Pada dasarnya, membahas soal honorarium penulis di media sama sensitifnya dengan menanyakan gaji seseorang. Ada banyak hal yang memotivasi seseorang untuk menulis selain demi mendapatkan honorarium. Nyatanya, menulis tak se-anjayani itu, Kawan.
Melalui tulisan ini saya ingin menjabarkan beberapa hal yang memotivasi saya (atau mungkin juga kalian) untuk menulis, selain “hanya” untuk mendapatkan honorarium.
#1 Untuk menjaga kewarasan
Kita tentu masih ingat dengan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang dibintangi oleh Herjunot Ali dan Pevita Pearce. Zainuddin, tokoh sentral dalam film ini, digambarkan sebagai pemuda yang harus menanggung pahitnya percintaan. Setelah mengalami goncangan jiwa yang dahsyat, Zainuddin kemudian bangkit dan menjadikan kegiatan menulis sebagai pengalihan atas kesedihannya.
Terlepas dari Zainuddin yang akhirnya menjadi penulis masyhur dan kaya raya, setidaknya kita bisa memahami betapa kegiatan menulis itu bermanfaat sebagai obat stres. Daripada menghamburkan uang dengan alasan “me time”, bagi saya menulis adalah pilihan yang lebih tepat untuk menetralkan pikiran.
Seperti kata Mas Eka Kurniawan, “Aku menulis agar tetap waras.” Syukur kalau dapat honorarium, yah meskipun sedikit, bagi saya itu sangat berharga. Setidaknya untuk orang seperti saya yang menjadikan kegiatan menulis sekadar menjaga kewarasan.
#2 Untuk menyampaikan gagasan
Sebagaimana halnya Wiji Thukul dengan puisinya, bagi saya menulis adalah kegiatan sosial. Sebagai seorang rakyat jelata yang tidak mungkin diundang ke ILC dan Mata Najwa sebagai narasumber, begitu pula saya bukan seorang influencer yang didengar ketika berkomentar terkait persoalan bangsa ini dengan segala tetek bengeknya, satu-satunya cara saya untuk menyampaikan gagasan ke publik adalah dengan menulis dan menerbitkannya di media.
Setelah (akhirnya) mampu menerbitkan tulisan di media lokal maupun (bisa dibilang) nasional, saya akui penulis amatir seperti saya masih sulit untuk lolos kurasi media dan diterbitkan. Dan untuk itu saya tidak keberatan bahkan jika tidak mendapat honorarium, asalkan tulisan saya bisa dibaca oleh orang lain.
#3 Menuangkan pikiran yang absurd
Sebelumnya saya hanya menulis untuk media mainstream dengan tata bahasa yang baik dan tema yang cenderung normatif. Bagi saya menulis dengan konteks yang “kaku” seperti itu cukup sulit. Selain konten dan narasinya yang begitu-begitu saja, kita juga harus berburu topik yang sedang up-to-date, belum lagi jika harus saingan dengan kontributor lain, jelas saya yang hanya kentang ini harus bersusah lebih payah.
Tidak mudah mendapatkan media yang bersedia menampung ide-ide absurd sekaligus nyinyir saya dan Mojok, atau lebih tepatnya Terminal Mojok, adalah salah satunya. Saya akui sejauh ini tulisan saya yang lolos ditayangkan adalah tulisan yang terkesan nyinyir atau membahas figur publik. Tak jarang netizen memberikan komentar negatif dan menyerang saya secara personal, tapi itu bukan masalah. Menurut saya, “Tulisan yang dicela lebih baik dari tulisan yang tak dibaca.” Ada yang membaca tulisan saya saja sudah bikin saya senang, apalagi kalau ada yang sukarela memberikan komentar.
#4 Sebagai tambahan portofolio
Saya akui, dibandingkan dengan jurnalis andal, bayaran dan kapasitas saya dalam dunia kepenulisan jelas tidak ada apa-apanya. Jujur saja, tujuan saya menulis awalnya untuk dipamerkan di medsos sekadar diposting dengan caption “menulislah agar namamu ada di Google”, syukur kalau bisa dijadikan sebagai portofolio ke depannya.
Dari sini saja sudah jelas kalau saya hanya seorang penulis freelance. Saya hanya menulis saat sedang mood dan beruntung kalo redakturnya khilaf lalu menerbitkan tulisan saya. Memang kesannya jadi akhlakless kalau saya yang hanya penulis Terminal ini dibandingkan dengan jurnalis andal, baik dalam perkara konten maupun dalam hal honorarium.
Tapi sekali lagi saya tegaskan, terkadang seseorang menulis dan mengirimkannya ke media bukan semata-mata untuk mendapatkan honorarium. Bisa jadi itu merupakan hobi atau cara mengisi waktu luang dengan kegiatan berfaedah. Sebuah tulisan memang sudah sepatutnya dihargai dengan pemberian honorarium penulis, tapi bukan berarti itu tujuan utamanya.
Meski begitu jika poin saya sudah cukup nanti, saya akan tetap menghubungi Mbak Dina agar segera mencairkan honorarium. Hehehe.
BACA JUGA Pengalaman Ikut Audisi Pencarian Bakat, Ternyata Tidak Seperti yang Dibayangkan dan artikel Muhammad Dzal Anshar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.