Sebagian dari Anda tentu nggak asing dengan tembang Jawa populer berjudul “Saben Malem Jumat”. Ada yang bilang kalau tembang ini digubah Sunan Kalijaga, mubalig yang terkenal punya perhatian khusus pada ranah budaya, sekaligus salah satu dewan wali yang terkenal sangat kreatif. Sampai hari ini, sejauh pengetahuan saya, belum ada sumber akurat buat memvalidasi kebenaran cerita ini. Meski secara nalar bisa dibilang alasannya cukup rasional, sih. Mengingat Sunan Kalijaga juga banyak menciptakan tembang-tembang piwulang (pengajaran) atau pitutur luhur (nasehat bijak) sejenis tembang tersebut.
Namun demikian, lebih banyak orang yang menganggap penyusun tembang adalah anonim; tak diketahui identitas aslinya. Tahu-tahu tembang tersebut sudah diperdengarkan dan dihafalkan masyarakat Jawa turun-temurun sampai saat ini. Bagi golongan ini, identitas pengarang yang masih abu-abu dan spekulatif bukanlah hal yang subtantif buat diperdebatkan. Karena selama masih belum ada satu sumber yang terverifikasi validitasnya, ya selama itu pula perbincangan mengenai siapa sebenernya si penggubah akan terus berlangsung. Sementara ada hal yang lebih penting dari itu, yakni meresapi pesan-pesan yang terkandung dalam tembang tersebut.
Terlepas dari siapa sosok di balik tembang “Saben Malem Jumat”, saya pribadi meyakini betul kalau tembang ini lahir dari sebuah proses perenungan yang panjang. Selain itu, sebagaimana menjadi karakter masyarakat Jawa yang cenderung falsafati, saya menaruh duga sangka lirik-lirik dalam tembang tersebut sebenernya mengandung simbol non-teks. Ada makna tersembunyi yang harus ditafsir buat memahaminya.
Baik, sebelum ke sana, kita coba simak dulu lirik tembangnya:
“Saben malem Jumat ahli kubur mulih ning omah. Kanggo jaluk dunga wacan Quran najan sak kalimah. Lamun ora dikirimi banjur bali brebes mili. Bali ning kuburan mangku tangan tetangisan. Kebacut temenang, ngger, anak turunku.”
Terjemahan:
“Tiap malam Jumat, ahli kubur pulang ke rumah. Guna minta doa bacaan Quran walau satu kalimat. Namun jika tidak dikirimi lalu kembali (ke kuburan) sambil menangis. Kembali ke kuburan dengan berpangku tangan, tersedu sedan.”
Secara harfiah, lirik tersebut mengilustrasikan sebuah momen pulangnya ahli kubur (orang yang sudah meninggal) ke rumahnya masing-masing tiap malam Jumat. Keperluannya sederhana, minta doa dari anak-cucunya biar lapang dan terang kuburnya. Itulah kenapa umumnya masyarakat kita, khususnya masyarakat Jawa, punya rutinitas ziarah ke kuburan sanak-saudaranya tiap Kamis sore atau menjelang malam Jumat. Atau ada juga yang tiap malam Jumat rutin menggelar yasinan. Tidak lain adalah karena mereka nggak mau membuat keluarganya yang sudah meninggal kecewa dan bersedih sampai bilang, kebacut temenan, ngger (keterlaluan sekali, Nak).
Pertanyaannya, apakah benar demikian? Apakah tiap malam Jumat arwah-arwah orang yang meninggal gentayangan ke rumahnya masing-masing? Kok malah kedengeran menyeramkan dan bikin merinding gini, ya? Alih-alih menimbulkan kesan religiusitas. Apalagi kalau dibenturin dengan teori-teori ilmiah yang menuntut empirisisme. Jadinya malah sukar dimengerti.
Nah, harus dicari maksud non-teksnya, nih, kalau gini. Untuk itu saya memerlukan buat diskusi sama simbah saya sebagai wong kuna (sebutan untuk orang yang hidup sejak tempo dulu). Dan meskipun tidak berangkat dari lingkungan akademis, kebetulan pengetahuan simbah tentang kejawaan sedikit banyak juga bisa dipertimbangkan, kok.
“Dalam kepercayaan Jawa-Islam, pada hari ketika seseorang dikuburkan akan didatangi Malaikat Munkar dan Nakir setelah tujuh langkah ditinggalkan para pengiringnya,” terang Simbah. “Setelah itu si mayit ini akan terus ditanyai sampai bisa jawab. Kalau bisa jawab ya tinggal menunggu Hari Kiamat. Kalau tak kunjung bisa, ya seterusnya akan ditanya.”
Menurut Simbah, arwah orang meninggal itu nggak bisa ke mana-mana. Logikanya, gimana caranya mau gentayangan, hla wong baru ditinggal tujuh langkah saja sudah harus ngadepin dua malaikat, og. Dan itu berlangsung sampai Hari Kiamat. Jadi, Simbah berpandangan bahwa memang bukan dalam arti sebenarnya “pulangnya orang meninggal ke rumah masing-masing tiap malam Jumat” itu harus dipahami.
Tembang “Saben Malem Jumat” pada dasarnya mengandung pitutur agar kita jangan sampai luput mendoakan sanak-kadhang kita yang sudah meninggal. Kalau dalam kepercayaan ahlu al-sunnah, doa-doa tersebut sangat berpotensi meringankan siksa kubur si mayit dan mempermudahkannya dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh malaikat.
Kalau pakai bahasa banyolan: karena amal sendiri nggak cukup, maka ada doa-doa sekian banyak orang yang menyokong dari belakang. Dalam istilah Simbah, doa di sini ibarat menyalakan lampu. Makin banyak orang yang mendoakan si mayit, otomatis makin banyak lampu yang dinyalakan untuknya. Dan itu sama dengan membuat padhang (terang) kubur si mayit.
Si penggubah tembang kemudian menyelipkan alternatif, baiknya hari apa, tho, buat berkirim doa? Dan malam Jumat dianggap sebagai pilihan yang tepat. “Bukan karena di malam Jumat arwah-arwah orang mati bergentayangan. Tapi lebih karena malam Jumat atau hari Jumat adalah hari yang mulia dan mustajab. Hari di mana doa-doa mudah terkabul dan dosa-dosa diampuni,” terang Simbah.
“Maka berkirim doa misalnya agar si mayit diampuni dosa-dosanya, diringankan siksa kuburnya, dan ditempatkan di tempat yang layak di sisi Tuhan, kemungkinan besar mesti terkabul. Semakin rajin berkirim doa kepada si mayit tiap malam Jumat, semakin berkurang pula dosanya, semakin ringan pula siksanya.”
Dan ini bisa kita konfirmasi dalam beberapa dalil naqli yang menyinggung soal keutamaan-keutamaan hari Jumat kalau misalnya ragu dengan penjelasan simbah saya yang murni pakai sudut pandang kejawen.
“Lalu kenapa ilustrasinya adalah arwah-arwah yang pulang ke rumah masing-masing, Mbah? Kesannya kok malah bikin merinding,” tanya saya. Menurut Simbah, inilah letak kecerdasan leluhur masyarakat Jawa. Ada unsur kesengajaan kenapa untuk menyampaikan pesan religiusitas justru dibangun dengan narasi-narasi mistis dan cenderung horor.
Begini, siapa tho yang nggak takut sama arwah-arwah gentayangan? Lebih-lebih bocah-bocah bau kencur. Denger kalau malam Jumat neneknya yang sudah di dalam kubur pulang ke rumah pastilah bakal mengkeret. Nah, bagian ini bisa jadi bertujuan untuk membangun habit bagi masyarakat, terutama anak-anak, agar tiap malam Jumat nggak luput berkirim doa kepada yang sudah meninggal. Mengingat Jumat adalah hari paling recommended karena beberapa alasan yang sudah kita bahas tadi.
Kurang lebih seperti misalnya membangun habit agar jangan duduk di atas bantal karena bisa bikin wudunen (bisulan di pantat). Padahal tujuan sebenarnya adalah demi kepentingan unggah-ungguh (tata krama) saja. Tapi, untuk membangun kebiasaan dan kesadaran tersebut harus ditakut-takuti dulu. Dan bagi masyarakat Jawa, cara ini cukup efektif. Membangun citra horor terkait malam Jumat, akan membuat orang-orang lebih memilih aktivitas positif daripada kelayapan nggak jelas di luar rumah. “Merga (sebab) orang itu kebanyakan lebih takut sama setan dan hal-hal gaib ketimbang ketemu sama begal,” tandas Simbah.
BACA JUGA Cuma Generasi Parno yang Dengar Tembang Jawa Bawaannya Mistis Terooos dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.