Saya termasuk orang yang memilih untuk menikah muda serta tidak menunda untuk memiliki momongan. Maka kini saya adalah salah satu orang yang sudah memiliki anak di saat mayoritas kawan sebaya masih sibuk kuliah maupun terjebak dalam hubungan tidak jelas bernama pacaran. Meskipun menikah dalam usia yang terbilang masih muda, saya merasa tidak mengalami masalah yang berarti ketika menjadi seorang suami. Padahal beberapa orang bilang kalau nikah harus siap menghadapi ombak yang menerpa bahtera rumah tangga, bahkan ada yang bilang kalau nikah muda itu membuat kita tidak bisa menikmati masa muda. Lah, wong yang bilang kayak gitu kebanyakan belum nikah!
Tapi berbeda dengan ketika saya dianugerahi seorang anak laki-laki. Saya dan istri yang sebelumnya selalu berusaha untuk fokus pada hari ini dan tidak ambil pusing mengenai apa yang akan terjadi di esok hari, tiba-tiba menjadi orang yang selalu berpikir jauh ke depan. Memang hal tersebut membuat kami sedikit visioner, tapi juga membuat kami risau setiap hari. Bagaimana tidak, perkembangan bayi ternyata sangat cepat. Tahu-tahu sudah bisa gulang-guling, tahu-tahu sudah bisa ngomong, bahkan tahu-tahu sudah bisa minta jajan. Nah, hal terakhir yang cukup sering membuat kami risau. Bukan karena uang yang dipakai untuk beli jajan, tapi bagaimana mengajari anak untuk bisa menerima penolakan?
Jajan seorang anak yang usianya belum genap satu tahun, belinya juga di warung tetangga, alhamdulillah masih mampu kami turuti. Namun, ketika dituruti terus menerus, ada kekhawatiran kelak anak saya tumbuh menjadi anak yang tidak bisa menerima penolakan. Apa yang ia inginkan harus ada saat itu juga. Ketika melihat anak yang selalu memaksa saat ingin sesuatu, bahkan sampai ngamuk, tak jarang kita berpikir pasti sejak kecil keinginannya selalu dituruti. Nah, saya dan istri tidak ingin anak kami menjadi seperti itu. Bagaimana kalau saat dewasa nanti ia tiba-tiba ingin membangkitkan partai komunis? Kan ndak mungkin diturutin. Kalau bisa dituruti pasti sudah bangkit dari dulu tuh. Saya dan istri ingin mendidik anak kami menjadi manusia yang menerima dunia ini dengan segala macam kekurangannya, salah satunya adalah tidak semua hal yang kita inginkan di dunia ini bisa kita dapatkan.
Saya tidak ingin anak kami tumbuh menjadi manusia yang memaksa dunia seisinya untuk memenuhi keinginannya. Ia harus menyadari bahwa di dunia ini ada hak yang bisa ia dapatkan secara cuma-cuma, ada hal yang bisa ia dapat dengan kerja kerasnya sendiri, dan ada kewajiban yang harus ia berikan kepada orang lain dan kepada dunia itu sendiri.
Bukannya saya kejam karena tidak mau menuruti keinginan anak, tapi bukankah kepribadian kita saat ini banyak ditentukan oleh cara orang tua kita mendidik kita saat kecil? Maka, cara kami mendidik anak saat ini akan membentuk pribadinya di masa yang akan datang. Kami hanya ingin mendidik anak kami sedini mungkin agar tidak terlambat.
Namun, masalah lainnya adalah saya dan istri sering kali tidak tega melihat anak kami merengek apalagi sampai menangis karena minta sesuatu. Bukan hanya soal jajan, tapi banyak keinginan lainnya, seperti anak kami yang selalu tertarik bermain kipas angin, memegang barang-barang elektronik yang rawan setrum, hingga bermain pintu. Kami jadi bingung, dituruti atau tidak, nih?
Bukan hanya perkara penolakan, tapi juga soal lingkungan sosial dan pertemanan anak kami. Lagi-lagi karena kami ingin mendidik anak kami menjadi manusia yang baik seperti yang kami cita-citakan. Bukankah lingkungan dan pertemanan juga berpengaruh dalam membentuk pribadi anak? Ketika melihat anak-anak di sekitar rumah kami yang mungkin sudah masuk TK mempunyai beberapa perilaku yang tidak kami sukai, seperti misalnya tidak punya sopan santun, kami khawatir anak kami juga tumbuh menjadi seperti itu karena kemungkinan besar mereka juga menjadi teman bermain anak kami kelak. Pasti kalian ada yang berpikir maklum saja, namanya juga anak-anak.
Saya dan istri memaklumi anak-anaknya, tapi tidak dengan orang tuanya. Bisa-bisanya ada orang tua yang mengajak anaknya masuk begitu saja ke rumah dan kamar orang lain? Bisa-bisanya ada orang tua yang membiarkan anaknya berteriak-teriak, memukul-mukul mainan, dan membuat kebisingan lainnya pada malam hari di sebelah jendela kamar seorang bayi yang butuh istirahat? Bukannya menenangkan si anak, ia malah menambah kebisingan dengan mengundang teman-temannya, lalu ngobrol dan ketawa-ketiwi seenaknya sendiri. Anakku ra iso turu, Cuk!
Masalahnya bukan sekadar kami yang harus tidur lebih malam karena mengurus anak kami, yang namanya bayi kalau sudah mengantuk biasanya akan rewel. Apalagi kalau sudah mengantuk tapi tidak bisa tidur, bahkan sudah tidur tapi terbangun gara-gara kaget, pasti rewel. Kalau sudah begitu, kami akan dibuat capek dan bingung oleh anak kami. Diberi ini tidak mau, diberi itu tidak mau, maunya nangis terus. Kalau anak kami nangis terus, mereka kadang akan bertanya tanpa tedeng aling-aling, tanpa rasa bersalah, “Anaknya kenapa? Kok nangis terus?” Dasar orang tidak tahu diri!
Kini kami sadar, merawat dan mendidik anak bukan hanya perkara menyiapkan uang untuk segala macam kebutuhannya, bukan sekadar menyiapkan asuransi kesehatan dan pendidikan untuknya, tapi ada hal yang jauh lebih penting dari itu semua, bagaimana mendidik mereka untuk menjadi manusia yang baik, manusia yang membuat dunia ini lebih layak untuk ditinggali, paling tidak bagi dirinya sendiri dan untuk orang-orang di sekitarnya. Dan hal tersebut dilakukan di tengah-tengah kondisi yang tidak ideal. Maka, saya salut kepada para orang tua yang berhasil mendidik anaknya menjadi orang-orang baik nan hebat yang sering saya lihat. Saya ingin jadi orang tua seperti mereka.
BACA JUGA Daftar Kesalahan yang Lazim Dilakukan Saat Menyuapi Anak dan tulisan Diat Rian Anugrah lainnya.