Beberapa waktu lalu saya mengunjungi pasar tradisional di daerah kelahiran saya. Pasar ini terletak di kaki gunung Lawu dengan ukuran yang tidak terlalu luas, bahkan bisa dibilang sempit. Dulu setiap masuk pasar, saya harus berjejal dengan banyak orang dan rela berlama-lama antre untuk mendapat barang yang diinginkan. Namun sekarang banyak kios terlihat sepi.
“Cari apa, Mbak?” tanya seorang penjual saat saya menghampiri kiosnya.
“Cari plastik es lilin, Bu. Saya butuh dua pak.”
Setelah selesai bertransaksi, saya melihat makanan kesukaan saya waktu kecil, jenang. Makanan ini berasal dari tepung beras yang diberi kuah santan. Saat menunggu penjual melayani pesanan, saya mendengar beberapa pedagang bercerita tentang suatu hal.
“Bubrah wes, mbangun minimarket kok mepet pasar.”
“Ngedunke rego yo ugal-ugalan.”
Para pedagang di pasar itu menimpali satu sama lain. Beberapa di antaranya terlihat bercerita dengan nada kesal. Beberapa lainnya cuma bisa berkomentar dengan pasrah, ” Sing sabar wes, rejeki wes ono sing ngatur.”
Rupanya para pedagang ini sedang membicarakan sebuah minimarket yang baru saja dibuka tepat di samping pasar. Ya, letaknya persis di sebelah pintu masuk pasar. Padahal, ada aturan zonasi yang menyebutkan bahwa minimarket tidak boleh terlalu dekat dengan pasar tradisional. Dan aturan tersebut dibuat demi keadilan agar pasar tradisional dan toko modern dapat berkembang bersama.
Mirisnya lagi, minimarket ini tidak hanya melanggar aturan zonasi, tetapi juga harga barang. Seseorang bercerita kepada saya bahwa nyaris seluruh barang yang dijual di minimarket tersebut dibanderol dengan harga di bawah pasaran.
Selain itu, minimarket ini juga melayani pembeli selama 24 jam. Padahal ada beberapa toko kelontong di sekitar pasar yang rela buka hingga tengah malam. Alasannya terlalu banyak pesaing di siang hari sehingga sulit mendapat pelanggan. Ya kalau minimarketnya malah buka 24 jam, gimana nasib pedagang kecil yang rela nggak tidur malam?
Saya rasa, minimarket yang melanggar zonasi seperti yang saya ceritakan tadi terjadi di banyak tempat. Setelah saya search di Google, saya menemukan berita tentang penutupan minimarket di beberapa pasar tradisional. Misalnya saja di Tulungagung dan Lamongan.
Pertanyaannya, mengapa minimarket yang melanggar zonasi baru ditutup setelah lama beroperasi? Bukankah sebelum didirikan, minimarket harus mendapatkan izin pembangunan? Apa harus nunggu ada warga yang melaporkan terlebih dulu? Jika begitu, lalu bagaimana jika di sebuah daerah tak satu pun warga berani melapor? Seperti yang terjadi di desa kelahiran saya, misalnya.
Kita tahu kebanyakan masyarakat di desa tidak suka mencari perkara. Sering kali di antara mereka lebih suka pasrah saja, nerimo ing pandum. Lagipula, Pemda sebenarnya sudah mengetahui adanya minimarket di kawasan pasar tradisional. Kalau yang berwenang saja mendiamkan, kira-kira masyarakat bisa apa? Mungkin itu yang ada di benak warga dan membuat mereka lebih memilih diam saja.
Sampai di rumah, saya melahap jenang bersama kedua orang tua. Tiga ribu rupiah per porsi sudah cukup untuk mengganjal perut. Saat memakannya saya bertanya-tanya, mungkinkah penjual jenang ini juga terkena imbas dari minimarket itu? Kira-kira bagaimana nasib penjual gethuk, kerupuk dan pedagang kecil lainnya?
Mungkin Anda berpikir pertanyaan itu agak berlebihan. Tapi, coba bayangkan. Jika orang-orang yang tadinya berbelanja di toko kelontong yang letaknya di dalam pasar sekarang beralih ke minimarket, lalu siapa yang mau menengok penjual gethuk dan kerupuk? Bukankah beberapa pembeli tidak semuanya membeli karena butuh.
Seringkali seseorang tiba-tiba ingin membeli sesuatu sebab sesuatu itu ada di depan mata. Seperti saya yang tadinya hanya butuh plastik es lilin, tiba-tiba kemecer melihat jenang dan memutuskan membeli saat itu juga, padahal tidak ada rencana membelinya saat masih di rumah. Model membeli semacam ini tidak hanya berlaku pada makanan, kan? Bisa juga aksesoris, alat rumah tangga, dan lainnya. Jadi jangan dikira hanya toko kelontong saja yang kena imbas dari minimarket di area pasar.
Lagian pasar tradisional juga sudah lama terpuruk akibat menjamurnya toko-toko online yang siap antar sampai di rumah. Kok ya masih tega-teganya pemilik modal besar mendirikan minimarket dan mau bersaing dengan para pedagang yang cari untung sekadar buat makan atau bayar SPP sekolah.
Kalau sudah begini, lalu di manakah keadilan untuk pelaku usaha pasar tradisional jika minimarket yang melanggar aturan masih dibiarkan?
Sumber Gambar: Pixabay