Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Olahraga

Menggugat Alasan Mendaki Gunung Para Pemula: Sebuah Percakapan Nyinyir

Taufik oleh Taufik
8 Juni 2019
A A
Naik Gunung untuk Mengobati Patah Hati Itu Niat yang Konyol terminal mojok.co

Naik Gunung untuk Mengobati Patah Hati Itu Niat yang Konyol terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Sejak sampai di rumah beberapa hari yang lalu, satu hal yang sering sekali saya pamerkan adalah tentang kegemaran saya naik gunung. Saya merasa pencapain untuk bisa sampai ke puncak sebuah gunung adalah sesuatu yang bisa dan wajib menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya. Selain itu, untuk ukuran gunung dengan ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut (mdpl), saya kira di desa saya baru saya yang bisa melakukannya. Seorang sepupu saya sudah sekali, itupun saya yang ajak.

Tidak heran jika selanjutnya decak kagum dan bahkan tepuk tangan selalu saya dapatkan ketika saya bercerita perjalanan saya ke puncak sebuah gunung (rerata gunung yang ada di Pulau Jawa). Pun jika saya menunjukkan sebuah gambar hasil jepretan ketika mendaki gunung. Bangga bercampur haru sering selalu saya rasakan. Bahkan kadang hanya bisa senyum karena tidak bisa berkata-kata

Namun semua berubah seketika saat Om saya menanyakan perihal pendakian. Suatu pertanyaan yang memang benar-benar nyelekit. Terutama untuk seorang dengan intensitas naik gunung yang masih berkisar antara pemula dan amatiran. Beliau bertanya,”Toh kalian tidak naik gunung juga tidak akan ada pengaruhnya kan?” “Bahwa jika bahayanya justru lebih besar dari apa yang kalian inginkan ketika di puncak, bukankah cari mati konyol namanya?” Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat kepala saya bertambaha pusing.

Pada suatu titik tertentu, saya merasa apa yang dikatakan Om saya ini ada benarnya juga. Bahwa saya, dan mungkin kebanyakan teman-teman pendaki pemula lainnya hanya mencari eksis ketika naik gunung. Tidak ada yang benar-benar punya tujuan pasti untuk naik gunung. Saya selalu mengingat salah satu pesan dari Soe Hok Gie, salah seorang pelopor Mapala UI dan selalu jadi panutan Mahasiswa Aktivis dan Pendaki. “Mencintai Indonesia itu dengan mendatanginya langsung, dan mendaki gunung adalah salah satu cara mencintai Indonesia”.

Dengan tidak perlu banyak bertanya ini itu, saya sangat paham betul kalimat itu. Soe Hok Gie pada masanya melakukan hal yang luar biasa. Mencintai Indonesia dengan mengunjunginya. Mendaki gunung. Menuruni lembah. Berwisata ke pantai. Bertemu orang-orang di pelosok Indonesia. Bahkan tidak heran jika pada akhir hayatnya, Gie meninggal beberapa puluh meter di puncak tertinggi pulau Jawa.

Dari seorang Gie, kita melihat begitu besar alasan mengapa dia mendaki gunung. Adalah alasan cinta kepada Indonesia. Dan sekaligus pada titik tersebut, saya belum atau justru tidak menemukan alasan kuat mendaki gunung layaknya seorang Gie.

Mencari alasan dengan jalur lain, saya bertemu seorang Fiersa Besari. Melakukan perjalanan, terutama pendakian setelah mengalami patah ahti yang begitu besar. Sebuah alasan logis danmasuk akal untuk seorang yang ditinggal pujaan hati menikah dengan orang lain. Pada titik ini, saya menemukan kesamaan dengan Fiersa Besari. Sayangnya, itu hanya sampai pada alasan ditinggal pujaan hati yang menikah dengan pria lain. Sedangkan alasan untuk mendaki karena itu juga belum sreg rasanya. Karena untuk menghilangkan perasaan patah hati saya, saya merasa hal ini terlalu berlebihan. Maka alasan ini juga kembali tidak bisa sepenuhnya menjadikan saya mendaki gunung.

Kembali kepada gugatan om saya mengenai keinginan saya untuk mendaki gunung, saya mulai berpikir apakah saya memang benar-benar amatiran dalam pendakian? Bahkan untuk pertanyaan sepenting itu, atau pun jika pertanyaan itu tidak terlalu penting, saya tidak pernah menemukan jawaban yang cocok? Apakah amatiran jika mendaki hanya untuk mendaki saja? Tidak ada embel-embel lain? Tidak karena kecintaan kepada sesuatu atau karena patah hati terhadap sesuatu?

Baca Juga:

Booking Lahan Camp di Gunung oleh Biro Open Trip Itu Nggak Masuk Akal, Sejak Kapan Gunung Jadi Lahan Milik Pribadi?

Kredit Mobil Banyak Ruginya, apalagi untuk Gengsi, Jelas Bikin Hidupmu Hancur!

Maka gejolak yang muncul pada akhirnya adalah, saya akan melanjutkan tradisi mendaki atau saya akan berhenti. Sering ingatan saya muncul sebagai sebuah Lorong waktu mengingat setiap detail perjalanan saya mendaki gunung. Dan itu semacam kegiatan nir manfaat dan hanya buang-buang tenaga dan uang. Begitu banyak materi yang saya keluarkan untuk mendaki gunung. Begitu banyak waktu terbuang sia-sia hanya untuk melakukan satu waktu perjalanan. Bayangkan, rerata untuk pendakian sebuah gunung saya membutuhkan paling sedikit 2-3 hari. Untuk waktu yang sama, saya bisa mengunjungi lokasi wisata lebih banyak jika saya berwisata (selain gunung) di sekitaran Jogja saja.

Dan sekali lagi, saya merasa bahwa untuk seorang pendaki amatiran, saya benar-benar tidak memiliki alasan yang kuat untuk mendaki gunung lagi. Saya sudah selesai ketika saya mendapat pertanyaan atau entah nyinyiran macam Om saya katakan. Bayangkan, jika pertanyaan seenteng itu saja saya tidak punya jawabannya, bagaiman dengan pertanyaan lebih serius yang ditanyakan kepada para pendaki professional. Pertanyaan kepada mereka itu bukan lagi, “mengapa mendaki gunung?” Pertanyaan kepada mereka itu kadang kala “Sehari lagi nikah kok malah ditinggal mendaki gunung?” Dan itu pertanyaan lebih dari serius bos. Bisa dua, tiga, empat, berpuluh-puluh bahkan berates-ratus rius.

Terakhir diperbarui pada 17 Januari 2022 oleh

Tags: Gaya HidupHipsterMendaki GunungMilenial
Taufik

Taufik

Ide adalah ledakan!

ArtikelTerkait

skincare

Skincare Mahal, Pakai Air Wudu Saja

3 Juni 2019
milenial beli rumah

Pengalaman Beli Rumah di Usia 23 Tahun dan Pelajaran Buat Milenial yang Pengin Punya Rumah

21 Oktober 2019
pendaki indie

Menjadi Pendaki Gunung Itu Tidak Harus Menjadi Indie

12 Mei 2019
4 Stereotip Jakarta yang Diamini Banyak Orang, padahal Keliru

4 Stereotip Jakarta yang Diamini Banyak Orang, padahal Keliru

21 Juli 2022
Alasan Kenapa Kamu Harus Mendaki Gunung Gede Pangrango Minimal Sekali Seumur Hidup

Alasan Kenapa Kamu Harus Mendaki Gunung Gede Pangrango Minimal Sekali Seumur Hidup

11 Mei 2023
barang kw

Budaya “Pokok Duwe Masio KW” di Masyarakat

12 Agustus 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Hal-hal yang Harus Diketahui Calon Perantau sebelum Pindah ke Surabaya agar Tidak Terjebak Ekspektasi

Hal-hal yang Harus Diketahui Calon Perantau sebelum Pindah ke Surabaya agar Tidak Terjebak Ekspektasi

18 Desember 2025
Tips Makan Mie Ongklok Wonosobo agar Nggak Terasa Aneh di Lidah

Tips Makan Mie Ongklok Wonosobo agar Nggak Terasa Aneh di Lidah

22 Desember 2025
Nggak Punya QRIS, Nenek Dituduh Nggak Mau Bayar Roti (Unsplash)

Rasanya Sangat Sedih ketika Nenek Saya Dituduh Nggak Mau Bayar Roti Terkenal karena Nggak Bisa Pakai QRIS

21 Desember 2025
Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

18 Desember 2025
Boleh Membanggakan SCBD Jogja, tapi Jangan Lupakan Gamping dan Mlati Sleman yang Akan Menjadi The Next SCBD Jogja Barat

Boleh Membanggakan SCBD Jogja, tapi Jangan Lupakan Gamping dan Mlati Sleman yang Akan Menjadi The Next SCBD Jogja Barat

19 Desember 2025
Motor Honda Win 100, Motor Klasik yang Cocok Digunakan Pemuda Jompo motor honda adv 160 honda supra x 125 honda blade 110

Jika Diibaratkan, Honda Win 100 adalah Anak Kedua Berzodiak Capricorn: Awalnya Diremehkan, tapi Kemudian jadi Andalan

20 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Dianggap Aib Keluarga karena Jadi Sarjana Nganggur Selama 5 Tahun di Desa, padahal Sibuk Jadi Penulis
  • Terpaksa Jadi Maling-Mendekam di Penjara karena Lelah Punya Orang Tua Miskin, Sejak Kecil Hanya Bisa Ngiler ke Hidup Enak Teman Sebaya
  • Membandingkan Warteg di Singapura, Negara Tersehat di Dunia, dengan Indonesia: Perbedaan Kualitasnya Bagai Langit dan Bumi
  • Slipknot hingga Metallica Menemani Latihan Memanah hingga Menyabet Medali Emas Panahan
  • Nyaris Menyerah karena Tremor dan Jantung Lemah, Temukan Semangat Hidup dan Jadi Inspirasi berkat Panahan
  • Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.