Melihat polemik penolakan kampus UNY yang ingin mengepakkan sayap di Kabupaten Blora membuat saya tergelitik sekaligus iba. Bayangan saya, mayoritas warga Blora akan mendukung penuh tanpa penolakan. Tidak seperti saat upaya penamaan jalan Pramoedya Ananta Toer yang penuh pro dan kontra. Jelas lost control, nggak masuk akal kalau ada yang menentang kampus negeri dibangun di kabupaten ini.
Padahal yang datang itu bukan pabrik limbah atau proyek tambang, tapi institusi pendidikan negeri yang jelas manfaatnya.
Sebenarnya saya tak sendiri ketika merasakan kedongkolan hal yang serupa. Sebelumnya, ada tulisan terbitan Mojok yang sudah lebih dulu meluapkan keprihatinannya atas kasus ini. Jadi jelas, ini bukan hanya urusan pribadi, tapi keresahan kolektif yang perlu disuarakan.
Oleh sebab itu, saya rasa warga Blora perlu memahami lebih dalam lagi, wabil khusus yang menolak rencana pembangunan UNY. Nggak harus membangun kampus di Cepu, dan tidak juga di Blora Kota. Kecamatan lain seperti Randublatung dan Sambong saya rasa juga masih tepat untuk mendirikan kampus UNY—yang penting masih wilayah Kabupaten Blora.
Justru kalau mau adil, sebar pemerataan itu ke wilayah yang selama ini minim perhatian. Jangan malah dimatikan sejak dini. Berikut saya rangkumkan, sahabat ndak perlu ndablek apalagi ngotot tentang sisi terang jika kampus UNY berdiri diwilayah Kabupaten Blora. Mari belajar melihat peluang, bukan sibuk pasang sekat.
Blora bisa jadi wilayah yang diperhitungkan kedudukannya karena punya universitas negeri
Selama ini, kampus negeri cenderung tumbuh dan berkembang di pusat-pusat kota seperti Semarang, Surabaya, Solo, atau Yogyakarta. Seolah-olah wilayah kabupaten medioker hanya pantas jadi penonton atau tempat kiriman mahasiswa pulang kampung. Padahal, potensi di daerah juga tak bisa diremehkan. Justru yang dibutuhkan adalah keberanian institusi pendidikan untuk menanam akar di wilayah yang selama ini dianggap pinggiran.
Jarang sekali kampus negeri yang berbaik hati membuka cabang PSDKU di kabupaten-kabupaten yang dianggap minim prospek. Dalam konteks ini, UNY hadir membawa harapan, bukan ancaman. Lihat saja daerah lain yang mulai menggeliat setelah hadirnya kampus negeri. Apa Blora mau terus ketinggalan lagi?
Kedudukan Blora jelas akan diperhitungkan jika UNY benar-benar menanamkan cabangnya di sini. Bukan lagi sekadar daerah perlintasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi titik penting yang punya daya tarik akademik dan pertumbuhan ekonomi. Selama ini, Blora sering dilupakan dalam peta besar pembangunan—baik dari pemerintah pusat maupun swasta. Nah, kehadiran kampus negeri bisa jadi jalan pembuka untuk menegaskan eksistensi Blora dalam kancah pendidikan nasional.
Ini bukan cuma soal gedung kuliah berdiri, tapi tentang kepercayaan lembaga besar terhadap potensi lokal. Ketika kampus negeri sudi mampir, itu tandanya Blora bukan lagi dianggap sepele.
Kampus swasta bisa kolaborasi dengan kampus negeri untuk mengatasi permasalahan yang ada di Blora
Kehadiran kampus negeri di Blora bukan berarti lonceng kematian bagi kampus-kampus swasta yang sudah lebih dulu berdiri. Justru ini momentum emas untuk membuka ruang kolaborasi yang sehat dan produktif. Kampus negeri bisa membawa sumber daya dan jaringan yang luas, sementara kampus swasta punya keunggulan dalam kedekatan dengan komunitas lokal dan fleksibilitas program.
Alih-alih bersaing secara semu, keduanya bisa saling menopang dalam mengatasi persoalan riil masyarakat Blora. Dari soal pendidikan yang belum merata, riset lokal yang terbengkalai, hingga pengembangan potensi daerah yang kerap luput dari perhatian pusat.
Tak perlu ada kekhawatiran berlebihan, kampus swasta di Blora masih dan akan tetap dibutuhkan. Dengan jumlah lulusan SMA/SMK yang terus bertambah setiap tahunnya, permintaan terhadap pendidikan tinggi juga meningkat. Tidak semua calon mahasiswa akan terserap di kampus negeri, dan di sinilah peran kampus swasta menjadi penting. Keberadaan UNY di Blora bukan untuk menggerus, tapi justru bisa menjadi penguat ekosistem pendidikan tinggi lokal.
Blora bisa jadi contoh kabupaten yang tidak terjebak dalam sentimen sektoral, melainkan mampu menciptakan harmoni antara institusi demi masa depan yang lebih terang.
Rata-rata lama sekolah di Blora masih sangat rendah bahkan di bawah rata-rata nasional
Kalau masih ada yang bilang Blora belum butuh kampus negeri, mari kita tengok data dulu sebelum komentar ngawur. Rata-rata lama sekolah (RLS) di Blora tahun 2024 hanya 7,26 tahun. Artinya, banyak warga yang berhenti sekolah bahkan sebelum lulus SMP. Angka ini jelas jauh di bawah rata-rata nasional yang sudah mencapai 8,77 tahun dan masih tertinggal dari rata-rata Jawa Tengah yang ada di angka 8,02 tahun.
Ini bukan sekadar statistik, tapi potret nyata betapa pendidikan di Blora masih perlu dorongan besar. Belum lagi kalau kita bicara soal Anak Tidak Sekolah (ATS) yang jumlahnya juga masih tinggi. Kalau dibiarkan, Blora bisa makin terjebak dalam lingkaran stagnasi pendidikan.
Di sinilah peran kampus negeri seperti UNY menjadi sangat relevan. Bukan hanya sebagai tempat kuliah anak-anak pintar, tapi juga sebagai pusat kegiatan edukatif, pelatihan, dan pemberdayaan masyarakat. Keberadaannya tentu akan mampu menjangkau mereka yang putus sekolah dengan program-program nonformal atau vokasi.
Bayangkan, dengan hadirnya kampus negeri, Blora bisa punya lebih banyak tenaga pendidik, lebih banyak forum literasi, dan lebih banyak akses belajar yang merata sampai pelosok. Ini bukan soal gengsi, tapi soal membalik nasib daerah yang selama ini selalu berada di bawah garis rata-rata.
Mari renungkan, jangan egois
Kita tak boleh menutup mata pada kenyataan bahwa Blora masih tertinggal dalam hal pendidikan. Rata-rata lama sekolah (RLS) di Blora pada tahun 2024 hanya 7,26 tahun—yang, kalau dihitung-hitung, setara dengan lulusan SD—jelas menunjukkan bahwa daerah ini masih punya pekerjaan besar di bidang pendidikan. Angka ini bukan sekadar angka statistik, melainkan gambaran nyata betapa pendidikan di Blora masih terbelakang.
Anak-anak yang putus sekolah, yang tidak mendapatkan akses pendidikan lebih tinggi, akan berakhir menjadi beban masa depan. Merekalah yang nantinya akan mewariskan ketidakberdayaan kepada generasi berikutnya jika tidak ada perubahan apa-apa hari ini. Kita punya kesempatan untuk merubah itu semua, untuk memberikan mereka jalan yang lebih baik dan lebih terang.
Jangan sampai karena ego sektoral atau ketakutan yang tidak berdasar, Blora tetap terjebak dalam ketertinggalan. Penolakan terhadap hadirnya kampus negeri seperti UNY, yang menawarkan banyak peluang, justru akan memperburuk keadaan. Keberadaan kampus negeri bukan hanya soal memberikan pendidikan tinggi, tetapi juga membuka berbagai pintu kesempatan bagi warga Blora, mulai dari lapangan pekerjaan, pengembangan keterampilan, hingga peningkatan perekonomian lokal.
Jika hari ini kita menolak, bisa saja kesempatan serupa tak akan datang lagi di masa depan. Jangan sampai kesempatan ini berlalu begitu saja hanya karena rasa takut terhadap perubahan yang sebenarnya tak perlu dikhawatirkan.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGAÂ Blora, Kabupaten Kecil yang Sulit Menghargai Tokoh-tokoh Penting Daerahnya




















