Mabuk-mabukan bukanlah perilaku yang tiba-tiba ada, bahkan kerap dinilai sebagai budaya yang negatif karena ketika orang mabuk kurang lengkap jika tidak mengamuk. Sejak abad XX, minuman keras sudah melekat dalam lingkungan masyarakat. Di samping mendukung pertumbuhan ekonomi di tanah Hindia Belanda, juga sebagai kebutuhan hidup, bahkan standar hidup. Seseorang yang dapat membeli arak dengan harga yang mahal biasanya akan berperilaku sombong dan menganggap bahwa mereka kaum elit.
Kelompok masyarakat Eropa pada abad XIX merupakan orang-orang elite yang tentu memiliki status yang tinggi di Hindia Belanda. Pada 1870, kelompok Eropa bekerja di dinas pemerintah, perdagangan, pertanian, berbagai industri, dan kantor-kantor swasta. Sudah menjadi kebudayaan para pejabat Eropa untuk meminum arak dengan alkohol yang tinggi, biasanya yang dikonsumsi adalah anggur, cognac, atau whisky yang diimpor dari Paris. Kebiasaan ini ditiru oleh pribumi baik dari kaum elit bangsawan hingga lapisan masyarakat di bawahnya. Meniru kebiasaan ini membuat mereka merasa punya status sosial yang sama dengan kaum Eropa.
Berbeda dengan orang Cina, mereka tidak mengadopsi gaya hidup ini, setidaknya alasannya berbeda dengan pribumi. Sebagai “Raja Kecil di Kongsi Dagang”. Orang-orang Cina menguasai medan perdagangan, tujuan mereka adalah memperoleh uang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran modal yang sedikit. Pekerjaan yang ditekuninya ialah sebagai pemborong, termasuk pemborongan arak. Hal ini dirasa mudah karena orang Cina lebih ahli bergaul dengan orang pribumi. Pada 1827, ditemukan delapan penyulingan arak di Batavia yang setiap tahun mampu memproduksi 1200 botol arak.
Gaya hidup kaum elit yang diadopsi oleh buruh dan petani pribumi bikin mereka terpaksa melakukan banyak cara agar bisa memenuhi keinginan mereka. Akhirnya, orang-orang pribumi kemudian berinisiatif untuk membuat arak di rumah dengan menggunakan alat sederhana kemudian dijual di warung Cina, warung Arab, rumah makan Eropa, kafe, bahkan dijual keliling.
Di Batavia memiliki tiga jenis minuman arak yakni arak Eropa, arak pribumi (arak pantai), dan arak Cina (tsjiu/ciu). Arak pribumi terbuat dari bahan tengguli-gula yang diencerkan dengan air (tetes). Kemudian dibubuhi dengan ragi dan nasi supaya meragi. Setelah lengkap, kemudian dikukus sehingga akan menciptakan uap. Kemudian uap tersebut didinginkan dan ditampung di wadah. Maka air tersebut yang disebut sebagai arak.
Semula orang pribumi membuat arak di rumah dengan peralatan sederhana, namun karena perkembangan teknologi, pemerintah menuntut untuk menerapkan standar pembuatan arak. Semula penjualan arak dapat langsung dengan orang-orang Cina namun kemudian ada peraturan yang mengatur untuk membayar cukai. Penjual keliling pun berinovasi dengan menggunakan wadah yang terbuat dari batang bambu dengan panjang 25 cm serta di bagian tengah wadah tersebut dilobangi dan dibersihkan sebagai tempat arak. Kemudian digotong untuk dijual keliling.
Berbeda dengan arak pribumi dan arak Eropa, arak Cina hadir dengan harga yang lebih mahal karena pembuatannya sangat mendetail dan rumit serta menggunakan peralatan yang begitu lengkap. Pabrik penyulingan di Batavia hampir seluruhnya dikuasai oleh orang Cina. Warisan resep pembuatan arak hanya diperuntukkan keluarganya saja, bahkan arak Cina diekspor hingga ke Eropa serta ditambahi bumbu untuk dijadikan obat. Pembuatan raginya saja menggunakan bahan beras merah yang didapat semurah mungkin, kemudian olahan adonan menggunakan air tebu dari Cirebon. Arak Cina memiliki kadar alkohol hingga 66 persen
Sementara, arak Eropa juga sebanding dengan arak pantai, hanya pembuatannya dengan peralatan yang jauh lengkap daripada arak pribumi. Peralatannya menggunakan tembaga merah. Para pembuat arak Eropa biasanya menggunakan ragi buatan. Arak Eropa terbuat dari alkohol netral, bukan dari kadar alkohol yang tinggi. Maka dari itu arak Eropa disebut arak pantai dengan pembuatan layaknya arak Batavia (arak Cina). Biasanya tiap tahun memproduksi sekitar 500 botol arak.
Pemerintah Hindia Belanda tak tinggal diam untuk menerobos keuntungan besar dari adanya arak. Penjualan arak di bawah pengawasan pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah membuat peraturan untuk penjual keliling, apabila membawa arak lebih dari dua liter harus memiliki surat izin dari Dinas Bea dan Cukai. Jika ada pelanggaran, produknya akan disita. Sementara, pemilik warung penjual arak harus memiliki surat izin untuk menyimpan dan menjual arak apabila memiliki lebih dari 10 liter arak. Mereka harus membuat surat pemberitahuan kepada petugas Bea dan Cukai terdekat dan ditujukan kepada Kepala Pemerintahan setempat. Apabila melanggar, akan disita oleh polisi.
BACA JUGA Ilmu Titen: Sebuah Usaha untuk Memahami Alam yang Sering Dianggap Mistis dan artikel Yoggi Bagus Christianto lainnya.