Inilah aturan yang ditunggu-tunggu, Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang memuat aturan soal usaha minuman keras (miras). Dengan aturan baru ini pengusaha miras tak perlu lagi sembunyi-sembunyi memproduksi dan memasarkan minuman beralkohol karena sudah dilindungi hukum. Memproduksi miras menjadi legal, dan brand dalam negeri kembali berpeluang menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Walau Pepres ini hanya melegalkan investasi miras di empat provinsi tapi semangat berdikarinya sungguh terasa. Bagaimana Indonesia menolak dominasi miras luar negeri dan ingin mandiri dengan mengkonsumsi produk dalam negeri. Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua menjadi garda terdepan dalam merealisasi visi besar menuju Indonesia swasembada miras.
Baiklah, saya tahu kalau aturan tentang miras tersebut akhirnya dicabut. Tapi, mari kita bicarakan skenario andai peraturan tersebut benar-benar berjalan.
Data menunjukkan, 92 persen minuman keras yang beredar di Indonesia adalah produk luar negeri, hanya 8 persen yang diproduksi di sini. Walau dikenal sebagai bangsa relijies, Indonesia adalah pasar potensial miras dengan nilai transaksi mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Dari sektor ini negara mendapat pemasukan cukai sebesar Rp7,06 Triliun pada 2019. Cukai itu berasal dari brand luar negeri yang mengalir deras ke Indonesia dari jenis wine (Italia), whiskey (Eropa), votka (Finlandia), vodka (Rusia), tequilla (Mexico), dan aneka bir (Amerika).
Padahal di masa lalu Indonesia tak bergantung pada brand asing itu karena mampu memproduksi miras sendiri. Beberapa malah menjadi legenda hingga hari ini. Seperti Arak Bali, Tuak Sumatera, Cong Yang Semarang, Lapen Yogyakarta, Ballo Sulawesi Selatan, Swansrai Papua, Sopi Flores, hingga Cap Tikus Sulawesi Utara. Tapi, oleh perkembangan zaman, brand lokal itu tenggelam di tengah banjir merk-merk miras global.
Masuknya miras dalam daftar hitam investasi juga menghambat eksistensi brand lokal. Pengusaha tak bisa leluasa masuk dalam bisnis ini karena menyandang predikat ilegal. Kalau pun ada yang nekad berinvestasi, biasanya secara kucing-kucingan. Maka Perpres No 10 merupakan jawaban atas kegelisahan para pengusaha pribumi itu setelah mengeluarkan bisnis miras dari daftar hitam investasi. “Mereka yang tak setuju dengan Perpres No 10 bisa jadi membawa agenda asing yang tak ingin produk lokal bangkit kembali,” tuding Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat tentang maraknya penolakan atas Perpres ini.
“Lebih dari 80 persen minuman beralkohol yang beredar di Indonesia dikonsumsi di Bali. Dari angka itu 92 persennya adalah produk import dan hanya 8 persen yang diproduksi di Bali. Dengan demikian sangat jelas Bali telah kehilangan potensi ekonomi yang bersumber dari minuman beralkohol,” timpal Gubernur Bali, I Wayan Koster.
Wayan Koster berlogika, jika miras yang beredar dan dikonsumsi itu adalah produk dalam negeri, khususnya Bali, tentu besar sekali nilai lebih ekonomi yang diperoleh, baik oleh pengusaha lokal maupun pemerintah.
Sekali lagi, uang yang berputar di miras memang sangat menggiurkan. Jumlahnya super jumbo dan tiap tahun selalu bertambah. Wajar jika kemudian dibutuhkan perangkat aturan yang mampu mewadahi bisnis ini agar cuan bisa dimaksimalkan. Di sinilah Perpres legalisasi miras menjadi visible.
Apalagi jika selepas Perpres ini ditandatangani kemudian diikuti pelbagai gerakan yang mengiringi seperti sosialisasi. Gerakan ini menyasar calon konsumen potensial di segala lapisan. Kepada mereka sambil ditanamkan perasaan bangga membeli dan mengkonsumsi produk dalam negeri. Jika promo berhasil, pendapatan dari bisnis ini di masa mendatang akan lebih besar lagi.
Sebelum mengenal Jack Daniel, Martel, dan lain-lain, generasi muda diakrabkan terlebih dahulu pada ciu, arak, Cap tikus dan teman-temannya. Selain untuk mendongkrak konsumsi miras dalam negeri, sekaligus merupakan bagian dari gerakan melestarikan warisan nenek moyang.
Output gerakan ini adalah bagaimana miras lokal membanjiri pub, cafe, diskotik, hotel, dan tempat-tempat lain menggeser dominasi miras luar negeri. Kalau perlu jangkauan pemasarannya di luaskan ke minimarket hingga warung-warung terdekat.
Boleh jadi rencana ini sudah ada di benak perancang UU Omnibus Law dan Perpres 10 2021 sejak lama. Sebab visi kemandiriannya terasa. Di masa depan Indonesia boleh tetap mengimpor mobil, mesin, peralatan perang bahkan kedelai, beras, dan garam, namun jangan miras. Arak dan tuak harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Perpres No 10 adalah pintu gerbang swasembada miras. Implementasi nyata Nawacita pada poin berdikari yakni mandiri dengan miras produk sendiri.
Bali dan tiga provinsi lain adalah percontohan awal. Bagaimana di sana industri akan dikembangkan dan tingkat konsumsi akan terus dinaikkan. Setelah Perpres ditandatangani nantinya akan diikuti dengan penerbitan Perda dan Pergub oleh pemerintah daerah setempat. Di situ akan diatur lebih detail tentang legalisasi miras pada penerapannya di lapangan. Bagaimana meyakinkan swasta untuk berinvestasi di bidang ini, memberi kemudahan izin, menyediakan lahan dan membangun aneka infrastruktur pendukung. Kalau perlu pemerintah terjun langsung melalui BUMD menjadi pemain di sektor ini. Sebab miras menyangkut hajat hidup orang banyak.
Singkat kata, Perpres ini memang layak diperjuangkan. Presiden Jokowi telah berada pada jalur yang benar. Meski harus menerima tekanan dari NU, Muhammadiyah, MUI, dan lain-lain, ia mantap mengesahkan Perpres.
Jika Suharto tercatat sebagai presiden yang mampu mencapai swasembada beras, bisa jadi tak lama lagi Jokowi akan mengantar Indonesia swasembada miras.
BACA JUGA Pengalaman KKN di Bali Jadi Bukti Nyata RUU Larangan Minuman Beralkohol Itu Omong Kosong