Menulis di Terminal Mojok: Bayaran Secukupnya, Usaha Sekerasnya

Menulis di Terminal Mojok: Bayaran Secukupnya, Usaha Sekerasnya

Grup percakapan WhatsApp di antara penulis Terminal Mojok menjadikan saya sedikit membuka cakrawala dan bisa menjawab pertanyaan dalam hati, “Mengapa tulisan saya akhir-akhir ini nggak pernah lagi masuk website Terminal Mojok?” Karena pilih kasih kah? Karena ada kolusi dalam redaksi Mojok kah? Atau karena ada semacam hak privilege yang dimiliki penulis lain? Ternyata jawabannya cukup sederhana: karena tulisan saya jelek atau nggak penting, hanya itu saja.

Untuk menulis di Terminal Mojok yang bayarannya setara dengan harga segelas kopi dan Indomie untuk diri sendiri (tanpa traktir teman atau tetangga) di warkop sebelah, ternyata butuh usaha sekeras PDKT ke gebetan. Kita dimaksudkan untuk kepo secara maksimal tentang selera tim penyeleksiannya yang ternyata cukup tinggi. Bisa dibilang, tembus ke media Mojok lebih susah ketimbang mencari jodoh.

Awal saya mengirim tulisan ke redaksi Mojok, saya masih gadis, masih langsing, dan masih punya gebetan yang jumlahnya kira-kira lebih dari seluruh jari yang ada di tangan. Sekarang ketika saya sudah “terjebak” dengan satu suami dan satu anak, tulisan saya pun masih belum dimuat juga. Bayangkan, betapa sebuah perjalanan hidup saya membentuk keluarga masih jauh lebih remeh ketimbang tembus di redaksi Mojok.

Untung saja, di kemudian hari ada platform baru yang bernama Terminal Mojok sebagai wadah belas kasih kepada kami, kaum penulis yang terpinggirkan, yang terus berusaha menulis lucu yang ujung-ujungnya jadi garing dan nggak penting.

Lebih enaknya lagi, sekarang ada grup percakapan yang bisa menjadi jembatan antara redaksi Mojok dengan penulis Terminal. Sehingga setiap hari, setidaknya selama enam puluh menit, ada kata-kata mutiara serta bahan bacaan yang kira-kira dapat menjadi gambaran bagaimanakah sebuah tulisan yang baik itu.

Saya sangat gembira dengan sesi sharing itu dan berniat ikut berdiskusi bersama penulis yang lain sampai akhirnya Cik Prim datang ke dalam grup dan membantai banyak tulisan hanya dalam waktu enam puluh menit.

Saya sebenarnya fans Cik Prim setelah membaca artikelnya yang berjudul Bikin KBBI adalah Pekerjaan Paling Sia-Sia. Akan tetapi, rasa kagum saya perlahan luntur dan berubah menjadi rasa gentar karena lihat video guyon Mojok saat Cik Prim sedang menyumpah-nyumpah sampah ketika sedang menyeleksi artikel yang masuk.

Seketika, PTSD (semacam stres pasca trauma) saya saat skripsi langsung merebak. Saya jadi ingat makian dosen yang membuat saya mesti menghadapi kepahitan menunda pernikahan karena nggak lulus-lulus. Lulus terlambat itu merupakan sebuah pertanda yang buruk dalam pergaulan perempuan saat kuliah. Selain bakalan diomongin di belakang, di depan, samping kanan, dan kiri, juga pasti akan jadi bahan olok-olok teman-teman di kosan yang kebanyakan sudah menganggur dan menghabiskan waktu menonton drama Korea serambi menunggu tanggal wisuda.

Tapi berkat kemunculan Cik Prim jualah, saya mulai memahami apa poin yang menjadikan suatu artikel dapat diterima untuk kemudian ditayangkan. Setidaknya, sebuah artikel haruslah mengandung gagasan atau informasi yang penting untuk diketahui. Lebih bagus lagi jika memiliki sudut pandang yang unik.

Sudut pandang ini juga yang menjadikan sebuah tulisan, meski dengan topik yang sama, jadi bisa punya rasa yang berbeda. Jika Anda, seperti saya yang kurang bisa membuat sudut pandang baru nan unik, maka pastikan tema yang diusung adalah sesuatu yang baru dan segar. Hindari pengulangan tema yang sudah sering dibahas, seperti problematika utang di antara teman. Mungkin, kalau memang ngotot ingin menulis tentang utang, buat artikel yang isi argumennya membela si pengutang? Biar banyak yang protes dan jadi perdebatan!

Poin penting lainnya adalah paragraf pembuka yang apik. Paragraf pembuka itu ibarat tampang. Kalau cantik, pasti akan mengundang banyak perhatian orang. Jadi, sebisa mungkin panjang paragraf pembuka yang rapi, cantik, lugas, dan tentu saja… menggoda.

Tulisan yang punya nilai-nilai kedaerahan juga merupakan salah satu yang digemari oleh redaksi Mojok. Artikel yang menceritakan fenomena sosial daerah, geografi, dan tempat nongkrong ala lokal, memang selalu asyik buat diikuti.

Selanjutnya, Cik Prim menekankan untuk selalu membuat argumen yang konsisten. Jika diawal paragraf kita menyatakan yes pada kecebong, maka dilarang keras untuk ganti haluan jadi kampret di akhir artikel. Bagusnya, pergantian haluan dilakukan pada artikel yang lain agar segera tembus target 10 artikel dan bisa melakukan pencairan. Pencairan hubungan yang kaku.

Petuah terakhir ialah pembahasan yang dipilih sebaiknya jangan terlalu luas, agar paragraf yang menjelaskannya bisa ditulis dengan lebih dalam. Saya dulu selalu mengira bahwa redaksi Mojok mengharuskan tulisan yang mengandung humor satire macam cabai yang selalu dituliskan Haris Firmansyah, atau seperti Iqbal Adji Daryono yang jadi idola mamah muda. Tapi, ternyata tidak.

Oh, iya. Setelah pembantaian selama enam puluh menit, keesokan harinya, grup percakapan jadi lebih kalem. Mungkin banyak yang sedang mencerna dan menghayati petuah yang diberikan Cik Prim atau sedang ganti target menulis ke UCG lain. Apa pun itu, saya berharap ada satu hari dalam seminggu yang memang khusus jadi sesi komentar untuk artikel yang masuk. Sehingga, penulis amatir macam saya tahu apa-apa saja yang mesti diperbaiki. Sekian dulu, saya mau masak dan cuci piring.

BACA JUGA Riset Saya Soal Gimana Caranya Tulisan Bisa Sayang Eh Tayang Di Terminal Mojok atau tulisan Rian Andini lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version