“Kok bisa Bunda Maria itu Allah?” tanya teman saya sambil menunjukkan tangkapan layar sebuah buku yang kemarin ramai diperbincangkan di jagat media sosial. Bukan buku biasa, melainkan buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Yang menerbitkannya adalah Kemendikbud, lho. Opo tumon sekelas kementerian salah dalam memberikan edukasi? Saya hanya bisa bilang, “Lha, kok iso?”
Dear @Kemdikbud_RI cc: @nadiemmakarim @Nadiem_Makarim @KatolikG @ProtestanGL
Entah bagaimana proses editing penerbitan buku panduan belajar seperti ini dilakukan. Sangat disayangkan bahwa penulis tdk memahami ajaran dari agama Kristen Protestan dan Katolik terkait Trinitas. pic.twitter.com/JrzBmzfVLt
— Sigit Pranoto (@mogitscj) July 25, 2022
Lantaran heboh soal kesalahpahaman tersebut, saya jadi pengin membahas tentang Bunda Maria. Bukan perkara profil yang saya pikir sudah banyak diketahui orang, melainkan bagaimana posisi “Bunda Allah” ini dalam iman Katolik. Tentu saja dengan sudut pandang gereja Katolik. Dan dengan menyadari berbagai kekurangan, saya coba jelaskan sosok yang sering muncul sebagai patung di dalam gua ini.
Pada artikel tentang Trinitas Kristiani, saya menekankan bahwa mengenal konsep teologi orang Katolik itu sangat kompleks. Namun, yang patut kita pegang adalah relasi tiga pribadi Allah: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Nah, kalau gitu di mana Bunda Maria?
Banyak yang memandang Bunda Maria sangat tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi dari Allah. Maklum saja, sebutan “Bunda Allah” membuat banyak orang awam salah paham. Saya pun mencoba maklum dengan luputnya Kemendikbud perkara ini.
Tapi masalahnya, Bunda Maria bukanlah Allah! Sebutan “Bunda Allah” muncul karena ia mengandung dan melahirkan Yesus. Karena Yesus diimani sebagai perwujudan Allah Putra, maka Maria mendapat julukan luar biasa tersebut.
Akan tetapi, penghormatan kepada Bunda Maria sifatnya sekunder. Ia tidak pernah lebih tinggi dari Yesus sendiri. Penghormatan ini bersumber dari keterlibatannya dalam karya penyelamatan Yesus. Ia terus bertekun dalam iman dan melaksanakan sabda Allah dengan menjadi tubuh yang melahirkan Yesus. Karena dalam konsep keselamatan ini, Yesus harus hadir dalam rupa manusia.
Bunda Maria bekerja sama dengan keselamatan Allah dan menjadi perantara manusia kepada Kristus. Karena sosoknya menjadi perantara kehadiran Yesus dengan mengandung dan melahirkan, pada akhirnya ia menjadi perantara manusia untuk menuju Yesus. Ungkapan “Ad Jesum per Mariam” yang berarti menuju Yesus melalui Bunda Maria menggambarkan relasi ini.
Karena jasa dan peran yang besar ini, Bunda Maria mendapat karunia besar. Ia bangkit dari antara orang mati dan diangkat ke surga seperti Yesus. Ia juga menjadi Ratu Surga dan menjadi bunda seluruh orang beriman. Ia menjadi perantara doa kita kepada Tritunggal Mahakudus.
Dengan karunia sebesar ini, apakah sosoknya satu level dengan Yesus? Dalam Konsili Vatikan II disebutkan bahwa Bunda Maria telah lebih unggul dari segala makhluk di surga maupun di bumi (Lumen Gentium, 53). Tapi, semua ini karena Yesus sendiri dan bukan “keilahian” Bunda Maria. Kemuliaan Bunda Maria senantiasa berakar dari kemuliaan Yesus sendiri.
Maka sudah jelas. Bunda Maria bukanlah Allah. Ia adalah manusia yang dimuliakan secara luar biasa atas keterikatan kepada Yesus.
“Tapi, kenapa orang Katolik berdoa di depan patung Bunda Maria?” Mungkin sebagian dari Anda akan bertanya demikian.
Saya lompati urusan peran patung dalam ibadah Katolik. Seperti yang sudah dijelaskan, posisi Bunda Allah ini adalah perantara bagi manusia. Ia tidak pernah mengabulkan doa, dan tidak pula memiliki kuasa atas itu. Semua doa orang Katolik tertuju pada Tritunggal Mahakudus, bukan kepada Bunda Maria.
Bait terakhir doa Salam Maria adalah, “Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.” Dari bait ini sudah jelas bahwa umat Katolik meminta doa kepada Bunda Maria. Bukan meminta wangsit, harta, apalagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dan untuk memahami mengapa orang Katolik meminta doa dan perantaraan padanya, saya punya anekdot menarik. Mengingat peristiwa pernikahan di Kana, Maria meminta Yesus menolong mempelai yang kehabisan anggur. Yesus menyatakan bahwa waktunya untuk melakukan mukjizat dan mulia belum datang. Tapi karena permohonan sang ibu, Yesus melakukan mukjizat pertamanya: mengubah air menjadi anggur (Yoh 2:1-11)
Dari sini kita melihat bahwa permohonan Maria dikabulkan Yesus, bahkan sebelum waktunya. Sekaligus menunjukkan bahwa doa seorang ibu akan dikabulkan. Maka umat Katolik memohon doa dan perantaraan Bunda Maria agar Yesus mengabulkan seperti saat pernikahan di Kana.
Maka salah pemahaman Kemendikbud tadi sudah saya jawab. Yah, sekarang tinggal bagaimana Kemendikbud merevisi bagian yang salahnya fatal tadi. Masa harus nunggu seviral ini baru dilakukan pengecekan ulang? Kasihan nanti generasi baru Indonesia akan berselisih paham soal iman gara-gara buku pegangan yang salah.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Memahami Konsep Trinitas: Kenapa Tuhan Orang Kristen Beranak dan Ada 3?