Beberapa hari ini lini masa media sosial saya cukup ramai dengan postingan tentang seorang penyanyi yang ikut sebuah ajang liga dangdut di televisi. Saya bertanya, mengapa ini menjadi ramai dan berbeda? Bukankah masyarakat dunia maya telah melewatkan beribu-ribu kontes talenta yang isinya berujung hanya untuk pamer kemiskinan dan kesulitan hidup pesertanya semata? Hingga akhirnya sering kali menimbulkan ambigu: Pemenangnya ini berdasarkan keprihatinan atau memang mempunyai bakat yang nyata?
Jiwa julid khas ibu-ibu kompleks saya lalu terpanggil. Bagaimana tidak, sebab hanya ada satu nama yang selalu dibicarakan teman-teman netizen yang budiman ini. Ternyata, salah satu peserta ajang pencarian bakat liga dangdut yang menyebabkan kehebohan di media sosial beberapa hari ini adalah seorang biduan asal tanah saya tercinta: Lombok.
Saya yang awalnya biasa aja atas histeria baru di jagat medsos masyarakat Lombok, menjadi sangat penasaran terhadap fenomena ini ketika si peserta ini “tersenggol” (istilah mereka apabila seorang peserta harus gugur dan dipulangkan). Pasalnya, hal ini tentu saja berhasil membuat marah sebagian masyarakat di daerah saya. Kemarahan itu bisa saya lihat dari ungkapan kekesalan mereka di laman media sosial.
Tidak sampai di situ saja, bahkan kepulangannya juga berhasil menyita atensi luar biasa dari masyarakat di sini hingga membuat mereka berbondong-bondong menyambutnya dan menciptakan kerumunan massal. Mungkin akan biasa saja jika ini terjadi di hari-hari biasa, di mana matahari masih hangat dengan terik yang cukup, Indosiar dan RCTI masih menyiarkan maraton kartunnya, dan kekecewaan terbesar kita hanya ketika peliharaan kita di Tamagochi mati (Ah, indahnya menjadi anak 90-an). Namun, ini terjadi di saat pandemi corona sedang ganas-ganasnya dan pemerintah dengan jelas telah memfatwakan social distancing dan stay at home. Apalagi ini diperparah dengan daerah tempat kepulangan dan penyambutan besar-besaran biduan tersebut sudah masuk zona merah!
Mengapa ini bisa terjadi? Apakah motif yang lahir dari penyampingan ancaman serius karena ‘gagap’ selebritis? Apakah masyarakat haus akan ethnic achievement? Kalau menurut Phinney (1996), sih, ethnic identity adalah sebuah konstruk kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnik, adanya evaluasi positif pada kelompok, dan ada keinginan turut serta untuk terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Jadi ethnic identity bakal membuat seseorang punya harapan akan masa depan yang berkaitan dengan etniknya.
Jadi, kalau saya menyimpulkan, masyarakat Lombok (dan ini juga mungkin terjadi pada masyarakat daerah lain) masih sangat haus akan figur yang membawa nama daerahnya di kancah nasional. Mengapa ini penting? Lagi-lagi menurut teori di atas, ini sebagai barometer sejauh mana daerahnya berkembang dan maju dalam strata etnis di pergaulan nasional. Publik figur di sini berfungsi sebagai alat ukur tentang seberapa banyak pengakuan masyarakat Indonesia terhadap daerahnya,
Saya juga sebetulnya merasakan hal-hal yang dirasakan kawan-kawan yang haus akan pengakuan terhadap daerahnya ini. Saya kadang ingin seperti etnik Batak yang punya Luhut Binsar Panjaitan, etnik Jawa yang punya soto Lamongan dan musik koplonya, Bali yang punya klub sepak bola yang begitu terkenal, atau daerah-daerah lainnya yang sudah lebih dulu terkenal dari masakan khasnya atau sesederhana logat bicaranya.
Jadi, saya merasa wajar apabila orang seperti saya dan masyarakat Lombok kebanyakan, akan sangat cepat merasa sangat bangga apabila ada putera daerah dari etnis saya “terdengar” namanya di kancah nasional. Sehingga kami cenderung meremehkan hal-hal yang sebenarnya bisa lebih diprioritaskan. Contohnya, imbauan berkumpul dan berkerumun dari pemerintah yang diabaikan demi menyambut local hero yang baru pulang dari gemerlapnya panggung kontes musik nasional.
Tentu hal ini sangat disayangkan mengingat ada penempatan kepentingan yang salah di situasi genting dan berbahaya di masa pandemi corona seperti saat ini.
BACA JUGA Pengalaman Saya Menonton Sinetron Azab di Indosiar dan tulisan Pratama Eko Yulianto lainnya.