Pernah nggak kamu ngalami situasi di mana susah banget diterima di suatu tempat kerja, lalu di sisi lain, ada orang baru yang bisa langsung masuk kerja begitu saja? Ternyata, belakangan diketahui, orang itu adalah saudara dari si bos. Atau, kamu pernah ngeliat temen kerjamu diperlakukan istimewa banget, beda dengan karyawan lain. Belakangan diketahui, orang itu suka main “ena-ena” sama si bos. Dan ketika orang itu berbuat kesalahan, si Bos tidak berani melakukan tindakan apa-apa.
Sekitar dua minggu ini saya menemani istri menonton drama korea berjudul Stranger (2017). Serial itu mengisahkan kehidupan seorang jaksa muda bernama Hwang Shi Mok. Jaksa ini adalah sosok yang berkualitas dan berintegritas. Ia bekerja sesuai SOP dan selalu bertindak berdasarkan fakta dan bukti di lapangan.
Dalam drakor tersebut, Kejaksaan dihadapkan pada kasus pembunuhan yang korbannya adalah seorang makelar proyek. Rupa-rupanya, pembunuhan ini adalah pembunuhan terencana. Usut punya usut, banyak fakta tak terduga yang terkuak yang melibatkan nama-nama petinggi di kejaksaan dan lembaga pemerintahan lain. Para petinggi tersebut diketahui sering memiliki hubungan dengan si makelar.
Demi menyelamatkan muka kejaksaan, Hwang Shi Mok ditunjuk untuk memimpin tim khusus pencari fakta pembunuhan tersebut. Kemudian, ia memilih rekan-rekan yang dapat dipercaya, baik dari kejaksaan, kepolisian, dan firma hukum independen.
Tantangan tim ini begitu berat. Mereka harus mengatasi segala konflik kepentingan yang menyertai perjalanan penyelidikan. Hwang Shi Mok harus menghadapi ancaman dan fitnah dari sana sini
Belum lagi, ketika ia mengungkap kasus yang melibatkan korporasi dan oknum di pemerintahan. Syukurlah, dengan dukungan dari tim khusus yang dibentuknya sendiri, ia berhasil mengurai satu per satu kasus yang melibatkan nama-nama penting di lembaga hukum dan pemerintahan.
Pada akhirnya, Hwang Shi Mok menemukan bahwa pelaku pembunuhan adalah salah satu anggota tim khusus yang dipilihnya sendiri. Pelaku tersebut tidak bertindak dengan inisiatif sendiri. Pembunuhan itu direkayasa oleh atasan Hwan Shi Mok sendiri, Lee Chang Jun. Akhirnya, Lee Chang Jun memilih mati bunuh diri daripada ditangkap dan diadili oleh anak buahnya sendiri.
Konflik kepentingan bisa terjadi di mana-mana, di institusi apa pun. Intinya, konflik kepentingan ini melibatkan pihak pertama (pemilik kuasa) untuk menguntungkan pihak kedua, dengan beragam “kesepakatan” yang tidak diketahui oleh umum.
Di Indonesia, gara-gara Djoko Tjandra, beberapa petinggi lembaga hukum harus dicokok. Terbaru, Jaksa Pinangki dijadikan tersangka karena diduga menerima suap membantu pelarian Djoko Tjandra. Setelah beredarnya bukti foto Pinangki bersama dengan Djoko (dan akibat tekanan publik lewat medsos), Pinangki ditangkap.
Padahal, sebelumnya Jaksa Agung S.T. Burhanuddin sudah mengeluarkan pedoman tentang keharusan izin dari jaksa agung bagi penegak hukum mana pun yang ingin memeriksa jaksa yang diduga melakukan tindak pidana. Pedoman itu akhirnya dicabut, hanya berselang lima hari setelah dikeluarkan. Terasa nggak konflik kepentingannya?
FYI, Jaksa Pinangki yang merupakan pejabat eselon golongan IV PNS, bergaji sama dengan PNS lainnya yakni sekitar Rp12.140.434 per bulan, belum dengan tunjangan. Meski demikian, Pinangki diketahui juga punya harta kekayaan sebesar Rp6,8 miliar. Belum lagi harta dan aset lain yang tidak tercatat. Wow sekali, bukan?
Kembali ke kisah Hwang Shi Mok. Saya tertarik dengan cara orang Korea memperlakukan sesamanya. Misal, kepada atasan. Mereka sangat menghormati atasannya. Setiap kali bertemu atau berpapasan, mereka akan membungkukkan badan, sebagai tanda penghormatan. Cara berbicara kepada atasan pun sangat diperhatikan. Mereka tidak akan berani berkata kasar terhadap atasannya.
Walau demikian, di sisi lain, Hwang Shi Mok menjadi contoh, bagaimana penghormatan terhadap hukum seharusnya memiliki derajat lebih tinggi daripada menghormati atasan. Ketika ia mendapati atasannya merencanakan kejahatan, ia tak ragu untuk menegakkan hukum dan menangkap atasannya.
Setidaknya, dari kisah Jaksa Pinangki, kita jadi ngerti bahwa konflik kepentingan itu sangat dekat dengan keseharian kita. Yang kita perlukan di sini adalah sikap. Sikap untuk mengikuti hati nurani atau sikap untuk membunuh hati nurani. Bila perlu, perbanyaklah nonton drakor, bukan hanya buat liat artisnya yang ganteng dan cantik, tapi juga untuk mengasah kepekaan hati nurani, hehehe.
Gambar: skrinsut Stranger via akun Twitter @punyatari
BACA JUGA Sebelum Bacot, Mari Pahami Hakikat Konflik Kepentingan dan tulisan Yesaya Sihombing lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.