Tumbuh di lingkungan dengan kepercayaan Jawa yang kental saya rasa cukup ribet. Selain meyakini berbagai macam pantangan soal menikah, keluarga saya juga percaya adanya hari sial. Hari penuh bala atau masalah tersebut jatuh pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Simbah saya biasa menyebutnya Rabu Wekasan.
Saya tidak tahu dari mana asalnya kepercayaan ini, yang jelas ketika sudah memasuki bulan Safar keluarga saya mulai berpesan untuk berhati-hati saat keluar rumah. Terutama simbah saya, blio adalah orang paling cerewet perkara hal ini.
Menurut Simbah, bulan Safar dipercaya sebagai bulan di mana Tuhan akan menurunkan masalah, terutama di hari Rabu Wekasan.
“Lah apa bedanya dengan bulan Suro kemarin, Mbah? Suro katanya juga bulan yang banyak bala, sampai tidak boleh ada hajatan kan,” celetuk saya ketika Simbah berbicara soal bulan Safar.
“Ngawur, yo jelas beda toh, nduk,” intonasi Simbah penuh penekanan. Saya yakin sebentar lagi, Simbah akan cerita panjang lebar. Hihi.
Bulan Suro dianggap sebagai awal tahun atau permulaan. Di bulan Suro, seseorang dianjurkan agar banyak introspeksi diri gunanya untuk meningkatkan kualitas diri. “Umpamane, di bulan Suro itu manusia diasah lewat ibadah atau merenung supaya bisa memperbaiki diri, lah menghadapi ujiannya ya di bulan Safar yang puncaknya waktu Rabu Wekasan,” jelas Simbah.
Seperti halnya tradisi lain dalam masyarakat Jawa, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai upaya penolakan bala pada hari Rabu Wekasan. Pertama dengan bersedekah atau membagikan bubur Safar.
Bubur Safar ini terdiri dari campuran beberapa bubur. Terdapat adonan bubur putih, mutiara, juga bubur yang terbuat dari tepung beras ketan yang dibentuk jadi bulatan-bulatan kecil. Bubur Safar ini dilengkapi dengan air gula merah dan kuah santan.
Biasanya bubur Safar akan dibagikan kepada para tetangga sebagai bentuk sedekah. Kegiatan dilakukan ketika memasuki bulan Safar dan pada waktu Rabu Wekasan. Saya jadi ingat, pantas saja akhir-akhir ini, rumah saya sering mendapatkan ater-ater bubur semacam itu.
Kepercayaan lain selain membuat bubur Safar adalah membuat jenang tolak bala. Jenang ini berisi adonan bubur putih yang di atasnya diberi sedikit langes. Dalam bahasa Indonesia langes berarti jelaga atau butiran arang yang halus, lunak, dan berwarna hitam. Biasanya langes atau jelaga ini terdapat di bagian belakang panci atau wajan. Jenang tolak bala ini tidak dibagikan, ini hanya sebagai sarana untuk menolak bala.
Bukan cuma bersedekah, lelaku lain yang bisa dilakukan untuk sarana tolak bala pada Rabu Wekasan adalah berpuasa. Puasa yang dilakukan ini dalam waktu sehari semalam. Tetapi, jika memang tidak mampu boleh melakukan puasa seperti biasanya.
Selain dalam masyarakat kejawen, peristiwa Rabu Wekasan ternyata juga dilatarbelakangi dengan adanya pendapat ulama. Salah satunya pendapat Abdul Hamid Quds yang dituangkan dalam kitab Kanzun Najah wa-Surur fi Fadhail al-Azminah wa-Shuhur. Dijelaskan dalam kitab tersebut, setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah menurunkan 320.000 macam bencana ke Bumi. Hari tersebut dianggap hari yang terberat.
Maka dari itu, barang siapa yang melakukan shalat empat rakaat, di mana setiap rakaat setelah surat al-Fatihah membaca surat al-Kautsar sebanyak 17 kali. Lalu, surat al-Ikhlas lima kali, serta surat al-Falaaq, dan an-Naas masing-masing sekali. Kemudian seusai salam, tidak lupa berdoa agar dijauhkan dari segala macam bencana. Dengan demikian dipercayai bahwa Allah dengan segala kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari segala macam bala bencana yang turun hari itu sampai sempurna setahun.
Tetapi, menyikapi anjuran shalat pada waktu Rabu Wekasan, beberapa ulama NU menegaskan tidak adanya amalan atau shalat khusus yang dilakukan di hari Rabu Wekasan.
Gus Mus atau Mustofa Bisri juga berpendapat soal shalat Rabu Wekasan. Dalam bukunya Fikih Keseharian Gus Mus, blio menuliskan kalau masih ingin melaksanakan shalat Rabu Wekasan, ya niatnya saja yang diubah, jangan niat salat Rabu Wekasan tetapi niat salat hajat (hajatnya menolak bala, misalnya) atau niat shalat sunnah begitu saja.
Bagi saya perpaduan antara kepercayaan tradisi dan emosi keagamaan ini menciptakan adanya ritual yang dianggap masyarakat sebagai bentuk usaha. Keyakinan tentang datangnya berbagai malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Safar yang direspon dengan memohon kepada Tuhan keselamatan dan perlindungan dari segala bencana yang mungkin terjadi ini juga menunjukkan sikap positif dan optimis dalam menghadapi ancaman.
Meskipun, pada dasarnya setiap hari bisa menjadi bermanfaat atau justru naas bagi seseorang. Tinggal bagaimana cara kita berusaha dan meyakini jika segala anugerah atau musibah sudah diatur oleh Tuhan.
BACA JUGA Benarkah Islam Memperbolehkan Suami Memukul Istri? dan tulisan Alvi Awwaliya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.