Sebagai salah satu jurusan yang keberadaanya masih jarang ditemukan dibandingkan Sastra Inggris dan Sastra Jepang, saya sebetulnya sudah kebal dengan berbagai reaksi orang-orang kala mendengar jurusan kuliah yang sedang saya tempuh, Sastra Cina. Dengan reaksi-reaksi itu pula, timbul pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke stereotip mahasiswa di jurusan saya. Ketika awal berkuliah, saya sering kaget dengan asumsi-asumsi ini. Walau, saya harus membenarkan satu hal, yaitu hampir semua mahasiswa yang mengambil jurusan sastra Cina memang tidak suka dan berusaha menghindari hitung-hitungan dan segala hal yang berhubungan dengan angka dan matematika, hehehe.
Perguruan tinggi di Indonesia yang membuka jurusan Sastra Cina masih bisa dihitung dengan jari. Kalaupun ada yang tahu mengenai jurusan ini, biasanya mereka tahu kalau kampus terkenal macam UI Depok memiliki program sarjana ini. Sisanya, sebagian besar dari universitas swasta. Hal ini akhirnya membuat kami para mahasiswa s\Sastra Cina mau tidak mau masih tergolong jurusan minoritas, karena pamor dan jumlah mahasiswa kami kalah banyak dibandingkan jurusan kesusastraan lain.
Maka dari itu, izinkan saya yang berasal dari jurusan Sastra Cina ini untuk mematahkan asumsi dan stereotip yang dimiliki oleh masyarakat umum terhadap kami, para orang-orang unik yang kerjaannya ngomong bahasa pendekar pedang.
#1 Eksklusif, banyak orang peranakan
Banyak yang beranggapan jurusan ini selalu dipenuhi oleh orang-orang peranakan, sehingga kesannya kami adalah jurusan eksklusif untuk golongan tertentu dengan gaya hidup tertentu pula. Oh tidak begitu, Ferguso. Bahasa adalah sesuatu yang universal, artinya dapat dipelajari oleh siapapun tanpa pandang bulu.
Memang benar Anda bisa menjumpai orang peranakan di jurusan kami, tapi mahasiswa kami juga berasal dari berbagai macam latar belakang. Saya contohnya, wong Jowo medok tulen yang menempuh pendidikan di jurusan ini. Di kampus saya, banyak orang Batak dan Sunda yang belajar bahasa Mandarin. Ada juga orang Dayak, yang jauh-jauh merantau dari Kalimantan.
Keberagaman inilah yang membuka mata saya. Bahasa Mandarin dan Sastra Cina bukanlah sesuatu yang eksklusif. Memang benar di Indonesia bahasa Mandarin identik dengan orang-orang peranakan/keturunan Tionghoa, tapi Anda juga harus ingat bahwa bahasa tersebut adalah bahasa internasional yang bahkan menjadi bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. Ini artinya, semua orang terbuka untuk belajar dan menggunakan bahasa ini.
Di Indonesia, beretnis Tionghoa bukan jaminan bahwa seseorang pandai berbahasa Mandarin. Terlebih anak muda, biasanya sudah jarang yang melestarikan budaya berbicara Mandarin di rumah. Kalaupun ada, terkadang mereka berbicara menggunakan dialek dengan keluarganya, seperti dialek Hokkien atau Khek, bukan menggunakan bahasa Mandarin standar. Ya, awalnya ketika saya menjadi maba, saya pikir saya sudah kalah start dengan teman-teman peranakan. Ternyata tidak, kami sama-sama belajar bahasa ini dari nol.
#2 Selalu suka lihat C-drama dan hobi mendengarkan lagu-lagu Mandopop
Tidak bisa dimungkiri, melihat drama memang bisa menjadi salah satu metode untuk mengembangkan kemampuan kebahasaan kami. Tapi, tidak semua orang yang berkuliah di Sastra Cina demen lihat C-drama. Percaya tidak percaya, sebagian besar dari teman-teman saya justru pengagum K-drama. Ada beberapa alasan mengenai mengapa kami jarang sekali melihat C-drama. Pertama, episodenya banyak, terkadang sampai 40 episode lebih. K-drama kan lebih singkat, biasanya 16 episode sudah rampung.
Kedua, sebagian C-drama menggunakan dubbing. Mungkin Anda sekalian bingung, maksudnya dubbing yang bagaimana? Jadi begini, walaupun aktris dan aktornya memang orang Tiongkok, tapi suara mereka adalah dubbing suara orang lain. Dubbing ini sengaja dilakukan karena ada banyak aktor dan aktris yang berbicara menggunakan dialek/logat daerah. Dubbing Mandarin ini dilakukan supaya karakter mereka terdengar berbicara menggunakan dialek Beijing atau bahasa Mandarin yang standar. Alhasil, sering sekali ada suara percakapan yang kurang sinkron dengan gerak mulut, atau nada suaranya kurang sesuai dengan emosi pemain. Jadi males deh lihatnya.
Saya juga pernah mendengar seseorang yang nyeletuk, “Oh, pasti sering ndengerin lagu-lagu Teresa Teng sama Andy Lau ya?” Hm, nggak juga sih om, tante. Memang akan ada beberapa saat ketika kita memakai lagu mereka untuk belajar, tapi kan orang-orang itu penyanyi yang beken di zaman om dan tante sekalian. Kami kan sekarang juga hobinya ndengerin boygroup dan girlgroup hehehe. Untuk musik, tergantung selera masing-masing. Tapi, kami anak zaman sekarang setidaknya pasti mendengarkan lagu-lagu Mandopop zaman now yang gayanya sudah modern dan tidak mendayu-dayu, macam lagu-lagu produksi Luhan dan Kris ex-EXO. Dewasa ini juga banyak grup-grup seperti K-pop di Tiongkok, seperti Way-V dan Bonbon Girls 303.
#3 Pintar berdagang
Lo and behold, inilah pertanyaan yang paling sering saya dan rekan-rekan sejurusan saya dapatkan, “Nanti mau usaha apa?” Huhuhu stereotip ini rasanya berhubungan dengan label pedagang yang dimiliki orang peranakan, seperti tokoh Koh Afuk yang punya toko sembako di film Cek Toko Sebelah. Sesungguhnya, tidak semua dari kami memiliki jiwa berdagang.
Membuka usaha adalah sebuah tindakan yang perlu dihitung baik-baik. Namun, tidak bisa dimungkiri, kemampuan kami berbahasa Mandarin memang bisa memudahkan proses order barang, terutama barang-barang dari Tiongkok atau Taiwan. Tapi ya gitu, kan nggak semua orang niat jadi pengusaha, ya gak tuh?
#4 Lulus pasti jadi pengajar bahasa Mandarin
Kalau tidak jadi guru di tempat kursus bahasa, ya jadi guru Mandarin di tingkat SD-SMA. Betul, memang salah satu opsi karir kami setelah lulus adalah mengajarkan Mandarin ke siswa. Namun, hampir sama dengan poin sebelumnya, tidak semua orang di jurusan kami memiliki panggilan untuk menjadi pengajar. Opsi karier kami tidak terbatas menjadi pengajar saja. Kami bisa menjadi penerjemah tertulis, interpreter, staf dan HRD, editor, sampai konten kreator. Intinya, kemampuan kami dalam bahasa Mandarin dapat digunakan di berbagai bidang yang tidak melulu menyangkut pendidikan dan ekonomi.
Nah, sekian ceramahan saya. Mungkin lain kali kalau ketemu manusia yang berasal dari Sastra Cina seperti saya, boleh ditanya saja “Sudah tes HSK (tes level bahasa Mandarin) belum?” Supaya kami teringat akan kewajiban kami sebagai orang-orang yang wajib menguasai bahasa Mandarin dan kesusastraan Cina, hehehe.
BACA JUGA Stereotip Menyebalkan terhadap Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional dan tulisan Eunike Dewanggasani W.S. lainnya.