Merayakan Hari yang Fitri di Wonogiri

wonogiri

wonogiri

Dalam lamunan pada hari terakhir puasa, tiba-tiba saya teringat sudah lama sekali tidak pulang ke kampung halaman saat lebaran. Berbeda dengan teman-teman lain yang masih melaksanakan kegiatan rutin tahunan tersebut. Banyak diantara mereka yang memesan tiket jauh sebelum hari raya, bahkan sebelum bulan Ramadan datang untuk mengantisipasi tiket habis.

Sudah sekitar enam tahun saya tidak pulang ke tanah kelahiran Bapak di Wonogiri, Jawa Tengah. Biasanya, kami bersama-sama pergi ke sana untuk bertemu sanak keluarga walau Mbok (Nenek) dan Mbah (Kakek) sudah meninggal beberapa tahun silam. Saat ini yang tersisanya hanyalah keluarga Bibi, adik dari Bapak.

Ada banyak momen yang saya ingat selama berada di Wonogiri, terlebih sewaktu sekolah saya terbilang rutin mudik ke sana minimal satu tahun sekali dari Bogor. Salah satu momen yang saya ingat adalah saat kelas dua SD saya sempat dikejar oleh sapi yang berada di luar kandang. Entah apa yang dipikirkan oleh sapi tersebut, apa yang membuat dia marah. Pada waktu itu, saya memang sedang mengenakan baju berwarna merah, tapi, yang sensistif terhadap warna merah bukannya banteng? Apa pun itu, yang jelas saya bisa lari sekencang mungkin dan selamat dari kejaran sapi.

Saya merasa beruntung sempat merasakan suasana lebaran di Wonogiri, selain memang penduduknya yang ramah, rasanya satu sama lain terikat dan seakan menjadi satu kesatuan keluarga yang utuh. Padahal jarak rumah antara yang satu dengan yang lain terbilang cukup jauh. Tidak heran profesi di sana lebih banyak petani selain penduduknya rajin berkebun.

Mbah dan Mbok saya menjadi salah satu petani di sana. Maka tidak heran saat panen, banyak hasil yang diberikan kepada saya, termasuk mangga yang besar dan manis. Walau gersang, tanah di sana terbilang subur.

Hal yang paling saya ingat saat berlebaran di Wonogiri adalah tetap dalam suasana yang sederhana namun tanpa menghilangkan esensi dari perayaan Idul Fitri. Harus diakui, keluarga saya memang terbilang sederhana, sehingga saat lebaran terasa sedikit berbeda dengan tidak adanya opor ayam, ketupat, pun hidangan lain yang terbilang mewah.

Saat itu, lebih ke tidak mampu untuk membeli itu semua, sih. Hehe. Sehingga santapan kami saat lebaran tetap tahu dan tempe dengan mie instan sebagai pelengkap. Biar seperti itu, tapi saya sangat menikmati kebersamaan yang ada dalam kesederhanaan. Sejak itu, saya mulai diajarkan bahwa lebaran bukan soal berpenampilan dan terlihat mewah. Terpenting adalah kebersamaan dalam keluarga.

Meski begitu, para tetangga tetap silih berganti datang ke tiap rumah, selain untuk bersilaturahim juga sekaligus membawa makanan untuk diberikan satu sama lain, semacam bertukar hidangan agar tetap dapat merasakan masakan yang disajikan. Dapat berupa kue atau pun lauk pauk yang dihidangkan di rumah.

Hal lain yang saya ingat, saat itu yang melakukan solat Ied terbilang tidak ramai, untuk laki-laki hanya sekitar 5-6 baris. Diceritakan pada waktu itu, tetangga memang lebih banyak yang beragama nasrani. Setelah solat Ied rasanya terasa damai sekali, karena para tetangga yang tidak ikut solat Ied (beragama nasrani) sudah menunggu di depan rumah masing-masing dan semua ikut bersalaman juga bermaaf-maafan serta mengucap selamat lebaran kepada kami yang merayakan.

Lalu, walau tidak ada wafer kalengan bermerk, kue kering favorit yang biasa ditampilkan saat lebaran seperti nastar, lidah kucing, kue putri salju dan lain sebagainya, kami tetap biasa saja tidak merasa kekurangan. Hal seperti ini yang selalu membuat saya bersyukur, saya hidup di keluarga yang tidak mengutamakan dan mengedepankan gengsi.

Demikian pula yang diajarkan oleh Ibu saya agar selalu menjadi orang yang apa adanya. Tidak perlu berlebihan yang penting semuanya cukup dan pas, pas ada uang beli mobil, pas ingin rumah bisa nyicil, dan pas ingin nikah ada pasangannya.

Rangkuman cerita itu yang membuat saya rindu akan suasana berlebaran di kampung halaman setelah lima tahun terakhir merasakan dan melihat langsung bagaimana suasana hiruk-pikuk di perkotaan, terlebih dampak dari sebelum dan sesudah pemilu kemarin.

Walau Mbok dan Mbah sudah tiada, berpulang beberapa tahun lalu lamanya, namun ada filosofi yang ditanamkan dan saya ingat hingga sekarang juga diaplikasikan di keluarga, “mangan ora mangan asal kumpul”. Sebuah filosofi sederhana namun sarat akan makna.

Exit mobile version