Ngabuburit, atau menunggu waktu buka puasa biasanya diisi dengan berbagai macam hal. Ada yang mengaji, jalan-jalan sore, olahraga, ngopi (jangan tanya mengapa, pokoknya ada), dan kegiatan-kegiatan lain. Bisa dibilang, ngabuburit ini hanya ada di Indonesia saja, di mana kegiatan-kegiatan sebelum berbuka puasa semuanya dilabeli sebagai ngabuburit. Intinya, ngabuburit ini dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang setidaknya bikin kita tidak terasa kalau waktu berbuka sudah dekat.
Nah, salah satu kegiatan ngabuburit yang bisa dibilang ekstrem namun cukup populer, adalah main petasan atau meriam bambu. Masing-masing tempat pasti punya sebutan sendiri untuk petasan bambu, dan kalau di tempat saya biasanya disebut sebagai “mercon bumbung”, “petasan bumbung”, atau “bumbung” saja. Buat yang belum tahu, petasan bambu ini bentuknya mirip seperti meriam, namun tanpa adanya peluru. Lalu bagaimana caranya meledak? Ya pakai karbit atau minyak tanah (tapi lebih enak pakai karbit).
Caranya membuatnya pun sederhana. Tinggal siapkan bambu sepanjang satu sampai satu setengah meter, dengan diameter sepuluh sampai lima belas sentimeter. Jangan lupa untuk membongkar pembatas ruas bambu di dalam, dan sisakan satu pembatas ruas di bagian bawah. Lalu, bambu bagian bawah (lima sampai sepuluh sentimeter dari ujung bambu) harus dilubangi untuk tempat air dan karbit. Jangan lupa siapkan kain untuk menutupi bagian depan dan bagian lubang atas.
Lalu, bagaimana “meledakkan” meriam bambu? Siapkan karbit batu dan air, serta kayu atau benda panjang lainnya sebagai penyulut. Pertama, pastikan bagian depan bambu dalam keadaan tertutup, dan lubang atas dalam keadaan terbuka. Masukkan air ke dalam bambu melalui lubang atas, secukupnya saja, jangan banyak-banyak. Lalu masukkan karbit, juga secukupnya, dan cepat-cepat untuk menutup lubang atas. Tunggu sekitar satu atau dua menit sampai karbit mendidih di air. Nyalakan penyulutnya, buka penutup bagian depan dan atas, lalu sulutkan melalui lubang atas, dan dhuarrr! Itulah meriam bambu, atau bumbung.
Di tempat saya, meriam bambu ini sudah menjadi tradisi tahunan, nyaris wajib dimainkan ketika ngabuburit. Bahkan, saking seringnya, kita sudah tidak memakai bambu lagi, tetapi memakai gundukan tanah di pinggir lapangan bola. Jadi, untuk masuk ke lapangan bola, ada jalan turun, nah pas sebelum jalan turun itu lah dipakai untuk meriam. Sistemnya pun hampir sama dengan meriam bambu. Bedanya, ini agak ribet sedikit, lah.
Jadi, kerangka meriam kita bangun dengan cara menggali dulu tanah dengan kedalaman tiga puluh sentimeter. Lalu kita buat kerangkanya dari kayu, yang dibentuk persegi sebagai kerangka dalam, dan dilubangi bagian atasnya. Setelah itu, kita masukkan kayu ke dalam tanah, dengan moncongnya berada di bidang miring tanah. Lalu kita tutup dengan tanah, yang juga harus dikeraskan agar tahan ledakan. Oh iya, jangan lupa untuk menambahkan pipa besi di bagian atas sebagai lubang penyulutnya.
Cara mainnya pun kurang lebih sama. Bedanya, untuk tempat karbit dan air, kita menyiapkan kaleng bekas susu kental manis yang dikaitkan dengan kayu panjang. Kalau kalengnya sudah terisi karbit dan air, kita masukkan melalui bagian depan meriam, dan segera kita tutup bagian atas dan moncong depan dengan kain. Sebab lebih besar, jadi kita harus tunggu dua sampai lima menit, agar karbit dan airnya mendidih. Setelah itu, buka bagian atas dan depan, lalu sulutkan dengan api, dan jegeeerrr!!! Ledakannya akan lebih besar dan kencang dari meriam bambu biasa.
Selama bertahun-tahun kami bermain meriam ini, beruntungnya kami tidak pernah diprotes oleh warga. Ya selain karena kami mainnya di lapangan yang agak jauh dari pemukiman, sebagian besar warga juga suka dengan meriam ini. Lebih meriah dan biar ada hiburan, kata mereka. Kami yang bermain juga tidak kalah senang. Lha wong modalnya tidak besar, hanya lumayan susah bikin di awal. Karbit pun tidak terlalu mahal, hanya sekitar 25-30 ribu saja per kilogram. Patungan enam anak masing-masing lima ribu juga sudah beres, dan bisa dipakai hampir dua minggu.
Namun, sebagaimana permainan yang berhubungan dengan api dan ledakan, juga harus hati-hati. Apalagi meriam di tempat saya, yang ledakannya kencang bukan main, harus benar-benar hati-hati. Telinga juga harus hati-hati. Risikonya dua, terkena ledakan di depan, tepatnya di moncong meriam, atau telinga berdengung karena ledakannya yang kencang. Jangan sampai niat senang-senang ngabuburit menjadi celaka karena tidak hati-hati.
Itulah salah satu kegiatan ngabuburit yang masih berjalan sampai sekarang di tempat saya. Meriam bambu, atau bumbung kalau kami menyebutnya. Di tempat lain, sih, mungkin ada yang bermain ini, tapi ya pastinya masing-masing tempat berbeda meriamnya. Silakan berbagi cerita mengenai meriam bambu atau bumbung. Ini meriamku, mana meriam kalian?
BACA JUGA Tarawih Sepanjang Waktu, Puasa Sepanjang Usia dan tulisan Iqbal AR lainnya.