belajar” berinvestasi dengan mendatangkan pemain muda dalam wujud pembelian Stevan Savic. Musim depannya mereka kembali mendaratkan pemain belia seperti Jack Rodwell, Scott Sinclair, dan Matija Nastasic. Namun sayangnya perekrutan tersebut agak serampangan dan kurang terukur sehingga nama-nama tersebut tidak mampu bersinar selama berseragam Manchester Biru.
Di samping faktor kualitas, juga kala itu pemain kunci City masih cukup prima untuk bertarung di level teratas. Hal itu menyebabkan kecilnya kans pemain-pemain muda tersebut untuk unjuk gigi. Terlebih setelah menjuarai Liga Primer untuk kedua kalinya pada musim 2013/2014, pola pembelian City dilakukan untuk menambah kedalaman skuat dengan membeli banyak pemain pelapis, seperti Eliaquim Mangala, Fernando, dan Frank Lampard karena materi skuat dinilai sudah mumpuni untuk bersaing di papan atas.
Beda ketika Man. City tidak mampu berkutik atas kedigdayaan Chelsea di bawah asuhan Jose Mourinho pada musim 2014/2015. Inkonsistensi penampilan The Citizens di kompetisi Eropa membuat manajemen mulai berbenah dengan mendatangkan dua nama besar pada awal musim 2015/2016, yakni Raheem Sterling dan Kevin De Bruyne, yang masing-masing berusia 20 dan 24 tahun. Perekrutan dua pemain tersebut menandakan regenerasi mulai dijalankan. Revolusi yang lebih masif kemudian digaungkan ketika Pep Guardiola ditunjuk menggantikan Manuel Pellegrini mulai musim panas 2016.
Pada musim pertama di Etihad Stadium, Pep mendaratkan nama-nama yang digadang-gadang akan menjadi pilar The Citizens di masa depan. Pemain-pemain tersebut yakni Leroy Sane, Gabriel Jesus, Oleksandr Zinchenko, dan John Stones. Selanjutnya pada musim 2017/2018, Ederson, Bernardo Silva, Kyle Walker, Benjamin Mendy, dan Aymeric Laporte masuk untuk bergabung dengan Sergio Aguero cs. Sejak 2015, perekrutan pemain muda City dapat dibilang lebih masif, dan terukur sehingga uang yang dihamburkan tidak menguap semata.
Pada musim 2017/2018 inilah Manchester City akhirnya bisa mereplikasi kedigdayaan mereka di Premier League pada empat hingga lima tahun sebelumnya. Dengan komposisi skuat yang hampir sama sekali berbeda dengan tahun 2012 dan 2014, City berhasil merengkuh kembali trofi liga. Sebuah masa transisi generasi yang bisa dikatakan singkat mengingat banyak tim yang perlu waktu lama untuk melakukan re-building selepas ditinggal generasi emasnya.
Sebut saja Arsenal yang hingga kini urung move on dari generasi The Invincibles. Manchester United yang masih sering sambat gegara ditinggal Class of ’92 dan generasi final Moskow. Liverpool saja butuh waktu sepuluh tahun lebih untuk membangun kembali kekuatannya setelah ditinggal generasi Istanbul.
Situasi tersebut membuktikan apabila kucuran dana yang besar saja tidak cukup untuk mereformasi sebuah tim sepakbola. Pola transfer pemain yang sistematis untuk mewujudkan revolusi yang sempurna adalah hal yang penting. Lihat saja klub seperti Manchester United dan Barcelona, mereka sama sekali tidak kekurangan uang. Namun karena pola pembelian pemain yang sembrono dan tidak relevan dengan kebutuhan tim, perekrutan pemain seringkali berujung kegagalan.
Liverpool saat ini boleh saja berbangga diri karena menjuarai Premier League dengan jarak poin yang sangat jauh dari Manchester City. Namun sehebat apapun The Reds saat ini, belum tentu mereka mampu mereplikasi kekuatan yang sama ketika pemain-pemain kunci mereka memasuki usia senja. Jordan Henderson sudah berusia 30 tahun, Georginio Wijnaldum dan Virgil Van Dijk berusia 29 tahun, sedangkan trisula maut Roberto Firmino-Mohamed Salah-Sadio Mane masing-masing sudah menginjak usia 28 tahun.
Di atas kertas, masa keemasan karier mereka tidak akan berlangsung lama dan tidak ada jaminan manajemen Liverpool mampu meniru kesuksesan Manchester City dalam melakukan regenerasi skuat. Sekarang aja saya rasa kualitas pemain utama dan cadangan Liverpool agak njomplang. Divock Origi, Alex-Oxlade Chamberlain, dan Dejan Lovren bukan materi tim juara. Sungguh sangat beruntung tidak ada pemain kunci The Kop yang absen panjang musim ini. Saya khawatir kegembiraan para Liverpudlian hanya akan berlangsung singkat jika Liverpool tidak cermat dalam menerapkan pola transfer pemain untuk meningkatkan kedalaman skuat dan mempersiapkan regenerasi.
Kita sepakat bahwa Pep Guardiola pastinya amat murka ketika trofi liga tidak mampir ke genggaman tangannya tahun ini. Kita akan melihat Pep akan sangat berambisi untuk merebut piala itu dari pelukan Jurgen Klopp musim depan. Manajemen Man. City juga tidak akan tinggal diam, mereka sudah pasti akan mengevaluasi kegagalan musim ini dan kembali belanja banyak musim depan.
Selain itu, nafas City masih panjang karena mereka segera akan menikmati hasil jerih payah proses regenerasi sistematis. Dengan sokongan dari pemain berusia duapuluh enam tahun kebawah macam Ederson, Joao Cancelo, John Stones, Aymeric Laporte, Benjamin Mendy, Rodri, Bernardo Silva, Raheem Sterling, Gabriel Jesus, dan Phil Foden, kita belum akan melihat akhir dari Manchester City. Kiamat Manchester Biru masih jauh. Saya rasa Blue Moon yang tersohor itu belum akan terbit dari barat dalam waktu dekat. Kini hanya tinggal bagaimana City menahan Guardiola yang kontraknya tersisa semusim lagi.
BACA JUGA Lagu “Kangen” Dewa 19, Tembang Tumpuan Kerinduan Lintas Generasi dan tulisan Damar Senoaji lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.