Dalam sebuah kelas pragmatik waktu itu, ada sebuah topik yang dibahas dengan menarik, yakni mengenai politeness and gender. Pada waktu itu, ada satu kelompok yang sebelumnya memaparkan materi kemudian lima kelompok lain memberikan pertanyaan pada kelompok yang presentasi.
Oleh karena hari itu bukan kelompokku yang presentasi, maka kami berkesempatan untuk memberikan pertanyaan. Pertanyaan kelompokku adalah; Adanya perbedaan tuturan antara laki-laki dan perempuan menurut Mills (2004) dilakukan bukan untuk menunjukkan posisi perempuan yang subordinat, melainkan untuk mencapai tujuan komunikasi masing-masing jenis kelamin. Secara eksplisit, Mills mengatakan bahwa tujuan komunikasi laki-laki dan perempuan itu berbeda, lalu apa tujuan komunikasi laki-laki dan apa tujuan komunikasi perempuan?
Sebelum kukirimkan pertanyaan itu pada presentator, aku berdiskusi terlebih dahulu dengan teman sekelompokku mengenai pertanyaanku tadi, Ahmad Riza Fauzi. Kala itu terjadi diskusi yang sangat seru antara kami berdua. Riza bukannya menghiraukan pertanyaanku, dia malah membuka diskusi lain. Ia masih sempat-sempatnya bertanya hal yang sangat umum terkait komunikasi-pergenderan-. Tanya Riza padaku, “Mbak kalau cewek ditanya ‘pengen makan apa’ terus jawabnya ‘terserah’, itu kek mana Mbak?” dilanjut dengan bumbu-bumbu curhat yang entah based on his experience atau bukan, “Akhirnya diajak makan bakso, malah ngambek, soalnya pengennya nasi kucing *tiga emot tersenyum mengeluarkan air mata*”
Jujur waktu itu aku tertawa membaca pertanyaan Riza. Itu adalah pertanyaan umum yang mungkin sampai sekarang belum ada orang yang mau memaparkan jawabannya. Dan sedihnya, karena memang nggak ada yang mau memaparkan jawabannya, jawaban ‘terserah’nya perempuan ketika ditanya mau makan apa sering dijadikan dasar pembentukan stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang sangat rumit.
Padahal sebetulnya, jika menyandarkan argumen pada pernyataan Simone de Beauvoir, sangat masuk akal ketika perempuan sering menjawab terserah ketika diberi pertanyaan mau apa pun pertanyaannya. Bukan karena wanita selalu benar, melainkan karena konstelasi sosial yang ada. Konstelasi sosial sejak dahulu kala, menurut de Beauvoir menjadikan perempuan sebagai manusia kelas dua atau second sex. Kedudukan perempuan yang berada di kelas nomor dua itulah, menjadikan mereka sebagai makhluk yang jarang mengambil keputusan. Perempuan bukan tidak pandai untuk menentukan sesuatu atau tidak mampu menentukan sesuatu, tapi tatanan sosial menganggap apa yang diputuskan perempuan pastilah sebuah petaka.
Berapa banyak argumen ahli atau non-ahli yang mengamini hal tersebut, bahkan ormas sebesar NU pun pernah mengeluarkan keputusan dari bashul masail tahun 1961 yang isinya menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi kepala desa kecuali dalam keadaan memaksa. Rujukannya apa? Jelas pada kitab mizan kubro yang di dalamnya ada bunyi hadist “Tidak akan pernah sukses suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan” (Saadah & Farida, 2019). Ada beberapa lagi pembahasan bashul masail yang dimaklumatkan oleh NU yang menurut Saadah dan Farida (2019) menjadi penghalang terciptanya hubungan gender yang adil, tapi kupikir pemaparan di atas sudah cukup mendukung argumenku yang mempercayai bahwa perempuan dalam hal pengambilan keputusan, tidak begitu dipertimbangkan eksistensinya. Setidaknya itu jawaban yang dapat kupersembahkan untuk pertanyaan Riza, teman sekelompokku.
Selanjutnya mengenai jawaban dari presentator terhadap pertanyaanku tadi, mereka percaya bahwa tujuan komunikasi laki-laki dan perempuan memang berbeda. Laki-laki cenderung berkomunikasi untuk menunjukkan kekuatan yang mereka punya, sedangkan perempuan melakukan komunikasi untuk tujuan menjaga solidaritas dengan mitra bicaranya. Jika ditinjau dari segi kebahasaan, laki-laki tidak lebih sering mengucapkan terima kasih atau meminta maaf dibanding perempuan.
Aku seratus persen setuju dengan pernyataan mereka, tapi aku ingin jawaban yang lebih dari itu, sebenarnya. Aku pernah membaca tulisan milik Deborah Tannen dalam bukunya yang berjudul You Just Don’t Understand. Di halaman awal, Tannen memaparkan bahwa tujuan laki-laki dan perempuan berbahasa itu memang sangatlah berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap dunia. Jika laki-laki memandang dunia sebagai sebuah kontestasi, perempuan memandang dunia sebagai sebuah koneksi. Pandangan tersebut terbentuk dalam benak laki-laki dan perempuan sesuai dengan bagaimana tatanan sosial memperlakukan mereka.
Oleh tatanan sosial, laki-laki dianggap sebagai makhluk unggul yang kuat, sehingga apapun yang muncul dari dirinya baik dari segi sikap, perilaku, bahasa, harus menunjukkan kekuatan. Sementara itu, perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua yang bahkan untuk berdiri di atas kakinya sendiri ia tidak mampu. Pandangan tersebut membuat perempuan harus mengumpulkan kekuatan dengan membentuk koneksi antar sesamanya karena jika ia hanya berdiri sendiri, ia akan dianggap sebagai sebuah makhluk lemah yang tak berdaya. Fakta tersebut mengingatkanku pada sebuah dialog dari film The Moxie, “Females gotta stick together. Number one untapped resource, women. Lady Power.”
BACA JUGA Perempuan Harusnya Nggak Benci Laki-Laki Karena Kesetaraan Itu Saling Melengkapi dan artikel Layliyatul Faiqiyah lainnya.