Membaca Watak Buruk Seseorang dan Diri Sendiri dari Tingkahnya di Jalur Pendakian

mitos mendaki gunung pendakian mojok

mitos mendaki gunung pendakian mojok

Sejak turun dari pendakian pertama, saya tidak bisa untuk tidak mengamini apa yang sering orang-orang bilang, bahwa di gunung orang-orang pasti akan menampakkan watak aslinya. Ungkapan itu bukan hanya omong kosong. Selama dalam pendakian, entah kenapa saya bisa melihat detail-detail kecil dari temen-temen saya yang selama ini samar dan bahkan belum pernah saya lihat.

Tapi saat mendaki bareng, saya melihat temen saya menjadi sosok yang lain dari yang saya kenal biasanya. Dan bisa jadi itulah watak aslinya yang tersembunyi. Begitu juga mungkin temen-temen menemukan sesuatu yang berbeda dari saya selama dalam pendakian.

Seperti misalnya, kita bisa menyimpulkan seseorang bisa disebut sebagai sosok yang egois dari bagaimana caranya memandang puncak. Biasanya tipikal orang kayak gini mendoktrin dirinya sendiri bahwa puncak adalah segalanya. Tujuan utama ke gunung itu ya emang bisa sampai puncak. Lah kalau bukan ke puncak, terus mau ngapain susah-susah dan capek-capek mendaki?

Saya pernah nih, pas masih tertatih-tatih di jalur terjal bersama rombongan lain, temen saya nyeletuk, “Kalem-kalem aja, Bro. Puncak itu hanya bonus. Tujuan utama tetep pulang ke rumah dengan selamat.” Eh nggak tahunya ada yang menyahut, “Yaelah, kalau tujuan utama rumah ya mending di rumah aja, nggak usah naik gunung.”

Maka, sejak kali pertama melangkahkan kaki di jalur pendakian, pikiran dan hatinya udah auto fokus ke puncak gunung, Nggak peduli lagi apa yang terjadi di sekitar. Kalau udah gini, mereka nggak akan segan-segan buat ninggalin timnya di belakang. Bodo amat lah sama timnya yang kelelahan dan berkali-kali berhenti. Jangankan nungguin, sekadar noleh buat mastiin timnya masih ada di belakangnya aja udah kecil banget kemungkinannya.

Dan sepengalaman saya pribadi, ambisinya tersebut ternyata bukan cuma buat dirinya sendiri. Kalau cuma buat narget biar cepet sampai puncak sih, okelah masih ada pemakluman. Tapi ada beberapa yang cepet-cepetan sampai puncak emang buat membusungkan dada di depan kawan setimnya. Jadi, setelah dia bisa sampai pos terakhir lebih dulu, dia pasti bakal ngerasa sok tangguh ketimbang kawan-kawannya yang baru bisa nyusul sedikit lebih lama kemudian.  Menganggap kawannya lamban lah, kebanyakan bercanda lah, dan melempar aneka macam tuduhan.

Sementara ini orang nggak mau peduli dengan apa-apa yang sempet terjadi di jalan. Misalnya saja, perjalanan terhambat karena ada satu temen yang sering ngos-ngosan, lebih-lebih lagi kalau ada yang sampai staminanya menurun. Mestinya kan butuh jeda lama untuk menunggunya bener-bener siap melanjutkan perjalanan.

Seandainya saja tetep bareng-bareng, pastinya satu tim bisa saling rembug seumpama pendakian tidak bisa dipaksakan harus sampai pos terakhir hari itu juga. Bisa memilih mendirikan tenda di sekitar-sekitar lokasi perhentian. Bisa juga memutuskan untuk turun saja bareng-bareng seandainya kondisi kesehatan rekan setim sedang tidak baik-baik saja. Karena sebenernya, kebersamaan itulah yang bakal ngasih positive vibes buat rekan tim kita yang drop; ngasih energi tambahan yang akhirnya bikin dia kuat buat melanjutkan sisa perjalanan.

Tapi bagi orang yang mementingkan egonya, rekan setim yang sedang drop ini bukannya dikasih positive vibes, eh malah dianggep sebagai beban.

Kalau situasinya ada satu temen yang udah ngiclik dulu sampai atas kan malah bingung, ya. Misalnya kita mau ngecamp atau bahkan turun lagi, eh tapi mikirin dia yang udah di atas. Kalau ditinggalin kan ya apa bedanya gitu kita sama dia?

Oke punya target waktu dalam pendakian itu penting. Tapi yang lebih penting dari itu adalah memastikan, berangkat 8 orang (misalnya), maka sampai puncak juga harus 8 orang. Turun pun juga jangan sampai jumlahnya berkurang.

Tipikal orang egois juga bisa kita lihat dari loyalitasnya pada rekan setim. Saya ambil contoh kasus dari yang saya alami saja, ya. Ada model orang yang biasanya mokong banget nggak mau diajak gentian bawa barang-barang. Pokoknya maunya dia bawa punyanya sendiri, nggak mau kalau harus gantian manggul bawaan orang lain.

Dalam kasus bawa carrier contohnya, ada dua motif yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, karena tas bawaannya lebih ringan dan dia nggak mau kalau harus bawa yang lebih berat dari itu. Kedua, kemakan gengsi karena dia bawa yang lebih berat. Diajak gantian nggak mau karena dia pengin tampil gagah di mata orang-orang. Dan itu bisa jadi senjata baginya. Manakala ada rekan se-tim yang ngeluh, “break, break, capek.” Dengan songong nih orang bakal berujar, “dikit-dikit break, dikit-dikit break. Aku yang bawa berat aja tancap terus, kok.”

Belum lagi nanti kalau udah di tenda, pasti segala sesuatu yang dia lakukan cuma buat kepentingannya sendiri. Kayak bikin kopi cuma buat diseruput sendiri. Mendirikan tenda juga cuma yang bakal dia tempati. Ngumpulin sampah yang cuma sampahnya pribadi, dan hal-hal yang pokoknya feed back-nya personal lah. Sementara kalau emang bener-bener punya solidaritas, pasti ada lah kepekaan-kepekaan semacam bantuin temen yang belum kelar benerin tenda atau sekadar bikinin kopi buat kawan-kawan lain.

Itu baru yang selama pendakian. Setelah turun, kita juga  bisa menilai bahwa kawan kita sebenarnya mendaki cuma buat gengsi itu dari ambisi-ambisinya terhadap gunung-gunung lain. Dia langsung bikin list gunung-gunung yang akan didaki dalam waktu dekat.

Kalau urusannya cuma bikin list daftar gunung yang hendak didaki sih, wajar, ya. Tapi model orang yang gedein gengsi ini kelihatan banget grusa-grusunya. Bawannya naik gunung itu pengin digebut sekali waktu. Alasannya, “Semakin banyak dan cepat gunung yang didaki, semakin banyak dan cepat pula ego yang ditaklukkan.”

Tapi kalau grusa-grusu kayak gitu kan malah terkesan mau naklukin gunung, alih-alih menaklukkan ego, Boi. Sebab kalau mau belajar menaklukkan ego dari mendaki gunung, harusnya ya pelan-pelan, nikmati perjalanannya. Setelah turun, ambil jeda untuk merenungkan banyak hal. Termasuk menemukan kekurangan; self-reminder dari pendakian sebelumnya sebagai evaluasi untuk pendakian selanjutnya. Dengan begitu, mendaki bukan cuma sekadar mendaki. Tapi juga menggali sesuatu yang bermakna.

Ini memang perkara subtil, dan oleh karena itulah kita patut berhati-hati dan mempertanyakan  niat kita sendiri. Sejauh ini, sebenernya kita naik gunung itu buat apa? Apa jangan-jangan cuma buat memenuhi kebetuhan insta story pamer di grup WA?

BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version