Americano Starbucks itu tidak enak. Titik. Jangan yakinkan saya sebaliknya. Meski begitu, kita harus mengakui bahwa coffee shop hijau ini memiliki banyak kelebihan. Misalnya, hospitality dari para barista mereka yang luar biasa. Saking luar biasanya, pelanggan sampai tidak sadar sedang jadi target upselling saat memesan. Awalnya hanya ingin frappuccino, bisa saja membayar ekstra shot espresso, caramel, dan ekstra yang lain. Saya pernah memberikan tips menghindari jebakan upselling di artikel satu ini
Menu-menu selain americano dan manual brew juga enak-enak. Intinya, Starbucks itu coffee shop, tapi kopi yang polosan justru nggak enak. Blend-blend-an mereka enak. Banget. Cocok untuk menemani kerja di luar kantor, dengan fasilitas Wi-Fi kencang yang tak memiliki password.
Saya mau bilang tempatnya nyaman dan kondusif. Namun, setelah dipikir-pikir, ada juga gerai Starbucks yang sangat kacau untuk lokasinya. Sebut saja Starbucks di Jogja City Mall yang lebih sering berantakan daripada rapi tatanan meja dan kursinya.
Terlepas dari baik dan buruknya brand satu ini di mata saya, tidak bisa dimungkiri bahwa Starbucks adalah top of mind untuk urusan coffee shop. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Kenapa coffee shop yang kopi polosannya tidak enak, justru bisa menjadi top of mind? Apakah ini bukti bahwa kopi enak bukanlah faktor utama agar gerai kopi itu ramai? Selain itu, sebenarnya apakah mungkin ada coffee shop lokal, yang bisa menyamai kesuksesan Starbucks?
Daftar Isi
Syarat coffee shop lokal bisa seperti Starbucks
Sebuah twit dari Farchan Noor Rachman membuat saya tergelitik. Setelah aksi boikot Starbucks, dia merasa belum menemukan coffee shop yang kualitasnya sama seperti Starbucks dalam hal hospitality dan mendukung Work From Cafe.
sudah boikot Sbucks tetapi sampai sekarang belum nemu kedai kopi lokal seberkualitas Sbucks dalam hospitality dan mendukung WFC.
tips untuk kedai kopi lokal yang mau WFC oriented:
– wifi yang kencang dan gausah kasih password kayak Sbucks
– menu yang beragam
– pencahayaan yang…— Farchan Noor Rachman (@efenerr) December 6, 2023
Menurutnya, beberapa poin sebuah coffee shop bisa sama levelnya dengan Starbucks untuk urusan WFC adalah Wi-Fi kencang tanpa password, menu beragam, pencahayaan yang warm, desk luas, dan banyak colokan. Kalau standarnya hanya itu, bisa saya sampaikan bahwa banyak yang lebih unggul dibandingkan Starbucks.
Bahkan tidak sedikit coffee shop yang buka 24 jam yang memiliki semua fasilitas tersebut. Dari semua poin tersebut, Wi-Fi kencang itu wajib, namun urusan diberi password atau tidak sebenarnya tak jadi soal. Untuk menu yang beragam, justru menurut saya, semakin banyak menu, akan membuat pelanggan semakin bingung memilih.
Belum lagi dari pihak coffee shop, urusan penyimpanan bahan-bahan juga bukan perkara mudah. Semakin banyak menu, semakin banyak bahan yang harus diurusi. Apalagi jika ada 1 bahan yang hanya digunakan untuk 1 menu. Poin menu yang beragam, bagi saya, tidak terlalu krusial untuk menunjang WFC.
Pamungkasnya adalah, dalam twit tersebut, ada poin terakhir yang harus saya setujui. Tidak semua coffee shop lokal mempekerjakan barista yang ramah. Sudah saya singgung berkali-kali di berbagai kesempatan bahwa barista itu wajib ramah. Apakah pelanggan bakal kembali lagi atau tidak, bisa sangat bergantung kepada sikap barista saat melayani. Untuk hal ini, Starbuck menang telak.
Adakah gerai lokal yang mendekati?
Kalau kemudian ditanya apakah ada coffee shop lokal yang mendekati Starbucks, ini akan sedikit panjang. Mendekati dalam hal apa? Menunya yang enak? Kalau sebatas ini, banyak gerai lokal yang menunya jauh lebih enak.
Mendekati Starbucks dalam hal cocok untuk WFC? Harus saya bilang bahwa Starbucks kalah dibandingkan dengan banyak gerai lokal kalau untuk urusan WFC. Starbucks jarang ada yang 24 jam. Sedangkan coffee shop lokal, katakanlah di Jogja, dua belokan sekali, bisa aja ketemu gerai 24 jam yang cocok untuk WFC.
Mendekati dalam urusan keramahtamahan barista? Meski stigma masyarakat tentang barista lokal itu judes, tidak bisa dimungkiri, kalau ada juga yang ramah, dan saya kenal banyak barista ramah.
Artinya, semua faktor yang ada di Starbucks, ada juga di coffee shop lokal. Kalau kemudian pertanyaannya adalah apakah sebuah gerai kopi lokal punya semua faktor itu? Ya jelas tidak. Apalagi kalau kita membenturkannya lagi dengan banyaknya gerai yang buka. Makin sulit rasanya sebuah gerai kopi lokal yang bisa seperti Starbucks. Namun bukannya tidak ada. Faktanya ada sebuah coffee shop yang hampir mendekati level Starbucks dalam banyak hal. Namanya, Fore.
Kebangkitan coffee shop startup
Saat Fore buka kali pertama di Jogja, saya langsung merasa mereka adalah Starbucks yang pergi dari mall dan buka di bangunan sendiri. Gerainya juga sudah mulai menjamur, baik di Jogja maupun seluruh Indonesia. Bahkan ekspansi ke luar negeri juga sedang diupayakan.
Fore memiliki hampir semua yang dimiliki Starbucks, dengan poin plus yakni americano-nya enak. Poin plus lain adalah karena Fore tidak berada di mall, sehingga lebih mudah didatangi. Tinggal parkir, pesen di kasir, dan menunggu panggilan. Poin plus lainnya, Fore punya toiletnya sendiri, Starbucks hanya memanfaatkan toilet mall, kan?
Para barista Fore juga ramah. Bisa diadu dengan barista Starbucks. Dan poin plusnya–atau minus–jarang melakukan upselling manipulatif. Kalau lantas ditanya apakah Fore bisa sama seperti Starbucks dalam urusan WFC, lihat saja semua pengunjung Fore. Mayoritas kerja. Atau nugas. Atau ketemu klien.
Fore, justru lebih unggul untuk urusan jangkauan pelanggan. Mereka yang ke Starbucks identik dengan kalangan elite. Intinya, kalau ke sana, pasti mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Sedangkan Fore lebih terjangkau, dengan fasilitas yang bisa diadu. Rasanya kalau harus memilih kerja atau nugas, antara Fore atau Starbucks, dengan pertimbangan yang sangat rasional, orang akan memilih Fore.
Lantas selain Fore, adakah gerai kopi lokal lain? Sayangnya tidak ada. Baik geng Kenangan maupun Jiwa, keduanya lebih identik dengan kopi yang Grab and Go. Beberapa gerai menyediakan tempat WFC yang proper, namun ya terbentur ke banyak faktor yang ada di Starbucks–dan Fore–yang tidak dimiliki 2 coffee shop startup itu. Masa iya harus dijelaskan lagi apa faktor yang saya maksud.
Kalau mau jadi kayak Starbucks kudu gimana?
Pertanyaannya, kalau Fore bisa, bahkan unggul di beberapa hal, kenapa banyak coffee shop lokal tidak bisa melakukannya? Dan kalau ingin, apa yang harus dilakukan?
Saran saja sih ya, jangan mencoba seperti Starbucks atau Fore. Setia saja dengan konsep awal, apalagi kalau memang sudah mulai untung. Percayalah, Fore bisa kayak gitu karena melakukan bakar duit besar-besaran. Membuat coffee shop saja butuh ratusan juta, atau bahkan miliaran, dan itu juga belum tentu menguntungkan. Artinya, kalau ingin mengejar Fore dan Starbucks. Bayangkan berapa triliun rupiah yang harus dihamburkan?
Kalau kemudian ingin meniru faktor-faktor plus yang ada di Starbucks, hal itu justru sangat bisa dilakukan. Mempercepat jaringan Wi-Fi sesuai kebutuhan dan kapasitas, misalnya. Membenahi interior agar lebih nyaman untuk WFC juga bisa. Memperbanyak colokan agar menunjang pelanggan yang WFC itu bisa dilakukan. Dan, yang terpenting, memberikan pelatihan hospitality ke para baristanya.
Percayalah, kalau baristanya ramah, pelanggan bakal betah dan berpotensi sering datang ke sana lagi. Tapi, kalau semua itu sudah direalisasikan, akan muncul masalah baru, yakni masalah dari semua coffee shop yang mengusung konsep WFC. Yakni, pelanggan terlalu nyaman, menghabiskan 8 jam atau lebih untuk bekerja, dan hanya pesan sedikit menu. Terkait hal ini saja bisa menjadi pembahasan panjang untuk lain kali.
Kembali ke pertanyaan paling awal. Apakah coffee shop lokal bisa menyaingi Starbucks, atau minimal menyamai di banyak hal? Bisa. Fore sudah membuktikannya. Meski begitu, sebenarnya, pentingkah coffee shop lokal benar-benar menyayangi Starbucks? Itu.
Penulis: Riyanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Menu Red Flag Starbucks. Jangan Dipesan kalau Nggak Mau Kecewa
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.