Perang melawan narkoba adalah perjuangan yang tidak berkesudahan. Hingga sekarang, pemerintah Indonesia masih berupaya memberantas bahaya laten adiksi narkoba. Sayangnya, jumlah penduduk yang terpapar masih terus meningkat hingga saat ini. Jika demikian, apa yang perlu diperbaiki?
Sejak 2020, istilah War on Drugs konsisten disuarakan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Dr. Petrus Reinhard Golose. Sejak menjadi jargon utama, BNN langsung melancarkan aksi dengan memusnahkan 73 Kilogram sabu dan narkoba jenis lain yang dilakukan pada 2020.
Sialnya, slogan War on Drugs tanpa tindak lanjut yang konkret belum dapat menyelesaikan pertempuran melawan narkoba di Indonesia. Menurut riset Indonesia Drugs Report 2022 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian, Data, dan Informasi (Puslitdatin) BNN, angka prevalensi jumlah penduduk terpapar mengalami peningkatan dari 1,80% di 2019 menjadi 1,95% pada 2021. Di samping itu, risiko perempuan terpapar narkoba juga mengalami peningkatan dari 0,20% di 2019 menjadi 1,21% pada 2021.
Dari 2 data tersebut dapat disimpulkan bahwa meningkatnya pengguna narkoba di Indonesia masih menjadi masalah alot. Perlawanan yang dilakukan oleh BNN bersama dengan slogan War on Drugs-nya belum dapat mengakhiri penjajahan dalam konteks adiksi.
Desakan terhadap transformasi UU Narkotika Nomor 35 tahun 2009
Pada Senin (19/09), Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dalam rangka mendengarkan masukan PKNI mengenai pembahasan RUU Perubahan Kedua UU Narkotika.
Sebelumnya, UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dinilai belum memberikan konsep yang jelas tentang pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika. Akibatnya, terjadi perlakuan yang tidak adil dalam pelaksanaannya. Pada pembahasan sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly menyampaikan bahwa penanganan terhadap pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika akan difokuskan pada upaya rehabilitasi.
Menkumham juga menegaskan bahwa pendekatan rehabilitasi harus lebih diutamakan dibanding pidana penjara karena hal tersebut merupakan wujud restorative justice. Konsep tersebut menjelaskan bahwa ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku.
Pernyataan tersebut selaras dengan nilai juang yang diangkat oleh BNN pada 2021 yakni melakukan perang terhadap narkotika dengan unsur pencegahan (prevention) yang mengedepankan soft approach dan smart approach. Konsep yang solid, namun sia-sia jika eksekusinya berantakan.
Tumpang-tindih tugas BNN, antara penindakan dan rehabilitasi
Pada faktanya, tindakan represif oleh BNN kerap terjadi dalam rangka melakukan penindakan. Data dari 853 orang konstituen PKNI menyebutkan, sebanyak 90% menyatakan ada upaya paksa dalam penindakan yang melanggar HAM. Tindakan represif tersebut antara lain paksaan pengambilan barang bukti (20%), kekerasan verbal (20%), kekerasan fisik (30%), dan pemerasan (30%).
Penerapan UU Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika berdampak pada peningkatan pemenjaraan dan pemerasan terhadap pengguna dan keluarganya. Selain itu, pengguna napza kerap dijadikan sebagai target penangkapan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan kemudian digunakan sebagai celah transaksional.
Upaya pemerintah dalam menguraikan masalah tumpang-tindih tugas BNN sebenarnya telah dilakukan sejak 2014. Tidak tanggung-tanggung, BNN melakukan kerja sama dengan lembaga SICAD dari Portugal. Kepala BNN pada waktu itu, Komjen Anang Iskandar, menilai Portugal adalah negara yang berhasil membuat langkah besar dalam penanganan narkoba dan mampu melaksanakan dekriminalisasi terhadap penyalahgunaan narkotika.
Hasilnya, ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pada 2014 antara BNN dengan SICAD Portugal dalam konteks penanganan demand reduction melalui rehabilitasi.
Minimnya penggunaan perspektif korban dalam melakukan penegakan hukum
Banyak yang belum menyadari bahwa pada prinsipnya, pengguna narkotika juga korban yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Meningkatnya kasus pemenjaraan juga mengakibatkan lembaga pemasyarakatan over-capacity.
Berdasarkan laporan PKNI dalam RDPU dengan Komisi III, beberapa kasus penindakan dijalani tanpa menerapkan perspektif gender. Akibatnya, potensi penganiayaan terhadap pengguna perempuan juga meningkat. Pada beberapa kasus yang disampaikan PKNI, pemeriksaan terhadap pengguna wanita masih dilakukan oleh petugas pria.
Melansir Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), hingga Desember 2020, sebanyak 35 ribu orang lebih kehilangan hak rehabilitasi atau untuk mendapatkan pemulihan karena harus dipenjara sebagai pengguna narkotika.
Kasus pelanggaran HAM akibat perang melawan narkoba
Berkaca dari negara tetangga, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, juga gencar menyuarakan perang melawan narkoba. Tindakan represif yang terpusat pun tidak terelakkan. Pada 2019, sebanyak 2,05% angka prevalensi pengguna narkoba di Filipina menurun.
Sayangnya, penurunan angka tersebut harus dibayar dengan tindakan ekstra-yudisial yang brutal. Sebanyak 30 ribu lebih orang dibunuh dalam jangka waktu 5 tahun di bawah rezim Rodrigo Duterte. Saat ini, Sara Duterte, anak dari Mantan Presiden Duterte, tengah menjabat sebagai Wakil Presiden Filipina. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang masih melakukan penuntutan terhadap Sara Duterte dalam rangka tanggung jawab perbuatan ayahnya.
Adapun aksi protes tersebut dilakukan pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat (20/9). Para peserta aksi menuntut akuntabilitas dari Presiden Marcos “Bongbong” Jr. dan Wakil Presiden Sara Duterte dalam rangka membuka fakta pembunuhan ekstra-yudisial yang dilakukan oleh sang ayah, Rodrigo Duterte.
Kesalahan dalam memposisikan pengguna narkoba sebagai pelaku kejahatan dan bukan sebagai korban hanya akan berdampak pada masalah overcrowding lapas di seluruh Indonesia. Dengan demikian, perlu ada percepatan revisi UU Narkotika agar tidak ada lagi potensi pelanggaran HAM serta layanan rehabilitasi paksa yang melanggar hak atas kesehatan.
Penulis: Marshel Leonard Nanlohy
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pengalaman Saya Hidup Bertetangga dengan Pengedar Narkoba