“Join, Kang” ucapan lumrah yang selalu dikatakan oleh, dari, dan untuk santri. Saya sendiri bisa menyebut kalau celetukan semacam itu sudah menjadi tradisi turun temurun. Nggak hanya sebatas santri, terkadang juga santri kepada kiai. Seperti humor yang pernah diceritakan Gus Dur.
Konon, di suatu malam dan kebetulan mati listrik, seperti biasa santri njagong di emperan masjid, serambi. Ada salah seorang santri duduk di pojokan, enjoy sambil nyebat. Kemudian datanglah santri lain ikut nimbrung duduk dan cari posisi yang nyaman. Santri itu bilang ke teman yang lagi asyik dengan sebatnya, “Join, Kang.” Diberikannya rokok itu kepada santri tadi.
Lha, karena malam dan mati listrik, bara rokok itu menyala dan alangkah kagetnya, ternyata yang dia minta join rokok tadi adalah kiainya sendiri. Yassalam. Begitu kaget langsung kabur dan nggak sempat minta maaf. Dalam satu riwayat, kiai tadi adalah almaghfurlah Kiai Wahab Hasbullah, pendiri Pesantren Tambak Beras Jombang.
Sedikit cerita, tapi yang jelas, terlepas dari pro dan kontra mengenai santri yang suka ngerokok dan ngopi, ternyata ada beberapa alasan yang cocok dan mashoook. Di samping ada beberapa pondok yang mengharamkan santrinya untuk merokok. Kalau perihal ngopinya sih saya kira jarang, bahkan nggak ada pondok yang melarang. Oke, langsung saja simak apik-apik ya, Kang~
#1 Tradisi dan doktrin kiai
Kehidupan santri selalu berbarengan. Dari makan, tidur, ngaji, belajar, hingga mandi pun terkadang satu kamar mandi buat dua tiga orang. Yang dulunya terbiasa hidup menyendiri pasti merasa risih dan geli. Tapi ya mau nggak mau, memang begitu tuntutannya. Lagi pula, manusia kan katanya makhluk sosial.
Berawal dari terpaksa, terbiasa, hingga tumbuh berkembang menjadi budaya. Begitu juga dengan rokok dan kopi. Sudah menjadi tradisi dan kebiasaan dari para sesepuh dan senior pondok. Pun generasi selanjutnya ya bakal nggak jauh dari mereka. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kebiasaan junior meniru tergantung pada senior.
Saya nggak begitu tahu sejak kapan santri suka ngerokok sama ngopi. Sampai-sampai, ada tagline yang mengakar begitu kuat dalam kepribadian santri, “Santri yo ngaji, yo ngopi.” Sudah kayak jargon saja, terasa begitu fundamental bagi seorang santri.
Belum lagi, ada sejumlah kiai yang kalau ngaji pasti nggak lepas di tangan kanannya mic, sedangkan di tangan kirinya rokok. Plus depannya nggak lupa ada kopi. “Kowe iku lho cung cung, jenenge santri yo rokok yo ngopi.” Gimana nggak jadi tradisi, lha wong kiainya saja malah ndawuhi. Kan harus manut sama kiai.
#2 Ngalap barokah kiai
Saya sering mengalami dan menyaksikan sendiri, serta mendengar cerita dan pengalaman teman-teman yang dulu pernah mondok kalau tiap kali pengajian usai dan kiai pergi meninggalkan tempat duduknya, biasanya kopi dan rokok jadi rebutan santri yang nderek ngaji. Dan ini hal yang wajar.
Istilahnya “ngalap barokah”. Apa saja yang tersisa—dalam tanda kutip yang baik saja tentunya—dari kiai, pasti selalu jadi rebutan. Mulai dari makanan, jajan, minuman, rokok, pun kopi. Selain itu, terkadang santri juga sering menata sandal kiai, mencuci pakaiannya, menimba air, dan sebagainya.
Saking demennya ngalap barokah, nggak jarang rokok kiai yang masih tersisa, kalau pun disebat paling cuma bisa dua tiga sebatang, jadi rebutan juga. Padahal sama kiainya sudah dibuang begitu saja dan jatuh di bawah. Saya juga heran kadang, antara ngalap barokah sama stok rokok habis beda tipis je~
#3 Enak jadi teman ngaji dan diskusi
Kembali dengan jargon “Santri yo ngaji yo ngopi”, kalau menurut saya dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Kayak induk sama anak. Ke mana dan kapan pun selalu berbarengan. Ya mau nggak berbarengan gimana, memang hidup santri selalu berputar di kedua hal itu.
Kegiatan santri, dari bahtsul masail, diskusi hingga ngaji, selalu nggak bisa lepas dengan pergumulan kopi wa alihi wa sohbihi. Kalau kata orang sih, boker enak sambil ditemani sebat. Sama dengan santri, ngaji diskusi enak ditemani rokok lan kopi. Jan wuenak e mashoook tenan, Kang.
Di sebagian pondok, yang sering mengadakan bahtsul masail bareng, panitia penyelenggara pasti siap dan siaga dengan kopi. Kalau perihal rokok, kadang dari peserta beli sendiri, tapi juga nggak sedikit yang kasih iming-iming, ngaji bareng… dapat kitab plus rokok.
#4 Kebutuhan dan camilan sehari-hari
Kalau alasan ini sedikit berbeda dengan tiga alasan sebelumnya. Nggak begitu bisa dijadikan acuan atau pertanggungjawaban, tapi ya gimana lagi memang begitu kenyataannya. Lantaran ada beberapa yang memang anti banget terhadap rokok dan kopi.
Kadang memang begitu ya, misalnya selesai atau sedang ngaji, di sakunya pasti ada rokok, walaupun cuman satu dua batang. Mau mandi nunggu antrian, daripada gabut mainin gayung dan temannya, pasti nyebat. Baru nanti ada temannya yang datang, ikut nimbrung, “Join, Kang”. Mau ngaji masih tunggu kiainya belum datang, ya sebatlah sambil muthola’ah (belajar).
Suatu hal yang nggak bisa dihindari. Menurut saya, hal semacam ini bukan hal buruk, apalagi ditanggapi dengan stereotip yang nggak-nggak, yang belum tentu mereka tahu gimana santri sesungguhnya. Santri yo ngaji yo ngopi, itu hanya suatu kebanggan bagi seorang santri pada umumnya. Iyo nggak, Kang? Ojo lali, “Join, Kang!”
BACA JUGA Stereotip Menyebalkan Masyarakat Awam pada Lulusan Pondok Pesantren dan tulisan Muhammad Lutfi lainnya.