Mempertanyakan Kepedulian Pemilik Mobil yang Hobi Cuci Mobil di Pinggir Jalan

Mempertanyakan Kepedulian Pemilik Mobil yang Hobi Cuci Mobil di Pinggir Jalan MOJOK.CO

Sepatu saya basah, padahal saya ada janji bertemu dengan narasumber. Rencananya untuk wawancara tugas. Tenang saja, saya bukan wartawan profesional yang akan menemui narasumber. Saya hanya seorang mahasiswa yang ditugaskan untuk mewawancarai ahli supaya dapat mendukung penelitian saya. Hanya saja, sore itu saya harus menekan segala amarah dan gejolak panas di hati saya karena ketika keluar dari kosan dan berniat menunggu bus. Saya tidak hanya disambut dengan teriknya matahari karena lapisan ozon dunia sudah sampai level tertipis, tapi juga disambut oleh siraman air bekas cuci mobil.

Duh, rasanya saya mau mencakar segumpal daging bernyawa yang dengan entengnya memegang ember berisi air kotor. Lalu, ia dengan seenaknya dibuang ke tengah jalan. Air yang menggenang itu akhirnya menyebabkan saya yang berdiri tidak jauh merasakan basah. Ya iyalah, sepatu saya kena genangan air di jalan itu.

Saya mencoba jutek, kalau-kalau bapak ini, si pemilik mobil mengerti bahasa non-verbal saya. Tapi ternyata, jangankan tersinggung, tersadar pun tidak. Bukan malah menghentikan aktivitas buang-buang air kotor bekas cuci mobilnya dia malah senyum kepada saya. Ya saya tau kalau senyum itu ibadah, tapi apa tidak lihat ini sepatu saya sudah terendam air?

Saya jadi ingat pernah melihat sebuah spanduk yang terpampang di salah satu pintu masuk perumahan yang viral di media sosial. Tulisan di spanduk itu kurang lebih begini, “Punya Garasi Dulu Baru Punya Mobil, Biar Nggak Parkir Sembarangan.” Sudah jelas kalau nyuci mobil saja di pinggir jalan, sudah pasti tempat parkir mobil juga tidak punya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004, dikatakan bahwa jalan adalah suatu prasarana transportasi yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Yang berada di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Saya garis bawahi jalan adalah suatu prasarana transportasi. Bagaimana? tidak ada kan, satu kata pun yang mengindikasikan untuk buka car wash pribadi?

Jalan umum pada hakikatnya adalah sebuah prasarana yang mendukung kegiatan transportasi bagi warga daerah yang berada di lingkungan tersebut. Pada Undang-Undang Bab ke-empat mengenai izin, rekomendasi, dan dispensasi jalan Pasal 52 poin ke-2 bagian (A) tertulis, pemakaian jalan umum harus disertai izin dan tidak mengganggu kelancaran dan keselamatan pengguna jalan serta tidak membahayakan konstruksi jalan.

Si bapak pencuci mobil ini tentu saja telah melanggar kelancaran saya dalam melakukan aktivitas. Saya harus bertemu dengan narasumber dengan kondisi sepatu basah. Ditambah saya ini kan termasuk golongan pengidap kanker (kantong kering), jadi tidak ada itu ganti-ganti sepatu. Gantinya nanti kalau sudah rusak.

Kemudian mengenai keselamatan, ini bukan saja keselamatan saya tapi juga keselamatan orang lain. Lantaran jalan sering dilalui anak-anak yang sedang masa-masa aktifnya bergerak–soalnya kalau sudah agak tua seperti saya biasanya lebih memilih untuk banyak rebahan–jalan yang licin bekas air sabun dan lubang di jalan yang tertutup oleh genangan air tentu saja sangat berbahaya bagi keselamatan mereka.

Yang terakhir, membahayakan konstruksi jalan. Aspal yang ada di jalan lama-lama terkikis karena sering terendam air sisa cucian mobil. Hal ini menyebabkan aspal rapuh dan cepat berlubang hingga akhirnya jalan jadi cepat rusak.

Untuk kerugian-kerugian tersebut, saya jadi mempertanyakan kepedulian si bapak. Atau orang-orang lain yang lebih memilih sanggup bayar cicilan mobil jutaan rupiah sebulan tapi tidak mampu bayar biaya cuci mobil di tempat cuci mobil. Apalagi, kalau sudah tahu tidak ada lahan lagi di rumahnya untuk cuci mobil.

Kata dosen saya, ketika kita melihat sebuah fenomena di masyarakat, kita harus menilainya dari sudut pandang lain. Mungkin saya bisa misuh-misuh begini karena sepatu saya sudah terendam air cucian dan kaki saya sudah keriput. Juga mungkin karena saya adalah mahasiswa kere yang masih berdiri di depan rak sabun di minimarket untuk menentukan sabun mana yang kualitasnya lebih baik dengan harga yang lebih murah walaupun cuma beda 500 perak.

Mungkin saja kalau saya berada dalam posisi si bapak pemilik mobil, sisi egois saya akan tumbuh lebih ganas. Saya tidak akan lagi peduli dengan undang-undang mengenai jalan umum atau hak-hak masyarakat lainnya yang saya renggut, ketika mereka akhirnya terganggu karena saya merusak jalan mereka.

Mungkin saja kalau saya punya kesempatan punya mobil dan saya tidak punya lahan untuk cuci mobil dan saya terlalu pelit untuk membawa mobil saya ke laundry mobil bisa saja saya akan jadi orang yang lebih egois daripada si bapak.

Ternyata saya sadar, biarlah sepatu saya basah dan kaki saya jadi mengkerut di dalam sepatu dan menemui narasumber saya dengan tidak nyaman tapi setidaknya saya paham apa yang sudah dilanggar dari sekedar cuci mobil di badan jalan. Ini bukan sekedar peraturan dengan boleh atau tidaknya kita menggunakan sarana umum tapi sebuah kepekaan terhadap barang yang harus dipakai bersama-sama itu. Karena sejatinya hak kita selalu bersinggungan dengan hak orang lain. Semoga Ideologi saya terhadap dunia percucian mobil ini bisa saya laksanakan hingga nanti benar-benar punya mobil.

BACA JUGA Ngeselin, Banyak Orang Mampu Membeli Mobil Padahal Nggak Punya Garasi atau tulisan Sabrina Mulia Rhamadanty lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version