Banyak pecinta kopi yang belum tahu, tidak jauh dari Jakarta ada perkampungan penghasil kopi luwak berkualitas. Kampung itu bernama Cisadon yang terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Nama Cisadon memang belum setenar penghasil kopi unggulan di Indonesia lainnya seperti Gayo, Sidikalang, Lampung, Garut, Toraja, dan Kintamani. Membutuhkan waktu enam sampai tujuh jam dari Jakarta untuk sampai ke Kampung Cisadon.
Jika menggunakan kendaraan pribadi rute teraman dari Jakarta adalah lewat Jalan Raya Bogor menuju Sentul, dari Sentul arahkan kendaraan menuju peternakan sapi milik Prabowo Subianto. Kendaraan pribadi tidak bisa dibawa ke Kampung Cisadon karena kontur jalanan yang terjal dan menanjak, kecuali kendaraan itu memang dibuat untuk medan yang seperti itu.
Di sekitar peternakan tersebut ada beberapa rumah warga yang biasa digunakan untuk menitipkan kendaraan para wisatawan yang berkunjung ke Cisadon.
Dari tempat penitipan kendaraan, para wisatawan harus berjalan kaki melewati medan yang sangat terjal tiga sampai empat jam untuk sampai ke Cisadon. Demi keselamatan selama perjalanan pengunjung disarankan untuk menggunakan sepatu khusus pendakian, membawa barang secukupnya menggunakan tas ransel, daypack, atau carrier, sederhananya persiapkanlah diri seperti hendak mendaki gunung.
Di sepanjang jalan pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan alam yang begitu indah, itu pun jika perjalan dilakukan pada musim kemarau lain halnya jika dilakukan pada musim penghujan. Jika melakukan perjalanan di musim penghujan, jalan yang dilewati juga menjadi licin dan pandangan akan terbatasi oleh kabut.
Setelah tiga sampai empat jam melewati medan terjal sampailah pada perkampungan kecil yang berpenduduk tidak lebih dari 50 orang. Perjalanan yang melelahkan akan terbayar sesampainya di Kampung Cisadon karena keramahan penduduknya dan kondisi perkampungan yang masih sangat asri.
Perkampungan itu dikelilingi oleh pepohonan hijau dan hamparan perkebunan kopi di mana-mana, semakin terasa asri karena udaranya yang dingin. Kendati begitu, rumah-rumah warga belum teraliri listrik dari PLN, mereka masih menggunakan kincir air untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik.
Penduduknya yang tidak lebih dari seratus orang itu mayoritas adalah petani kopi. Kopi yang ditanam di sana adalah kopi jenis robusta yang bisa tumbuh di ketinggian kurang dari 800 Mdpl dengan suhu 18-36˚C.
Alasan penduduk lebih memilih kopi robusta adalah karena lebih mudah dirawat dan lebih banyak pemesannya, “Dulu pernah kita coba tanam kopi jenis rabica tapi yang beli nggak banyak.” Kata Parid salah satu petani kopi di sana.
Awal mula perkebunan kopi ini dimulai pada 1983, menurut penuturan Nini (nama samaran) yang mengaku sebagai penduduk pertama Cisadon, tahun itu dia bersama almarhum suaminya membuka lahan di Cisadon untuk ditanami kopi.
Tidak ada rumah permanen seperti sekarang ini, dahulu hanya ada saung-saung untuk tempat berteduh para petani, namun lama kelamaan tempat itu menjadi pemukiman warga karena semakin banyak orang yang bertani kopi di sana. Sampai sekarang ini penduduk Cisadon turun temurun menjadi petani kopi.
Masa panen kopi di Cisadon itu hanya setahun sekali, Aisyah yang juga salah satu petani kopi di sana mengatakan bahwa kopi di Cisadon hanya bisa dipanen pada bulan-bulan tertentu saja, “Kami panen kopi biasanya mulai pertengahan bulan Mei sampai akhir Agustus,” jelasnya.
Meski hanya jenis robusta yang ditanam di sana, ada beberapa varian hasil pengolahan kopi, di antaranya kopi luwak, kopi raja wine, kopi natural, dan kopi gabrugan. Perbedaan tersebut terletak pada cara pengolahan kopi setelah dipetik dari pohonnya.
Misalnya kopi luwak yang diolah dari kotoran luwak liar. Jangan bayangkan kotoran luwak berbentuk seperti kotoran binatang lainnya, biji kopi yang dimakan luwak tidak hancur, bentuknya masih utuh karena yang dicerna oleh luwak hanya kulit luarnya saja. Biji kopi yang dimakan luwak mengalami fermentasi alami sehingga para pecinta kopi menganggap rasanya lebih enak dan tidak membuat lambung perih.
Para petani kopi di Cisadon biasanya mengumpulkan kotoran luwak yang tercecer di kebun mereka, kemudian dijemur sampai benar-benar kering, setelah kering mereka menyangrai (roasting) biji kopi dengan cara tradisional sampai mendapatkan warna yang diinginkan, namun sebagian dari mereka sudah menggunakan alat roasting modern. Menurut Parid, kopi Luwak yang dihasilkan dari luwak liar kualitasnya lebih baik dan rasanya lebih enak.
“Di sini nggak ada yang pelihara luwak, kopi luwak di sini diambil dari kopi luwak liar jadi rasanya lebih enak karena yang dimakan luwak itukan kopi-kopi yang matang utuh” jelasnya.
Parid menambahkan sudah banyak orang yang datang ke Cisadon hanya untuk menikmati kopi, bahkan beberapa peneliti dari Institut Pertanian Bogor pun sering datang ke sana. Lewat para peneliti dan pecinta kopi inilah warga diperkenalkan cara menyangrai kopi yang benar dengan menggunakan mesin modern.
“Ya, kalo mau roastingannya bagus biasanya dibawa ke kafe yang punya alat roasting,” imbuhnya.
Selain kopi luwak, ada kopi raja wine yang pengolahannya sedikit berbeda dengan kopi luwak. Pengolahan kopi raja wine dimulai saat biji kopi dipetik dari pohonnya. Biji kopi yang dipetik adalah biji kopi yang sudah matang, setelah dipetik biji kopi direndam di dalam air, hanya biji kopi yang tenggelam lah yang akan diambil. Biji kopi yang tenggelam adalah biji kopi yang baik untuk diolah.
Setelah biji kopi yang tenggelam dikumpulkan, biji itu kemudian dimasukan ke dalam tong besar untuk diperam atau difermentasi. Proses fermentasi dilakukan selama satu bulan untuk mendapatkan aroma dan rasa yang sedikit masam.
Ujang Usman salah satu petani kopi yang juga Ketua RT di sana mengatakan, proses fermentasi dilakukan agar rasa kopi raja wine mirip dengan kopi arabica. “Difermentasi supaya bisa timbul rasa yang khas, prosesnya juga bisa sampai satu bulan lebih,” ujarnya.
Beda lagi dengan kopi natural, setelah dipilih kopi yang matang sempurna, kemudian kopinya dijemur sampai kering, dan terakhir disangrai. Tidak ada proses fermentasi dalam tong saat pengolahan kopi ini. Sedangkan kopi gabrukan diolah dari kopi dengan kualitas terendah atau kopi campuran dengan yang belum matang. Kopi luwak per 100 gramnya dihargai 35 ribu rupiah, kopi raja wine dan natural 25 ribu rupiah, dan kopi gabrukan 15 ribu rupiah.
Cisadon tidak hanya dikenal sebagai tempat penghasil kopi, tempat ini dikenal juga sebagai tempat yang memiliki lintasan yang menantang untuk para penghobi motor trail, sepeda gunung, dan pendaki. Jalanan menuju Cisadon yang terjal menjadi keuntungan tersendiri oleh para penghobi tersebut.
Setiap Sabtu dan Minggu atau hari libur lainnya, banyak komunitas motor trail dan sepeda gunung yang hilir-mudik ke Cisadon. Bahkan tidak hanya siang hari, saat matahari tenggelam pun masih banyak yang nekat melewati jalur itu untuk sampai ke puncak Cisadon.
Komunitas motor trail yang datang kebanyakan berasal dari Jabodetabek. Tidak jarang juga Cisadon dikunjungi oleh wisatawan mancanegara (wisman) asal Jepang, Korea, dan Turki. Wisman yang datang kebanyakan melakukan pendakian dengan berjalan kaki.
Meski dianugerahi alam yang subur dan indah, masyarakat Cisadon belum sepenuhnya mendapat perhatian dari pemerintah. Kenyataan itu nampak dari belum mengalirnya listrik PLN ke rumah-rumah penduduk karena sejauh ini masyarakat masih memanfaatkan kincir air untuk menggerakan turbin pembangkit listrik.
Selain itu tidak ada satu sekolah pun di sana, sehingga anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan padahal hal itu sudah dijamin oleh undang-undang. Di sana hanya ada satu taman baca yang digunakan untuk belajar oleh anak-anak setiap Sabtu dan Minggu, itu pun dilakukan jika ada yang mau mengajarkan anak-anak.
Maka dari itu, sebagian anak-anak Cisadon memilih untuk sekolah di kampung lain yang terletak di bawah Cisadon. Mereka tinggal di rumah saudaranya dan di akhir pekan mereka pulang ke Cisadon.
BACA JUGA Apa pun Kegiatannya, Nasi Liwet Selalu Jadi Kudapan Primadona Orang Sunda dan tulisan Irvan Hidayat lainnya.