Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Menjadi Haji Mabrur di Madura Itu Susah, Harus Berani Menentang Kultur yang Mengatur

Aqil Husein Almanuri oleh Aqil Husein Almanuri
23 Juni 2025
A A
Di Madura, Biaya Oleh-oleh Haji Hampir Sama Besarnya dengan Biaya Keberangkatannya, Bikin Orang Jadi Enggan Berangkat  

Di Madura, Biaya Oleh-oleh Haji Hampir Sama Besarnya dengan Biaya Keberangkatannya, Bikin Orang Jadi Enggan Berangkat  

Share on FacebookShare on Twitter

Salah satu culture shock yang dialami oleh teman-teman saya asal Surabaya ketika sedang menjalani KKN di Madura adalah melihat pemandangan penyambutan haji yang tak biasa.

Mereka kaget campur heran, bagaimana bisa ada penyambutan haji yang bukannya menggugah refleksi spiritual, justru ditampilkan secara urakan, penuh hingar bingar. Bagi kami orang Madura, ini bukan hal baru.

Di Madura, setiap Umrah atau bulan Haji (Dzulhijjah), iring-iringan mobil lengkap dengan motor berknalpot bising adalah hal biasa. Iring-iringan ini sering membuat sesak jalan raya dengan kecepatan yang sangat rendah bahkan sangat pelan, bikin macet, berisik, dan gaduh.

Kadang juga diiringi mobil pembawa speaker dan sound yang disetel keras. Yang saat ini lebih familiar dengan istilah sound horeg, di barisan paling depan.

Iringan haji di Madura yang (kelewat) meriah

Bagi yang belum tahu, dalam beberapa waktu terakhir, sound horeg (yang konon berasal dari pulau Jawa itu), juga merambah ke sebagian wilayah Madura.

Namun, sejak lama, sebelum sound horeg dikenal luas, mobil bak terbuka pembawa speaker dan sound memang sudah ada di Madura, hanya saja tak pernah di-parade-kan secara resmi dan khusus, dan hanya dipakai ketika acara tertentu, seperti; karnaval sekolah atau ketika penyambutan haji seperti yang dibahas sekarang ini.

Biasanya, paling depan adalah pikep atau truk yang membawa sound yang disetel secara keras, barisan kedua adalah rombongan motor yang mengeluarkan bunyi knalpot bising. Setelah itu ada rombongan ibu-ibu berseragam bawa bendera, disusul dengan barisan mobil-mobil keluarga pembawa sang haji lengkap dengan dandanan bunga-bunga, mirip nikahan

Karena iring-iringan seperti ini, saya pernah mengalami perjalanan yang cukup tersendat. Yang awalnya hanya butuh waktu 15 menit, molor hingga setengah jam. Saya dan beberapa pengguna jalan lain, termasuk yang saya lihat Ambulans (sepertinya sedang membawa pasien) saat itu memilih menunggu, ada beberapa yang terpaksa putar balik dan mencari jalan tikus.

Baca Juga:

Alasan Belanja di Matahari Mall Tak Cocok bagi Warga Bangkalan Madura

Sederet Keanehan di Balik Bus Trans Bangkalan yang Telah Berhenti Beroperasi

Saya tidak ingin meragukan niat baik para penjemput. Barangkali memang ada rasa bahagia, bangga, dan haru yang ingin diekspresikan. Tapi ketika niat baik tersebut berubah menjadi hal yang mengganggu, bukan kah maknanya jadi bergeser?

Tekanan Sosial

Di Madura, penyambutan haji seperti di atas bukan hanya sebagai upacara spiritual, tetapi lebih dianggap sebagai tradisi turun temurun.

Beberapa tahun yang lalu, pakle (paman saya) juga selesai menuntaskan rukun islam yang kelima itu. Sebelum kepulangan, beberapa kerabat dan tetangga sudah merencanakan penyambutan serupa. Tapi pakle menolak, karena alasan biaya dan kenyamanan. Pakle hanya meminta dijemput oleh keluarga kecil saja dengan memakai satu mobil keluarga tanpa aksesoris apa pun.

Sesampainya di rumah, para tetangga dan kerabat sudah berkumpul menyambut kedatangan. Mereka berebut menggapai tangan pakle dengan rasa bangga campur haru, berlanjut sowan haji (dalam bahasa Madura; Asiar), ngobrol-ngobrol, dilanjut makan-makan dengan menu yang telah disiapkan tuan rumah.

Sejak itu saya merasa kedatangan seperti ini yang lebih pantas dianggap sebagai penyambutan haji. Bukan karena ini acara keluarga saya, tapi saya merasa dengan cara seperti ini terasa lebih guyub, hangat, dan (tentunya) kekeluargaannya lebih dapat. Hal paling penting, tanpa ada ongkos tambahan dan tidak mengganggu orang lain.

Terseret tradisi

Cara pakle tentu tak lantas disukai semua orang. Beberapa kerabat dan orang luar menganggap pakle terlalu individualis, hanya karena tak mengundang gerombolan turun ke jalan raya.

Saya pun sebenarnya yakin, ada banyak orang yang ingin melakukan penyambutan seperti yang dilakukan pakle. Hanya saja tekanan sosial mengharuskannya ikut arus dalam ingar bingar. Ada rasa nggak enak, ada rasa takut kalah saing dengan haji sebelah, ada rasa takut kurang meriah, ada rasa tidak ingin diungguli. Saya memang bukan orang yang bisa membaca perasaan, tetapi kesan ingin tampil lebih dari yang lain sangat terasa di musim haji.

Antara yang satu dengan yang lain saling unjuk kemeriahan dan kemewahan; meski kadang mobilnya adalah sewaan atau pinjam dengan hanya membayar ongkos bensin. Tak jauh berbeda dengan tradisi lain; seperti ghabay (pernikahan ala Madura). Kalaupun kemauan itu tidak berasal dari sang haji sendiri, tapi ada dorongan kuat dari pihak keluarga.

Jika begini, susah jadi menjadi haji mabrur di Madura

Saya hanya membayangkan dari kemarin, betapa berat ujian para haji di Madura untuk sampai ke taraf Mabrur. Belum sampai di rumah, mereka sudah dituntut untuk teggelam dalam euforia yang berlebihan. Mereka dipaksa tampil di hadapan orang-orang yang bahkan belum pernah kenal.

Yang menjadi persoalan bukan hanya tentang tantangan spiritual, tetapi memenuhi ekspektasi budaya masyarakat yang seringkali tidak sesuai dengan makna ibadah. Sehingga, kita mulai kehilangan batas antara rasa syukur dan gengsi sosial.

Dalam tulisan ini, saya tak hendak menyalahkan siapa-siapa. Tradisi berlangsung dari generasi ke generasi. Namun, seringkali tanpa disaring maknanya. Ironisnya, ampas tradisi itu lebih banyak ketimbang sari-nya (substansinya). Ini yang bahaya.

Kalau memang niatnya tabarrukan (meminta barokah) kepada yang berhaji, seharusnya cukup dengan datang ke rumah, sowan, salim, dan minta didoakan, beres. Tak ada alasan mengorbankan kepentingan umum. Bukankah inti dari syariah itu adalah untuk kemashlahatan?

Jadi, berat rasanya untuk menjadi haji yang mabrur di Madura. Para haji tak hanya diuji dengan hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga terperangkap dalam ekspresi kultur yang berlangsung. Wallahu A’lam.

Penulis: Aqil Husein Almanuri
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Di Madura, Biaya Oleh-oleh Haji Hampir Sama Besarnya dengan Biaya Keberangkatannya, Bikin Orang Jadi Enggan Berangkat 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 23 Juni 2025 oleh

Tags: hajimaduratradisi
Aqil Husein Almanuri

Aqil Husein Almanuri

Hamba Tuhan yang melankolis.

ArtikelTerkait

Tradisi Rewangan Adalah Ajang Kompetisi MasterChef Indonesia Versi Local Pride

27 Mei 2021
Bangkalan Madura Adalah Pilihan Paling Tidak Rasional untuk Menempuh Pendidikan Tinggi, Bukannya Belajar Malah Jadi Kader Partai UTM

Ironi Bangkalan Madura: Miskin Kotanya, Sejahtera Pejabatnya

20 Maret 2024
Saya Kapok Naik Bus Ekonomi Madura-Surabaya, Armada Bobrok dan Pelayanan Bintang Satu Mojok.co

Saya Kapok Naik Bus Ekonomi Madura-Surabaya, Armada Bobrok dan Pelayanan Bintang Satu

19 Juni 2024
Jalan Raya Telang UTM, Jalan Seribu Kafe di Bangkalan Madura

Jalan Raya Telang UTM, Jalan Seribu Kafe di Bangkalan Madura

12 Februari 2024
Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Sebenarnya Lebih Mirip UIN daripada Universitas Negeri Biasa. Bikin Mahasiswa Pengin Insaf Tiap Masuk Gerbang Kampus

Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Lebih Mirip UIN daripada Universitas Negeri Biasa, Bikin Mahasiswa Insaf Tiap Masuk Gerbang Kampus

5 Februari 2024
stereotip anak laut pantai sijile baluran mojok

Pantai Sijile, Pantai Indah yang Harus Dikunjungi kalau Kalian Main ke Situbondo

2 Agustus 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pertama Kali Mencicipi Swike: Makanan Berbahan Dasar Kodok yang Terlihat Menjijikan, tapi Bikin Ketagihan Mojok.co

Pertama Kali Mencicipi Swike: Makanan Berbahan Dasar Kodok yang Terlihat Menjijikan, tapi Bikin Ketagihan 

23 Desember 2025
Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya

Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya

21 Desember 2025
Garut Bukan Cuma Dodol, tapi Juga Tempat Pelarian Hati dan Ruang Terbaik untuk Menyendiri

Garut Itu Luas, Malu Sama Julukan Swiss Van Java kalau Hotel Cuma Numpuk di Cipanas

23 Desember 2025
Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

26 Desember 2025
Dosen Pembimbing Nggak Minta Draft Skripsi Kertas ke Mahasiswa Layak Masuk Surga kaprodi

Dapat Dosen Pembimbing Seorang Kaprodi Adalah Keberuntungan bagi Mahasiswa Semester Akhir, Pasti Lancar!

25 Desember 2025
Nggak Punya QRIS, Nenek Dituduh Nggak Mau Bayar Roti (Unsplash)

Rasanya Sangat Sedih ketika Nenek Saya Dituduh Nggak Mau Bayar Roti Terkenal karena Nggak Bisa Pakai QRIS

21 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa
  • Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu
  • Pantai Bama Baluran Situbondo: Indah tapi Waswas Gangguan Monyet Nakal, Itu karena Ulah Wisatawan Sendiri

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.