Siapa yang masa remajanya belum pernah nonton bokep bareng teman-teman sekolah? Saya yakin aktivitas terselubung (biar nggak ketahuan orang tua dan guru) ini menjadi jamak saat masa sekolah dulu. Artinya yang nonton adalah teman-teman dalam lingkaran usia sebaya. Tak masuk akal jika ada unsur orang tua apalagi guru yang ikut nimbrung bareng nonton bokep dengan kita.
Bagaimana kalau ketahuan? Bisa habis kaki diselepet sama tali pinggang bapak, habis cambang ditarik ke atas, atau telinga dijewer sama ibu. Apalagi ketahuan guru, bisa dipanggil guru BP dan orang tua kita diminta ke sekolah.
Tapi itu dulu, ya. Tampaknya, sekarang hal itu sudah kuno. Hal tersebut tidak lagi berlaku buat anak-anak zaman era digital 4.0. Masa di mana bocah-bocah milenial tak perlu lagi mengendap-ngendap menyimpan kaset video bokep ukuran besar dalam kotak obat nyamuk di film Warkop DKI atau keping VCD/DVD di sela-sela buku. Sekarang semua sudah berbentuk digital dan tersimpan dengan baik di usb flash drive atau hard disk komputer yang bisa dipakein password.
Lagi-lagi semuanya tetap saja tak bisa ditonton sembarangan alias harus sembunyi-sembunyi. Baik melalui layar komputer, TV, atau HP. Namun, beda ceritanya jika punya mama seperti Yuni Shara. Pasalnya, dalam wawancaranya dengan Venna Melinda pekan lalu, Yuni sudah membuktikan beliau adalah tipe bunda yang mempunyai pemikiran terbuka tentang pendidikan seks kepada anak-anaknya.
Buktinya, ia tak menafikan keniscayaan anak-anaknya nonton film porno alias bokep—jenis anime dan jenis-jenis lainnya. Yuni Shara berterus terang mengizinkan anaknya nonton bokep. Malah beliau menemani anaknya dan menjelaskan gimana-gimananya adegan seks dalam film tersebut. Wow!
Jujur dalam hati saya cukup kaget juga. Apakah sefrontal itu pendidikan seks yang dilakukan orang tua ke anak-anaknya zaman sekarang? Apalagi ini cukup antimainstream bagi orang Timur seperti Indonesia. Entah ini karena Yuni Shara artis atau tinggal di Jakarta kota metropolitan. Atau karena memang saya yang masih kolot?
Menyebut pendidikan seks di depan anak-anak saja rasanya masih agak tabu dan malu-malu. Palingan pendidikan seks yang saya kenalkan ke anak saya yang balita dengan pengenalan organ seksual mereka. Menyebut penis juga masih memakai istilah titit atau burung. Begitu juga vagina masih dinamai pepep atau pepek.
Sejauh ini, saya dan istri mengedukasi anak-anak sebatas menjaga kebersihan organ reproduksi mereka. Memberi tahu mereka, siapa saja orang-orang yang boleh melihat tubuh mereka saat polos, siapa saja yang dapat memandikan dan mengganti baju mereka, hingga bagian anggota tubuh mana saja yang dapat dan tidak dapat disentuh orang lain selain orang tua mereka.
Jadi, saya pikir apa yang dilakukan Yuni Shara memang cukup antimainstream. Ia tak hanya mengizinkan anak-anak nonton bokep, tapi juga menemani mereka nonton bokep sambil menjelaskan hal-hal yang tak diketahui anak-anaknya. Mengizinkan dan menemani, saya pikir maknanya akan sangat berbeda. Kalau mengizinkan hanya memberi izin menonton tanpa ada kehadiran orang tua secara fisik. Tapi menemani? C’mon, duduk bareng sama anak-anak nonton film bokep? It’s still amazing!
Saat ini kebetulan anak-anak saya belum mencapai usia remaja SMU, jadi saya belum bisa menerapakan pendidikan seks ala Yuni Shara. Membayangkannya saja belum. Terbayang menemani anak nonton bokep saja masih hal yang nggilani menurut saya. Apa nggak risih si anak nantinya? Hati kecil saya masih bertentangan.
Namun, di balik itu saya pikir cukup bagus juga jika anak-anak mendapatkan sumber informasi tentang kegiatan seksual dalam film bokep dari orang tuanya langsung. Sumber yang dapat dipercaya. Apalagi seorang ibu disebut dalam pepatah Arab adalah sekolah pertama bagi anak. Apakah termasuk pendidikan seks? Saya pikir iya. Daripada anak-anak mendapatkannya dari sumber yang tak jelas dipertanggungjawabkan validitasnya, kan?
Banyak kita saksikan, kurangnya pendidikan seks dari orang tua jadinya malah anak-anak mencari maknanya di luar rumah. Dan yang nggilani bentuk pencariannya dengan mempraktikkannya. Kita tau hormon dophamin di otak yang merekam kesenangan temasuk kesenangan menonton film bokep membuat penonton merasa semakin terobsesi. Akibatnya, terjadi pencabulan, pemerkosaan akibat pengaruh menonton film bokep yang “tanpa batasan” tersebut.
Film bokepnya diberangus dan si anak dipenjara. Paling parahnya, ada korban yang harus mengalami penderitaan dan trauma. Padahal bisa jadi masalah utamanya karena pendidikan seks di lingkungan keluarga pelaku yang tak didapat, di mana membicarakan seks secara frontal masih tabu bagi orang tua ke anak remajanya.
Saya pikir pendidikan seks ala Yuni Shara Shara patut diuji cobakan. Atau, ia dijadikan riset terlebih dahulu melibatkan beberapa responden penelitian yang bersedia secara suka rela. Maka, hasilnya nanti dapat dilihat seberapa jauh efek pendampingan menonton film bokep oleh orang tua terhadap perilaku anak. Apakah tambah meluap-luap ataukah semakin terkendali karena literasi pendidikan seksualnya sudah didapatkan dari lingkaran keluarganya, yakni orang tua sendiri.
BACA JUGA Belajar Pendidikan Seksual dari Lagu-lagu JKT48 dan tulisan Suzan Lesmana lainnya.