Sepertinya, hingga tahun ini, study tour atau darmawisata sekolah belum boleh diadakan. Bagi para siswa yang sekarang sedang sekolah online, harap bersabar ini ujian. Saat yang seharusnya jadi momen indah untuk anak sekolah, harus digantikan dengan melihat wajah bapak atau ibu guru dari layar gawai, mana suka dekat banget dari kamera. Kondisi seperti ini memang harus banyak maklumnya. Seperti yang adik saya alami. Saat SMP tak bisa ikut karena ada lomba voli, saat SMA ada pandemi. Saya sih senang-senang saja, ngirit sangu.
Saya tak terlalu suka study tour. Bukan karena nggak suka jalan-jalan, melainkan nggak suka keramaian. Di bus ramai, tempat yang dipilih juga ramai, belum lagi tidur di hotel ramai-ramai, saya bisa stres. Namun, yang paling bikin heran adalah kenapa kalau kita anak sekolah Jawa study tour, tujuannya selalu ke Bali. Saya sangat bingung dengan fenomena ini. Kalau cuma ramai dan pantai, Parangtritis juga sama saja dengan Ubud.
Namun, dengan kemampuan pencarian ilham dan ilmu cocokologi, saya punya pemaparan perihal Bali yang istimewa ini. Salah satu alasannya mungkin karena budaya turun-temurun. Sejak zaman bapak saya, kalau study tour ya ke Bali. Sudah sejak dulu begitu adanya, sehingga para junior hanya sekadar jadi ahli waris dari budaya ini.
Bisa juga karena Bali adalah wisata nomor satu di Indonesia, favorit gitu. Banyak orang yang bercita-cita pergi ke Bali, tentu karena menganggap Bali adalah tempat paling ciamik untuk liburan. Hampir semua orang Indonesia selalu pergi ke sana tiap kali liburan tiba. Karena tempat itu memang sudah “wisata” banget, sehingga sudah banyak fasilitas pendukung bagi wisatawan. Hotel banyak, tempat wisata banyak, mau party gampang, bebas pokoknya. Mungkin unsur bebas itu yang dicari. Untuk study tour pun memang enak, fasilitas tadi itu lho, komplit.
Alhasil, banyak yang bercita-cita bisa ke Bali. Bali jadi semacam tujuan hidup untuk banyak orang. Minimal sekali seumur hidup harus pergi ke sana. Begitu juga yang terjadi pada kawan-kawan sekolah saya dulu. Pokoknya harus Bali, kalau nggak Bali emoh. Saya yang nggak suka study tour, ya mending tiduran sambil main gim di rumah. Kan enak, tetap dapat oleh-oleh.
Tapi, kenapa kok harus Bali lagi tho? Indonesia luas, Bung! Bahkan kita punya banyak tempat asoy di pulau Jawa, nggak perlu jauh-jauh. Ada Malang, Jogja, Banyuwangi, Solo, Kediri, Bekonang, dll. Bahkan, bisa lebih murah biayanya. Tapi ya itu tadi, semua kalah favorit dari Bali.
Mungkin karena FTV juga sering pilih lokasi syuting di Bali. Artis-artis kalau nikah juga sukanya di Bali. Secara nggak langsung, masyarakat terpengaruh untuk bisa menyambangi Bali. Belum lagi embel-embel surga, paradise, Pulau Dewata, tentu sangat menarik layaknya “Chum is Fum” bikinan Patrick Star.
Sekali-kali, tempat lain juga harus diberi kesempatan untuk merasakan gegap gempita anak-anak yang tengah study tour. Kenapa nggak mencoba Bromo atau Malang? Bahkan Madura jika memungkinkan. Tempat-tempat itu punya keistimewaan juga, yahud pokoknya. Bali sudah terlalu ramai, terutama Denpasar. Coba ke Solo, pergi ke Museum-museum bagus itu. Bisa juga ke Bekonang, melihat proses pembuatan minuman para saku licin alias kaum oleng kolektif. Atau ke Semarang, ada museum kereta api di Ambarawa, ada Rawa Pening, ada Kota Tua. Atau ke Magelang deh, ada Borobudur, Museum Widayat, Museum Diponegoro, ada rumah saya, atau boleh menengok sungai Elo yang sedang dicemari limbah-limbah pabrik (cieee, pesan moral).
Oke deh, study tour biar asyik harus keluar pulau. Pergi saja ke Lombok, masih lumayan sepi dan sama-sama indahnya, tentu biaya transportasi jadi lebih mahal dikit. Kita punya pulau-pulau yang asoy juga, ada Pulau Seribu, sekalian melihat kesenjangan daerah yang dekat ibu kota (cieee, pesan moral lagi). Atau ke pulau yang dipercaya sebagai pulaunya Ajisaka, Nusakambangan, liburan sekaligus deg-degan.
Bisa juga study tour di daerah masing-masing. Nggak usah jauh-jauh dulu, kenali daerah sendiri dulu. Saya saja baru tahun lalu bisa melihat candi di Desa Setan (iya, Desa Setan namanya). Padahal, candi itu cuma berjarak 3 kilometer dari rumah saya, lho! Maksud saya, kalau memang mau study dan tour, ya nggak perlu jauh-jauh. Mempelajari daerah sendiri itu juga penting, jangan kayak saya.
Cuma ya gitu, nggak bisa ketemu bule. Mungkin inilah alasan Bali selalu jadi pilihan terbaik, ada bulenya. Persetan itu pantai, leak, kecak, pai susu, gantungan kunci, topeng, bebek betutu, nggak akan ada yang bisa mengalahkan momen berfoto bersama para bule. Cekrek, aplot~
BACA JUGA Kalau Artis dan Bule Pindah ke Bali, Terus Orang Bali Mau Ngungsi ke Mana? dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.