Seumur-umur tinggal di Malang, yang saya tahu Jalan Basuki Rahmat alias Kayutangan sebenarnya adalah jalan protokol yang menjadi pusat pertokoan dan perdagangan. Meskipun masih ada bangunan tua di sekitaran jalan ini, tempat ini sejatinya bukan destinasi wisata.
Sebenarnya jalan satu ini dari dulu nggak macet-macet amat. Kepadatan kendaraan biasanya terjadi di simpang Rajabali (kantor BCA) dan pertigaan PLN. Kecepatan kendaraan di sini kira-kira 40 km/jam dan bisa dibilang lancar. Saat arus kendaraan masih dua arah, saya—dan mungkin warga Malang lainnya—nggak pernah mengeluhkan hal ini. Kalaupun terjadi kemacetan, biasanya itu karena lampu lalu lintas yang sedang bertugas mengatur arus mana yang boleh berjalan.
Akan tetapi sejak lahirnya Malioboro KW pada akhir 2022 kemarin dan rekayasa arus lalu lintas permanen satu arah awal tahun ini, semuanya berubah. Entah bagaimana kajiannya, akhirnya daerah Kayutangan Malang yang katanya sering macet dijadikan jalan satu arah.
Akibatnya, kendaraan yang semula berpacu pelan melewati area ini, kini rata-rata sedikit ngebut lantaran jalannya menjadi lebih lebar dan renggang. Maklum, Jalan Basuki Rahmat menjadi jalan paling lebar dan mulus seantero Kota Malang.
“Jalur tengkorak” pejalan kaki
Sejak arus kendaraan yang melewati Kayutangan Malang dijadikan searah, lampu lalu lintas dan zebra cross seolah tak bertaji. Para pejalan kaki mengeluhkan sulitnya menyeberang jalan di area sini. Seperti yang saya sampaikan di atas, kendaraan yang lewat sini jadi melaju lebih kencang lantaran jalan yang jadi lebih lebar. Saya sendiri waktu main-main ke Kayutangan jadi takut menyeberang di sini sekalipun sudah lewat zebra cross. Memang sih jalan yang searah bisa bikin kita lebih fokus saat menyeberang, tapi soal keamanannya gimana?
Hal ini bertolak belakang dengan konsep Malioboro asli yang ada di Jogja, yang konon ramah pejalan kaki. Meski jalannya dibuat searah, jalan di Malioboro nggak terlalu lebar, masih lebih lebar trotoarnya. Kendaraan yang melaju di sini juga nggak ngebut. Malioboro memang didesain untuk wisata.
Tentu saja kesulitan saya menyeberang di Kayutangan Malang melanggar Pasal 131 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ): Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Mau diberi pelican crossing sebagai solusi? Saya nggak yakin. Di Kota Malang saja si pelican crossing ini dicampakkan. Mau diberi JPO? Wah, bisa merusak estetika daerah ini sekaligus menyulitkan lansia dan difabel, dong.
Berkaca pada Betek
Sekitar tahun 2013, Jalan Mayjend Panjaitan atau sering disebut Betek pernah melaksanakan kebijakan satu arah. Alasannya karena daerah ini sering macet. Makanya kalau arus kendaraan di sini menjadi searah, jalan jadi lebih lebar dan kemacetan bisa teratasi.
Masalah macet sih memang beres waktu itu. Tapi sayangnya, kebijakan ini malah menimbulkan masalah baru: kebut-kebutan. Mentang-mentang jalannya sudah lebar dan relatif nggak macet, pemilik kendaraan malah memacu kencang kendaraan mereka. Padahal jalan Betek ini adalah jalan protokol dalam kota dan banyak permukiman di mana warga sering menyeberang. Akhirnya kebijakan jalan satu arah itu dicabut.
Kepadatan sebagai alat kontrol
Suka atau nggak suka, kepadatan jalan alias macet tetap perlu ada sebagai alat kontrol kecepatan kendaraan. Yah, asalkan macetnya juga nggak berlebihan, kalau berlebihan malah bikin emosi pengendara, dong. Kemacetan memang menjengkelkan, tapi ada makna filosofisnya, lho, yakni agar kita sebagai pengendara bisa menghormati hak pejalan kaki.
Maka mengandalkan empati terhadap pejalan kaki saja nggak cukup di Kayutangan Malang. Sebaiknya jalan ini kembali menjadi dua arah. Ini akan lebih efektif untuk mengurangi kecepatan pengendara yang melaju di jalan ini. Pejalan kaki yang menyeberang di sini juga relatif merasa aman dan tenang.
Penulis: Mohammad Faiz Attoriq
Editor: Intan Ekapratiwi