Kebanyakan dari generasi 90-an boleh berbangga hati dengan apa yang selama ini mereka lalui, dari masa kecil yang dirasa indah karena gadget—khususnya handphone—belum menjauhkan yang dekat sampai tontonan di televisi yang dianggap menghibur bagi banyak kalangan.
Setelah kemunculan handphone yang satu paket dengan segala kecanggihannya, perlahan generasi 90-an juga menikmati peran teknologi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bermain game, streaming, dan pastinya sebagai alat komunikasi—baik telepon, chatting, pun SMS. Tentunya kecanggihan tersebut akan sia-sia tanpa sentuhan dari manusia.
Namun dalam proses penggunaannya, namanya juga pengguna baru dan kali pertama berhadapan dengan sesuatu yang canggih—pada masanya—banyak diantara kita seperti tidak siap cenderung berlebihan dalam menggunakan fitur yang terdapat pada handphone.
Saya ambil contoh dari Ibu saya sendiri, sekitar tahun 2004 Ibu memiliki handphone pertamanya, Nokia 3310 yang pada masanya teramat canggih dengan game Snake dan Space Impact menjadi hiburan selain radio. Karena terlampau senang memiliki “mainan” baru, Ibu menelepon saudara di luar kota sampai dengan bermenit-menit lamanya hanya agar nomornya diketahui saudara. Terkesan pamer, sih, padahal saat itu ada telepon rumah.
Saya sendiri baru memiliki handphone saat kelas 2 SMP—itu pun beli second menggunakan uang lebaran—dengan layar berwarna oren dan jika dibandingkan handphone sekarang, tentu kualitas serta kecanggihan berbeda jauh. Mau bagaimana pun, handphone yang dikenal usang itu menjadi awal mula—tetap perlu diakui dan diapresiasi kehadirannya.
Kala itu, pulsa yang saya beli terbilang awet karena hanya digunakan untuk SMS-an dengan teman mengenai PR atau tugas apa yang harus dikumpulkan esok hari sewaktu menjalani aktivitas sebagai siswa SMP. Kemudian yang menjadi tidak biasa adalah siapa pun pembalas SMS-nya pasti menggunakan beberapa kata yang sulit dimengerti—sesekali berupa singkatan—dengan perpaduan huruf besar, kecil, beserta angka.
Misalnya saja saat saya bertanya “Bam—Bambang—besok ada PR apa aja?”, jawaban dan balasannya “B5k ad pR bH5 iNd0n3s1A”. Pusing, bukan? Tapi saya cukup yakin pasti kalian langsung paham isi dan maksud dari karakter tersebut. Awalnya saya sempat kesulitan dan perlu berpikir keras dalam mengartikan kalimat tersebut sampai akhirnya saya pun ikut-ikutan menggunakan gabungan karakter demikian dalam berbalas SMS. Ternyata keren juga—pikir saya kala itu—dan sempat menjadi tren pada masanya.
Banyak perubahan kata yang muncul, misalnya saja kata “aku” menjadi “aq”, “kamu” menjadi “qm”, kata “lagi” disingkat menjadi “Lg”—huruf L harus besar karena khawatir tertukar dengan huruf “i” kapital, begitu kata teman saya. Lalu yang ajaib adalah huruf “x” sama dengan kata “-nya”, saya ambil contoh pada kata “bersamanya” menjadi “bersamax”. Mengacu pada contoh tersebut, lalu apakah kata “nyamuk” dapat disingkat dan diganti menjadi “xmuk”?
Singkatan, pergantian kata, juga campuran karakter antara huruf dan angka dalam suatu kalimat pada SMS tersebut berlangsung hingga saya SMA kurang lebih sekitar periode 2006-2009. Dengan munculnya provider yang memberi tarif Rp1/karakter waktu itu, menjadi penegas bagi kami yang suka menyingkat kata pada pesan singkat untuk lebih sering dan giat dalam membuat singkatan baru yang lebih unik—dan sulit dimengerti orang lain.
Secara perlahan—dalam kehidupan saya—memasuki awal 2010 secara perlahan penggunaan kata alay mulai berkurang, beberapa singkatan mulai ditiadakan apalagi di ruang lingkup perkuliahan juga sewaktu menghubungi dosen. Jika hal tersebut masih dilakukan sudah pasti akan mendapat teguran.
Pada akhir masa kejayaan penggunaan kata alay—sekali lagi, hal ini mengacu pada generasi angkatan saya—yang tersisa hanyalah kata “W” sebagai pengganti kata “gue” dan “U” untuk kata ganti “elu”. Saya cukup yakin beberapa teman kalian masih ada yang menggunakan kata tersebut dalam chatting—begitu pula dengan beberapa teman saya.
Saat ini, di ruang lingkup pertemanan saya sudah bisa dikatakan hampir tidak ada yang menggunakan kata yang mencirikan alay saat berkomunikasi. Semuanya sudah bertransformasi menjadi penikmat senja dan kopi pada bio singkat di media sosialnya. Paling tidak dijadikan caption pada salah satu postingan foto di instagramnya.
Semua yang berkaitan dengan alay seperti menjadi salah satu bagian dari kenangan dan hiburan. Kali ini sebagai salah satu anak generasi 90-an, saya kembali merasa beruntung karena sempat merasakan langsung dan menjadi salah satu pelaku fenomena alay. Ya, mungkin benar apa yang pernah dikatakan Raditya Dika bahwa alay adalah proses menuju kedewasaan.
J4di, n6a uSh khW7ir dbL9 4LaY. TrZ cMun6UDh e4aAa, qAq4~