Seperti yang kita tahu, membuat sebuah janji untuk ketemuan memang sudah menjadi rutinitas, entah itu hanya sekadar nongkrong atau main bareng ke rumah satu teman buat mabar atau reuni antar teman lama. Biasanya, janjian diawali dengan wacana yang muncul dari satu orang dengan niat awal hanya guyonan belaka, tetapi ditanggapi dengan serius. Selain itu, ketemuan juga bisa terjadi karena memang sudah menjadi agenda yang sudah dijadwalkan sejak awal.
Kita pun sudah sepenuhnya mengerti dan sadar bahwa ada budaya yang sulit sekali ditinggalkan, bahkan mungkin kurang afdal kalau nggak dilakukan, yaitu ngaret dari waktu yang ditentukan. Saya sendiri bukan termasuk orang yang suka ngaret karena biasanya walaupun saya sudah sengaja buat ngaret 5 menit dari waktu yang ditentukan, tetap saja jadi yang pertama datang. Sepertinya saya kurang jago untuk menjadi “ngareters” sejati.
Awal-awal sih dulu cukup kesal saat menemui hal semacam itu, tetapi lama kelamaan saya menjadi terbiasa. Cen bener pepatah sek ngomong “witing tresna jalaran saka kulina”, tur bedane aku mung kulina, ra tresna babar blasss. Ya gimana, Lur, kebetulan rumah saya pelosok dan cukup jauh dari peradaban kota di sana. Jadi, butuh perjalanan yang panjang melewati lembah dan bukit sebelum sampai ke tujuan, beda dengan kalian yang satu kali gas pun sudah sampai.
Kalau sudah begitu, saya cuma bisa menunggu dan pasrah akan kedatangan teman-teman yang kebacut telat. Saya sendiri juga memperhatikan beberapa alasan ngaret yang diberikan kepada saya untuk menunggu dan di sini saya akan membandingkan alasan-alasan tersebut. Manakah alasan ngaret yang paling sesuai dengan kenyataan dan mana yang paling fafifu?
Mandi dulu
Alasan ngaret yang satu ini cukup populer digunakan lantaran jangka waktu yang digunakan untuk mandi tak begitu lama, sehingga saya yang menjadi korban para “ngareters” diberikan harapan bahwa waktu menunggu saya tak akan lama. Yah, namanya diberi sebuah harapan, sudah pasti ending-nya bakal dikecewakan juga. Saya nggak tahu ukuran mandi negara mana yang teman-teman saya gunakan, kok ya bisa mencapai lebih dari 30 menit. Mungkin kalau cewek agak wajar karena terkadang mereka butuh dandan biar merasa PD dan persiapan lain yang saya nggak ketahui. Tapi, dapuranmu kan lanang, Bos! Biasanya datang juga pakai flannel andalan beserta sandal jepit yang nggak butuh waktu lama, Lur.
Berdasarkan sumber valid yang saya dapatkan dari biangnya langsung, mereka yang memakai alasan ini saat telat memang secara sadar tahu bahwa waktu janjian mereka segera tiba, tetapi dengan sengaja membiarkan perut mereka lapar, kondisi kamar berantakan, dan kondisi badan tak karuan. Jadi, tak hanya mandi saja yang dilakukan, melainkan kegiatan lain seperti makan, membersihkan kamar, naik haji baru mereka kerjakan saat itu juga. Pokoke macem-macem, lah! Padahal, saat waktu janjian tiba pun mereka sedang nggak ada kerjaan dan gabut scroll timeline, tapi katanya rasanya aneh saja kayaknya kalau datang duluan. Ealah jancuk!
One game
Pemain-pemain veteran dari game seperti Mobile Legends dan PUBG (Free Fire nggak termasuk karena yang main anak-anak) sejatinya ingin tetap mempertahankan keperkasaan mereka dengan terus melakukan push rank, hingga tak jarang melupakan kewajiban mereka yaitu sebuah janji ketemuan. Di saat mereka mengalami kekalahan, akan timbul rasa ingin segera mengembalikan poin rank mereka yang hilang saat itu juga, hingga mereka rela izin telat dengan alasan “one game”.
Saya sendiri mengapresiasi kejujuran mereka bahwa mereka telat karena alasan bermain game, tapi mbok yo delok-delok, Cok. Teman-teman yang lain sudah berkumpul dan meluangkan sedikit waktu mereka agar datang tepat waktu sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Eh, kalian ini malah menunda keberangkatan kalian dengan alasan “one game”. Aku yo paham dan sangat mengerti bagaimana perasaan kehilangan poin rank yang prestisius bagi pemainnya, tur mbok tulung mengko meneh le main. Sing kelangan poin sopo, sing kudu nunggu malah aku!
Sak udutan
Kata-kata legend yang satu ini memang sering kali menjadi tolak ukur seseorang sudah siap untuk melakukan perjalanan ke tempat ketemuan berada. Taktik psikologis yang dimainkan cukup mirip dengan alasan ingin mandi terlebih dahulu, tetapi “sak udutan” sendiri lebih mengindikasikan orang tersebut benar-benar sudah siap untuk berangkat karena waktu yang diperlukan untuk menghabiskan satu batang rokok paling berapa lama, sih? Nggak sampai 5 menit sepertinya.
Ternyata eh ternyata, pikiran seperti itu memang terlalu positive thinking untuk seorang “ngareters”. Saya yakin jumlah rokok yang dibakar habis memang hanya satu batang, tetapi yang membuat “sak udutan” menjadi lama adalah waktu di saat rokok akan dibakar. Setiap batang rokok tersebut akan dibakar, maka akan ada sahutan teman lain yang sedang berada dengan mereka saat itu dan mengajak mengobrol lebih lama sehingga niatan untuk membakar rokok tersebut pun sirna. Akhirnya, alasan ngaret “sak udutan” tergantikan dengan topik lain yang membuat niatnya yang ingin segera pergi dari sana pun kembali hilang.
Seperti itulah memang keadaan yang harus saya hadapi. Sekali-kali saya pengin menjadi orang ter-ngaret pada satu pertemuan, tapi kok ya rasanya ada yang ganjal dan merasa nggak enak jika benar-benar saya lakukan. Ya gimana lagi teman-teman, dunia ini memang isinya penuh dengan fafifu belaka~
BACA JUGA Kebiasaan Orang Indonesia Saat Janjian: Menyebut Waktu Salat Sebagai Waktu untuk Bertemu dan tulisan Muhammad Iqbal Habiburrohim lainnya.