Mengubah Redaksi Azan dengan Seruan Jihad Itu Randomnya Minta Ampun

Mengubah Redaksi Azan dengan Seruan Jihad Itu Randomnya Minta Ampun terminal mojok.co

Mengubah Redaksi Azan dengan Seruan Jihad Itu Randomnya Minta Ampun terminal mojok.co

Oknum mayoritas di negara ini memang random banget tingkah polahnya. Yang bukannya lucu, jatuhnya malah kelihatan goblok parah. Kayak yang baru-baru ini viral di media sosial, di mana ada sekelompok orang berbaris di sebuah musala dengan salah satu dari mereka yang mengubahkan redaksi azan menjadi azan jihad.

Awalnya azan terdengar normal-normal saja. Tapi, pas sampai pada kalimat “hayya alaa sholah (marilah mendirikan salat)”, sama si doi redaksi azannya diganti jadi “hayya ala al-jihad (marilah berjihad)”.

Konon katanya, azan jihad tersebut ditujukan kepada para pendukung Habib Rizieq Shihab sebagai aksi #belaulama. You know lah, imam besar mereka kan lagi seneng nih main kejar-kejaran sama aparat. Meskipun—persis saat artikel ini ditulis—pihak yang bersangkutan mengklarifikasi bahwa pengubahan redaksi azan tersebut bukan atas instruksi resmi dari markas besar “ormas Petamburan”.

Oke, oke, terserah dah, semau-mau mereka saja mau gimana.

Gara-gara ada a azan jihad ini, saya jadi teringat kembali dengan perubahan redaksi azan waktu awal-awal pandemi Maret lalu. Waktu itu, beredar video di beberapa masjid di Timur Tengah—Kuwait salah satunya—yang mengumandangkan azan dengan redaksi yang nggak lazim.

Dalam video tersebut, terdengar sang muazin mengganti redaksi dari yang semula “hayya ala sholah (marilah mendirikan salat)” jadi “sallu fii buyutikum (salatlah di rumah kalian masing-masing)”. Di beberapa masjid yang lain ada yang pakai, “sallu fi rihalikum (salatlah di tempat kalian masing-masing)”. Fenomena ini pernah saya angkat dalam tulisan saya di Terminal Mojok yang berjudul, “Menyikapi Perubahaan Redaksi Azan di Kuwait dengan Biasa Saja”.

Yang paling saya ingat waktu itu dan bikin saya gemas nggak ketulungan adalah reaksi dari oknum mayoritas di negara kita. Mereka menjadi kelompok yang paling keras menentang adanya azan baru itu. Pertama, mereka nggak terima redaksi azan diubah. Tindakan tersebut, bagi mereka, telah menyimpang dari ajaran Nabi Saw.

Kedua, mereka bersikeras menolak instruksi untuk meniadakan aktivitas salat berjamaah di masjid (salat di rumah masing-masing). Mereka menuding bahwa instruksi ini adalah konspirasi dari kaum kuffar jahanam. Sepinya masjid dari aktivitas berjamaah bagi mereka adalah pertanda bahwa dunia sudah berada di ambang kehancuran. Pokoknya nggak main-main lah marahnya mereka saat terjadi perubahan redaksi azan waktu itu.

Eh hla kok, sekarang malah mereka-mereka sendiri yang mengubah redaksi azan. Bedanya, perubahan redaksi azan saat ini dilakukan dengan sangat ngawur. Selain nggak logis juga nggak berakhlak babar blas.

Saya berani bilang, mereka ini adalah orang yang nggak punya subasita atau unggah-ungguh di hadapan Gusti Allah dan Kanjeng Nabi. Lah ganti redaksi azan sekarepe cangkeme dewe, je. Beda sama seruan azan “sallu fi buyutikum” yang memang punya dasar sangat sahih.

Diriwayatkan dalam Sahih Bukhari, perintah untuk salat di rumah masing-masing itu berasal dari Rasulullah langsung. Pertimbangan Rasulullah waktu itu adalah, di Madinah hujan badai sehingga terlalu berisiko kalau memaksakan salat berjamaah di masjid. Nah intinya, melalui kumandang azan yang diubah redaksinya itu, Rasulullah berupaya untuk melindungi kaum muslimin biar terhindar dari mara bahaya. Dan yang terpenting, tanpa mengurangi esensi dari azan, yaitu salat (menghadap kepada Allah).

Makanya bunyi redaksinya, “sallu fi buyutikum”, tetap ada kata “sallu”-nya. Yang menunjukkan kata perintah buat tetep mendirikan salat, walaupun nggak bisa berjamaah di masjid. Jadi selain demi kemaslahatan bersama, seruan tersebut juga tetep memiliki orientasi manembah kepada Allah Swt.

Orientasi yang jelas-jelas berbeda dengan azan jihadnya oknum mayoritas yang sukanya teriak-teriak revolusi akhlak tapi akhlaknya sendiri belum beres ini.

Coba dipikir, deh. Dengan azan tersebut Rasulullah berupaya menghindarkan umatnya dari mara bahaya sekaligus tetap mendekatkan mereka dengan Allah. Tapi, dengan media yang serupa, sebuah kelompok yang mengaku paling “nyunnah” justru malah memberi semacam ancaman dan mara bahaya kepada saudaranya sebangsa, bahkan seiman sekalipun.

Ya iya, to, seruannya ngeri banget, je. “Hayya ala al-jihad”, Rek. Saya tekankan sekali lagi, jihad loh ini yang mereka serukan. Dan saya yakin, bukan berprasangka buruk loh, sebab memang sudah terbukti di kasus-kasus sebelumnya kalau jihad yang dimaksud di sini adalah perang. Yakni memerangi siapa saja yang berseberangan jalan dengan mereka. Memerangi siapa saja yang menangkap imam besar mereka atas alasan hukum. Nggak peduli kalau yang berbeda pandangan adalah orang yang seiman dengan mereka. Terus piye jal kalau kayak gini?

Dan ini nih bagian yang menurut saya sudah sangat fatal. Coba cek lagi redaksinya. Iya, nggak ada tendensi ngajakin salat. Nggak ada aroma-aroma ngajakin buat menghadap Allah SWT. Sebab, fokus mereka sudah bukan Allah, tapi ke imam besar mereka, berjihad untuk membela     imam besar mereka. Sik, sik. Kok jadi serem gini ya. Kayak imam besar mereka sama derajatnya dengan Allah. Ini namanya sudah pemberhalaan, Cuk!

Kalau dalihnya, jihad adalah bagian dari ibadah kepada Allah, kayaknya perintah jihad itu cuma kalau lagi dalam kondisi terancam saja, deh. Pertanyaannya, memang seterancam apa sih antum-antum ini wahai akhi? Terancam mau dibubarin?

Toh negara dan masyarakat selama ini baik-baik saja ke antum sekalian. Justru antum yang sering menebar ancaman, sweeping warung lah, diskotik lah, PKI lah, bahkan menebar ancaman mau memenggal kepala orang segala, loh. Kalau mau ikut-ikutan radikal, kalian harusnya yang layak diperangi, eh.

Atau jika dalihnya, membela ulama atau habaib adalah bagian dari penghormatan kepada Rasulullah dan cucu-cucunya (katanya ulama adalah pewaris para Nabi dan habaib adalah cucu Rasulullah) nggak gitu dong caranya. Jika mau menghormati Rasulullah ya diteladani to yo akhlak beliau kayak gimana. Bukan malah pakai apologi nasab buat melegitimasi perbuatannya yang arogan itu.

Terakhir nih, yang maksum itu cuma Rasulullah, cucunya nggak! Jadi tetap bisa salah. Nggak harus dibener-benerin, kalau salah ya diingetin. Dan soal ulama yang katanya pewaris para Nabi itu, coba baca tulisan saya ini, “Emang Bener Ulama itu Pewaris Para Nabi?” Baca sendiri saja, ya. 

BACA JUGA Momen Perpisahan Anak Bandel dengan Ibu Kos yang Terlewat Dramatis dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version