Ketika mendengar kata “berdamai” yang pertama terlintas di kepala saya adalah aparat yang bertugas mangayomi dan menertibkan warga– aparat yang sering tiba-tiba, entah darimana muncul di perempatan ketika melihat seseorang melanggar lalu lintas–aparat yang tidak peduli hujan tetap berdiri tegak membantu melancarkan kembali jalan yang macet. Entah mengapa setiap mendengar kata “berdamai” imajinasi saya tentang aparat ini selalu muncul?
Ketika Presiden Jokowi mengajak kita semua – rakyatnya untuk berdamai dengan corona, apakah maksudnya berdamai dalam konsep yang sama dengan berdamai yang berhubungan dengan aparat di atas? Berdamai ketika seorang pengguna kendaraan bermotor melakukan kesalahan kemudian memilih berdamai dengan aparat penegak hukum jalanan agar tidak panjang lebar urusan dengan penegak hukum ruangan?
Ada beberapa konsep dari kata “damai” yang saya pahami dalam percakapan sehari-hari kita. Seseorang biasanya menggunakan kata ini saat dihadapkan pada kondisi (pasca) perang. Perang secara konseptual dimaknai dengan adanya musuh untuk dilawan, ada wilayah untuk dilindungi, ada tentara yang bertempur, dan ada hasil yang diharapkan. Presiden Jokowi sendiri sudah pernah mengucapkan perang terhadap virus corona.
Pak Jokowi menabuh genderang perang dengan berbagai pernyataan yang gagah dan meyakinkan warganya bahwa perang ini bisa dimenangkan. Saya apresiasi niatan itu karena kita butuh pemimpin yang siap terhadap situasi paling berbahaya sekalipun. Tidak seperti Trump yang sepertinya kurang serius dan sering bikin prank terkait virus corona. Jokowi berbeda, Presiden pilihan bangsa, idola warga, dan tidak suka bikin pernyataan blunder yang menimbulkan kontroversi.
Sayang sekali belum lama pernyataan perang (tidak) total terhadap corona, Pak Jokowi malah mengambil ancang-ancang berbeda. Ia meminta warganya untuk hidup “berdamai” dengan corona. “Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan COVID-19 untuk beberapa waktu ke depan,” ucap Presiden Jokowi dalam video yang diunggah oleh Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat negara, pada hari kamis (7/5).
Rasanya saya seperti kena prank–-meski tidak semenyakitkan prank Trump yang membuat beberapa warganya keracunan karena mengonsumsi desinfektan-–namun prank karena belum juga lama pernyataan perang (tidak) total untuk menurunkan kurva positif corona di Indonesia, Presiden sudah mengumumkan jalan damai.
Belum terlihat tanda-tanda kurva akan turun malah ngajak damai dengan corona. Saya yang sudah siap-siap dengan berbagai perlengkapan perang melawan corona, kini harus siap hidup dalam tirani corona–tiran yang memaksa saya ke mana-mana harus menggunakan masker, membawa sanitazer, sedikit-sedikit cuci tangan, dan menjaga jarak dengan orang lain.
Ingin ku bertanya, sampai kapan pak?
Setahu saya vaksin tidak bisa ditemukan dalam waktu satu dua tahun. Dibutuhkan riset panjang seperti halnya obat-obatan. Setelah vaksin ditemukan pun harus dicoba pada binatang dulu, setelah dinyatakan aman pada binatang dicoba kepada manusia dalam sampel yang sedikit, dicoba dalam sampel banyak dan jika tidak ada reaksi kontra indikasi maka baru bisa dinyatakan aman. Itu setahu saya butuh waktu 10-20 tahun pak. Masak iya sebegitu lamanya kita berdamai?
Yang saya takutkan ya pak bahwa dalam beberapa bulan atau satu tahun vaksin jadi, itu kan ngeri pak. Bisa jadi omongan Bli Jerinx terbukti bahwa virus ini adalah konspirasi elit global untuk jualan vaksin. Amit-amit dah.
Tapi saya akui cerdas betul pilihan kata-kata Pak Jokowi, hm… berdamai dengan corona. Saya salut dengan pilihan kata ini karena dengan begini warga menjadi sadar bahwa corona adalah musuh yang terlalu kuat untuk dilawan dengan perang. Apalagi jika perang itu kurang niatan, setengah-setengah alias perang (tidak) total.
Jika terus memaksa berperang kita hanya akan menambah jumlah korban pada kedua, eh satu belah pihak, pihak kita saja ding. Corona sih tidak ada niatan untuk berperang melawan kita dia hanya makhluk yang ingin hidup-–jika bisa dikatakan makhluk. Cara mereka hidup itulah yang menyebalkan karena mereka hidup dengan membuat kita sakit, jika tidak mati.
Pernyataan presiden untuk berdamai dengan corona secara tidak langsung–-meski tidak dikatakan telah berhasil mengungkap bahwa kita telah kalah dan saat ini kita harus mematuhi perintah pemenang perang. Kita harus berdamai dengan hal itu dan mengikuti aturan main mereka. Karena jika memaksa terus berperang tanpa kesiapan bukan corona yang membunuh kita tapi logistik yang akan mengancam kita. Ekonomi yang kolaps juga tidak kalah berbahaya.
Mungkin memang sudah saat kejumawaan kita sebagai homo sapiens yang selama ini hidup dalam puncak rantai makanan agar sadar bahwa tidak selamanya aturan kita bisa diikuti orang lain–-tidak selamanya aturan kita yang harus diberlakukan. Sesekali kita harus sadar bahwa berdamai setelah kalah adalah pilihan yang realistis dan cerdas. Meski kadang saya gatel juga untuk bertanya, apa tidak ada cara damai yang lain pak?
Maksudnya menggunakan prosedur berdamai seperti berdamai dengan aparat yang saya sebutkan pada pembukaan tulisan. Apa tidak bisa kita berdamai dengan memberikan pelicin, lewat belakang, kemudian kita bisa berjalan lagi tanpa harus takut tiba-tiba dipanggil sidang?
Bisa tidak pak?
Karena kami semua sudah terbiasa berdamai dengan cara seperti itu.
BACA JUGA Pertanyaan Retoris Jokowi dan Cara Ngeles Elegan yang Sering Terjadi dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.