“Selamat siang, Kak, boleh minta waktunya sebentar?”
Hari itu, kami pergi berdua. Tapi dasar semesta ini nggak romantis, baru saja masuk ke toko buku, kami sudah dihadang oleh mbak-mbak berseragam ungu sambil memegang buku yang berisi banyak brosur dan kertas bertuliskan “Laporan Dana Donasi 2019”.
Kami berhenti dan mengiyakan. Si Mbak menanyakan nama, lalu pekerjaan.
“Mbak sama Mas masih kuliah, ya?” tanyanya.
Baru saja saya mau menjawab, “Nggak, Mbak,” laki-laki di sebelah saya malah menyahut, “Masih, Mbak. Semester tiga,” padahal muka kami jelas-jelas nggak mencerminkan muka-muka freshmen.
“Wah, masih muda sekali!” seru si Mbak dengan antusias.
Saya menahan tawa dan melanjutkan skenario dadakan. Jadi, kami berdua mengaku masih kuliah S-1 semester tiga, dari jurusan Ekonomi dan Bisnis—padahal aslinya mah beda banget.
Hari-hari selanjutnya, saya belum pergi berdua lagi. Tapi bukan itu poinnya—ada satu hal yang bisa saya ambil dari hari itu: menjawab saat diajak ngobrol orang tak dikenal soal personal life memang nggak perlu detail-detail amat.
Sebuah cerita pernah beredar cukup populer di lini masa. Obrolan basa-basi gara-gara diajak ngobrol orang asing di kendaraan umum sempat berujung pada penculikan anak. Bukannya mau nakut-nakutin, tapi sepertinya nggak ada salahnya kalau kita lebih berhati-hati, kan?
Biasanya, kalau ditanya, “Aslinya mana, Mbak?” di atas ojek—misalnya—saya bakal menjawab nama kampung halaman dengan lantang. Tapi suatu sore, saya berkata dengan pede, “Asli sini, Pak.”
“Wah, kok ngekos?” (Saya naik ojek dari kos).
“Itu punya Mbah. Saya numpang.”
Driver ojek ngangguk-ngangguk. Saya bermuka datar, membayangkan ibu kos bakal ngamuk kayak apa kalau tahu saya ngata-ngatain dia jadi nenek saya.
Ternyata, lama-kelamaan, aksi menjawab “iya-iya” dan menciptakan skenario saat diajak ngobrol soal personal life oleh orang asing ini cukup seru juga. Buat tukang mengkhayal kayak saya, aktivitas ini sekaligus bisa dipakai sebagai latihan (((mendalami peran))), siapa tahu mau dipakai di cerita atau film pendek buatan sendiri.
“Kuliah di Psikologi, Mbak?”
“Iya.”
Siang itu, saya mulai lagi aksi “iya-iya” saat diajak ngobrol di atas ojek. Baru saja saya menyelesaikan sesi konsultasi psikologi dan bermaksud kembali ke kantor. Karena lokasi kantor psikolognya ada di Fakultas Psikologi, wajar-wajar saja kalau si driver menyangka saya mahasiswa sana.
“Ooooh, berarti saya bisa dong kalau mau minta bantuan buat dengerin curhat. Saya pusing banget, nih. Hahaha.”
Saya ikut ketawa. Monmaap, Bapak nggak tahu aja saya tadi kayak apa di dalem, batin saya.
Separuh perjalanan dilewati tanpa obrolan. Tiba-tiba, si Bapak bertanya lagi.
“Ini mau ke mana, Mbak?”
“Kantor.”
Aduh.
“Loh, Mbaknya habis kuliah langsung kerja?”
“Iya, Pak,” sahut saya. Di kepala, saya jadi membayangkan seorang mahasiswi yang bekerja paruh waktu dan kayaknya cocok-cocok aja dijadiin tokoh dalam cerpen—kalau-kalau saya tiba-tiba pengin nulis.
“S-2, ya, Mbak? Saya kira S-1, soalnya Mbaknya masih kayak anak S-1!”
Saya agak tersipu. Dasar perempuan lemah.
“Oh ya, Mbak,” tanya si driver lagi, “konsentrasinya ambil apa di S-2 Psikologi?”
Mampus. Saya nggak tahu ada konsentrasi apa aja di sana.
“Ambil kiri aja, Pak, di depan,” jawab saya, akhirnya. Skenario pun bubar.
Saya mau coba lagi besok, ah.
BACA JUGA Betapa Sulitnya Bergaul Dengan Orang yang Baru Hijrah atau tulisan Aprilia Kumala lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.