Sebagaimana yang kita tahu (atau fans novel/film Dilan tahu) Pidi Baiq kalau diwawancarai selalu menjawab dengan kata-kata yang ngaco dan absurd. Namun tidak tahu kenapa, kalau aku merenungkannya, rasanya kok ada benarnya juga. Ada hikmah yang dapat dipetik dari situ. Nah, berikut adalah sedikit cuplikan kata-kata Pidi Baiq yang aku renungkan dan aku temukan pelajarannya.
#1 “Kan, saya petani.”
“Kan, saya petani,“ ucap Pidi Baiq, ketika diwawancara. Memang itu bukanlah kebohongan. Pidi Baiq itu betul-betul seorang petani. Akan tetapi, untuk seorang yang multitalent seperti Ayah—begitulah kebanyakan orang memanggilnya—yang bisa buat lagu, bisa buat buku, bisa melawak, dan bisa menggambar: mengapa dia lebih mau disebut “petani”? Ayah pun menjelaskan kalau sebutan penulis, penyanyi, atau lainnya itu terlalu hebat. Dan sebutan itu cocoknya untuk orang yang menjalani itu secara profesional. Bukan seperti dirinya yang menulis dan membuat lagu waktu pengin saja.
Selanjutnya dia berkata, kalau ada orang yang bilang, “Ayah, bukunya nggak bagus.” Dia jadi bisa bilang, “Kan, saya petani.” Terus, kalau ada orang yang bilang, “Ayah lagunya jelek-jelek.” Dia jadi bisa bilang, “Kan saya petani.”
Secara tersirat, kata-kata Pidi Baiq itu dipilih karena ia sengaja menetapkan standar, label, atau identitas ke dirinya dengan tidak tinggi-tinggi. Mungkin itu dilakukannya supaya dirinya tidak kecewa atau marah, jika ada orang yang mengatainya. Atau jika dia tidak bisa berbuat banyak atau menghasilkan sesuatu yang bagus. Bukankah kita semua tahu, semakin kita berharap semakin mungkin kita kecewa? Dan harapan itu erat kaitannya dengan identitas yang kita lekatkan pada diri kita.
#2 “Saya tidak mencari uang.”
“Saya tidak mencari uang karena saya tidak merasa kehilangan uang.” Kata-kata Pidi Baiq itu selain sebagai bentuk candaan yang bisa ditanggapi dengan, “Ya, betul juga, sih,” juga sebagai bentuk sindiran ke orang yang hidupnya hanya untuk mencari uang.
Ingat, bukan uang yang seharusnya kita cari. Uang itu akibat dari apa yang kita perbuat. Uang itu hanya alat yang penting adalah tercapainya suatu maksud. Jadi, tanyakan ke diri kita masing-masing: apa yang sesungguhnya mau kita capai dalam hidup ini? Kalau ada uang, uangnya buat apa?
#3 “Tujuan saya di dunia ini untuk salat Jumat.”
Ayah pernah bilang, “Tujuan saya di dunia ini untuk salat Jumat. Senin sampai Kamis itu persiapan. Dan Sabtu, Minggu itu evaluasi,” lalu dia memperlihatkan logo The Panasdalam: senyuman dengan gigi terlihat. Mendengar kata-kata Pidi Baiq itu, tiba-tiba aku teringat ucapan seorang ustaz dalam suatu pengajian, “Kita hidup itu sebetulnya untuk salat 5 waktu. Kerja itu hanyalah selingan saat menunggu waktu salat tiba.” Atau mungkin kita bisa meminjam cerita tulisan Puthut Ea yang berjudul Ibadah sebagai Selingan, untuk menjelaskan kalimat ustaz itu.
Aku pun jadi curiga, jangan-jangan Ayah paham soal ini. Jangan-jangan Ayah ingin menyampaikan ini. Hanya saja Ayah mengemasnya dalam bentuk candaan, seolah salat itu seminggu sekali, yakni pada hari Jumat. Silakan saja pastikan pada Ayah, itu pun kalau dia mau menjawab dengan serius. Kemungkinan besarnya, sih, tidak.
#4 Tips menulis versi Pidi Baiq
Ketika ditanya tutorial atau tips menulis novel, Ayah selalu bilang, “Harus punya komputer dulu. Terus nyalain komputer. Terus buka Microsoft Word. Terus mengetik.” Sesederhana itu. Akn tetapi, orang kira itu bercanda. Padahal memang iya. Iya, dia bercanda, tapi bercandanya beneran mengungkapkan fakta.
Kebanyakkan orang terlalu sibuk dengan teori-teori dari kata orang. Sampai lupa bahwa teori itu tidak berlaku pada semua orang. Teori itu datangnya dari pengalaman orang. Orang yang terlalu serius berkutat pada teori justru bakal susah untuk menulis. Lantaran mereka tertekan dengan bayangan mereka sendiri tentang bagaimana cara menulis seharusnya. Mereka tertekan sampai lupa betapa mudahnya menulis. Padahal, kan, tinggal ketak-ketik ketak-ketik tombol di keyboard.
BACA JUGA Pidi Baiq Akan Menuliskan Kisah Helen dan Sukanta Seperti Ini Andai Beliau Lahir di Imogiri