Kelap-kelip tubuh si manusia silver memantulkan cahaya matahari. Tubuhnya hanya tertutup dua benda: celana kolor dan cat. Berdiri diam sejenak dan berpose di zebra cross. Kemudian dia berjalan mengangsurkan tangan, berharap belas kasihan dari yang menunggu lampu merah.
Sedangkan dari dalam mobil, seseorang gelisah. Dalam benaknya ia berkonspirasi perihal aktor di balik manusia kebyar-kebyar tadi. Teori konspirasi yang bisa membuat Dan Brown tertawa malu ini dituangkan dalam Twitter. Akhirnya terjadi adu argumen antar warganet.
Kira-kira itu visualisasi saya perkara geger beberapa waktu silam. Jika ada kesamaan peristiwa, ya memang saya cocok-cocokkan. Sebenarnya nggak penting-penting banget sih, masih lebih penting urusan ghosting kok.
Meskipun tidak penting, tapi teori konspirasi ini menarik. Apa benar ada dalang di balik merebaknya manusia silver yang mengemis di jalanan. Apakah seperti KLB kemarin, ada aktor intelektual dari fenomena yang (katanya) meresahkan ini? Minimal meresahkan mas-mas yang bikin teori tadi.
Dalam kerangka pemikiran mas-mas konspiratif tadi, tidak mungkin manusia silver bisa bermunculan dengan masif di berbagai kota. Dari Surabaya, Jakarta, sampai Jogja yang katanya estetis itu, bermunculan para pengamen berwarna silver. Jangan-jangan ini kerja Illuminati untuk menguasai dunia!?
Sebenarnya saya bisa-bisa saja membuat twit serupa dan mendiskusikan ini bersama warganet lain. Tapi saya memilih jalan lain: tanya langsung pada manusia silver. Metode ini mungkin terdengar asing di telinga mas-mas konspiratif tadi. Tapi tidak masalah, mungkin mas tadi tidak seselo saya ini.
Teorinya sih mudah, tinggal say hello lalu ngobrol ngalor-ngidul. Prakteknya itu yang njelimet. Mau mulai menyapa saja sudah mendapat tatapan sinis. Menjawab juga semaunya. Mungkin penampilan saya terlalu reserse untuk mereka yang sering diburu Satpol PP. Maklum sih, perut mengembang ini memang memancarkan aura polisi senior.
Beruntung saya bisa bertemu manusia silver yang punya mata batin. Maksudnya tidak langsung memandang penampilan saya, tapi hati yang rapuh ini. Bermodalkan basa-basi nggatheli, “Sak rokokan sek, Mas,” saya berhasil ngobrol dengan salah seorang manusia silver.
Demi kenyamanan sang manusia silver, saya tidak akan membagikan lokasi serta identitas pribadi. Toh memang saya tidak tanya, “KTP ndi, Bosss?” Yang jelas, manusia silver ini mengenalkan diri sebagai Jampes. Untuk warga luar Jogja dan sekitar, tak perlu search arti kata jampes ya.
Mas Jampes sudah lama menggeluti dunia mengamen. “Pokoknya sudah lama, Mas, dari kecil,” ujarnya sembari menyulut rokok. Ngomong-ngomong, pembicaraan ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia ya. Yang jelas, mas Jampes bukan penduduk Jogja. Blio merantau bermodalkan nyetrit alias menumpang truk dari salah satu kota kecil di Jawa Tengah.
“Dulu cuma bareng teman, omonge nang Jogja kuwi laris (katanya di Jogja laris buat ngamen),” ujar Mas Jampes sembari menunjuk teman lain yang juga manusia silver. Teman yang satunya terlihat kurang bersahabat, jadi saya juga sedikit jaga jarak. Obrolan sempat terhenti karena Mas Jampes ingin ngamen lagi. Saya mencoba membujuk blio dengan sekotak rokok yang baru tersulut dua batang. Tapi apa lacur, Mas Jampes memilih menjemput rezeki.
Setelah ngamen sebentar, Mas Jampes bersedia ngobrol lagi. Saya tanya kenapa kok mau jadi manusia silver. “Kemarin dikasih tahu teman kalau model seperti ini (manusia silver) itu baru laris. Jadi saya dan (nama salah satu temannya) coba ikut-ikutan,” ujarnya. Mas Jampes sebenarnya ingin mencoba mengamen menggunakan kostum boneka. Sayang sekali, terhalang dana dan malah menyahut, “Berani bayarin po, Mas?”
Setelah Mas Jampes kembali ngamen beberapa kali, saya mencoba nembak ke pertanyaan utama. “Ngamen seperti ini ada pimpinannya ya?” tanya saya dengan sok polos. Mas Jampes hanya menjawab tidak, tapi temannya menjawab dengan sedikit kasar. Intinya, jangan apa-apa dianggap ada pimpinannya.
Sepertinya saya sudah tidak diterima mereka, jadi saya undur diri. Saya berpikir, jangan-jangan mereka menyembunyikan identitas si dalang. Bisa jadi saya sedang diamati pemimpin besar manusia silver saat ngobrol tadi. Atau mungkin saya sudah ditandai oleh sindikat mereka. Edyan, udah kayak Robert Langdon aja.
Tapi saya teringat ending dari setiap novel konspiratif karya Mas Brown tadi. Jawaban dari setiap teori konspirasi sebenarnya sepele. Hanya saja kita sering membesar-besarkan teori konspirasi ini.
Tapi apa jawabannya? Mosok tidak ada koordinator manusia silver? Pasti ada penggeraknya. Pikiran berkecamuk ini membuat saya makin pusing. Terpaksa saya beli rokok tadi karena rokok sebelumnya sudah saya tinggalkan untuk Mas Jampes. Mau bilang rugi, yo ga juga sih.
Saat mau membayar rokok, saya membuka dompet. Dhyar saya belum ambil uang lagi. Uang tunai di dompet saya seperti DP rumah murah Anies Baswedan: nol rupiah! Tapi, situasi memalukan adalah jawaban yang datang dari langit! Saya sudah tahu koordinator manusia silver. Minimal koordinator Mas Jampes tadi.
Koordinator itu yang membuat Mas Jampes rela panas-panasan menjadi manusia silver. Koordinator yang sama juga membuat saya rela menolak rebahan dan bekerja. Koordinator itu bukan orang, tapi realita bahwa: kami tidak punya uang!
BACA JUGA Perut yang Lapar Lebih Berbahaya daripada Kebangkitan Komunisme dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.