Membaca buku Erich Fromm, Seni Mencintai, memberi saya gambaran bagaimana seorang ibu mencintai anaknya. Ibu mencintai anaknya tanpa syarat suatu apa pun. Bagaimanapun anak dilahirkan, bagaimanapun anak ini tumbuh, cinta ibu tetap sama. Ibu mencintai karena apa adanya kamu, tanpa membutuhkan alasan apakah kamu layak dicintai. Sayangnya sebagai anak, kadang kita kesulitan membahagiakan ibu dan membalas cintanya.
Cinta anak ke ibu dianggap cinta pasif. Sebab, tanpa memberi apa pun anak tetap dicintai ibu. Tapi, karena hal ini anak jadi nggak punya kepekaan untuk berusaha menyenangkan hati ibu. Kita hidup mengikuti keinginan hati. Padahal, setiap ibu yang melahirkan anak pasti punya cita-cita untuk anak-anaknya yang bisa menyenangkan hatinya. Lagi-lagi, meskipun cita-cita nggak terwujud, cinta ibu tetap ada.
Ketika mulai tumbuh dewasa, kita suka mengidentitaskan diri menjadi anak yang mandiri. Bisa melakukan apa pun sendiri. Menyelesaikan permasalahan sendiri. Berdiri tegak sendiri. Di satu sisi kita akan membahagiakan ibu, melihat anaknya tumbuh dewasa rasanya sudah cukup. Nggak perlu khawatir lagi, kalau meninggal kapan saja. Sebab, anaknya sudah tumbuh menjadi anak yang bisa mengurusi diri sendiri. Tapi, di sisi lain, ibu bakal sedih karena merasa kesepian. Merasa nggak lagi dibutuhkan. Merasa nggak ada lagi yang bisa diberikan untuk anaknya.
Nah, di situlah permasalahannya, meskipun dewasa adalah keharusan yang nggak terelakkan, menampilkan diri sebagai dewasa (baca: bisa melakukan segalanya sendiri) adalah pilihan. Nggak ada salahnya sedikit merepotkan ibu, kalau itu bertujuan menyenangkan hati ibu. Ibu akan senang karena merasa masih dibutuhkan, masih ada yang bisa dikerjakan untuk anaknya.
Saya jadi ingat dengan tokoh Ra Mi-ran (ibu Kim Jung-hwan), dalam drama Reply 1988. Bisa dibilan, tokoh Mi-ran ini digambarkan sebagai wanita superior. Dia yang memimpin rumah tangga. Dia bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Mengganti briket, mengurus toilet mampet, mengobati anaknya yang terluka, dan masih banyak lagi. Semua pekerjaan domestik bisa dilakukannya sendiri, meskipun kadang dibantu suami yang payah. Sampai Mi-ran merasa kalau rumah nggak bakal berjalan baik tanpa dia.
Pagi itu Mi-ran mendapat telepon. Saudaranya mengabari bahwa Ibunya sakit, dan harus dibawa ke rumah sakit. Oleh karena harus mengantar ibunya ke rumah sakit dan bakal menginap dua hari, Mi-ran khawatir dengan keadaan rumah tanpa dia. Alhasil, dia mengumpulkan anak-anak dan suami untuk diberi pengarahan gimana caranya hidup selama dua hari ke depan tanpa dia. Mulai dari mengganti briket, memasak makanan, menata pakaian, dan lainnya.
Ketika Mi-ran pergi, rumah langsung berantakan. Keluarga yang tadinya lumayan disiplin, menjadi barbar. Semua lepas celana, baju, kaos kaki, lalu buang ke sembarang tempat. Ayah menonton TV dengan memindahkan kanal pakai kaki sambil ngupil sembarangan. Jung-bong makan nasi pakai mayones, margarin, dan gula diaduk rata. Jung-hwan membuka makanan ringan sampai berserakan di lantai. Keduanya menonton TV hanya mengenakan celana pendek.
Rumah benar-benar berantakan. Lebih parah dibanding teman kos saya yang mahasiswa semester akhir. Setelah dua hari, akhirnya Mi-ran menelepon rumah untuk mengabari, kalau sebentar lagi bakal segera sampai rumah. Mendengar itu, mereka langsung kelabakan membereskan seisi rumah. Setelah semua beres, Mi-ran sampai rumah. Dia heran, tanpa dia rumah bisa berjalan dengan baik. Bukannya bahagia, justru dia bersedih. Dia sedih karena rumah baik-baik saja tanpa dia. Mi-ran Merasa kehadirannya nggak ditunggu, apalagi dibutuhkan.
Merasa ada yang aneh dengan ibunya, Jung-hwan menanyakan ini kepada Dong-ryong. Dia bilang sudah melakukan semua: bersih-bersih, mencuci baju dan piring dengan sempurna, lalu mengganti briket, makan semua lauk yang dibuatnya. Tapi, justru ini yang membuat ibunya bersedih. Dong-ryong menjelaskan yang membuat ibunya bersedih itu karena mereka baik-baik saja tanpa dia. Mengetahui ini akhirnya Jung-hwan kembali melakukan hal-hal payah demi membahagiakan ibunya.
Kakaknya dibikin melepuh tangannya seolah nggak becus bikin ramyeon, supaya diobati ibu. Ayah yang mengganti briket, dijatuhkan briketnya biar dibantu ibunya. Dia sendiri ngeberantakin pakaian mencari celana pendek yang nggak kunjung ketemu, biar dibantu ibunya. Semua dilakukan biar ibunya merasa masih dibutuhkan, dan rumah nggak bakal baik-baik saja tanpa dia. Alhasil, suasana hati ibu kembali membaik.
Terkadang hal-hal kecil kayak begitu, justru bisa membahagiakan ibu. Di depan ibu kita nggak perlu menjadi dewasa yang bisa melakukan segala dengan sempurna. Mintalah tolong pada ibu. Buatlah dia merasa masih berguna di usia tuanya. Dengan begitu ibu akan bahagia. Jadi nggak masalah menjadi anak manja, yang penting tujuannya. Sebab bagi ibu kalimat, “Mak, aku membutuhkanmu.” Itu sudah lebih dari cukup.
BACA JUGA Pengalaman Saya Jadi Teman Orang yang Dikucilkan Pergaulan Kampus dan tulisan Muhammad Rohman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.