Saya sangat menikmati analisa dari Mas Muhammad Sabri dalam artikel tentang femme fatale. Blio berhasil mengangkat isu patriarki yang selama ini mengalami normalisasi. Menjadikan perempuan sebagai sosok “pembawa bencana” adalah ide menyebalkan. Dan dunia perfilman kita merasa isu ini layak tayang. Kan nggatheli.
Tapi, tanpa mengurangi rasa hormat, Mas Sabri telah salah paham dalam menerjemahkan arti femme fatale. Sayang sekali, artikel yang sukses membuka mata tentang isu patriarkis harus dilandasi salah paham. Maka, artikel ini bukan untuk membantah opini Mas Sabri. Semata-mata meluruskan konsepnya.
Femme fatale bukanlah simbol perbudakan gender. Alih-alih menunjukkan kekuatan perempuan. Dengan “keperempuanan”, ia telah melampaui kekang patriarkis. Meskipun masih terjebak dalam konsep-konsep seksis yang melandasi patriarkis.
Jadi begini. Mas Sabri menyebutkan bahwa femme fatale adalah istilah dari bahasa Prancis. Femme berarti perempuan, dan fatale berarti bencana. Sampai sini, Mas Sabri telah tepat menunjukkan asal mula istilah ini.
Tapi, femme fatale tidak berarti perempuan yang membawa bencana. Setidaknya tidak sesederhana itu. Dua kata ini tidak bisa diterjemahkan mentah-mentah.
Menurut Cambridge Dictionary, femme fatale berarti perempuan yang sangat menarik dalam hal yang misterius, yang biasanya mengarahkan pria pada bahaya atau menyebabkan kehancuran. Mungkin, Mas Sabri menggunakan definisi ini. Tapi, definisi ini bukan berarti perempuan sebagai pembawa bencana.
Seorang perempuan dengan reputasi femme fatale akan menggunakan unsur feminim (kecantikan, keramahan, bahkan seksual) untuk mencapai tujuan tersembunyi. Nah, istilah “fatale” atau fatal ini merujuk pada dampak ketika perempuan tersebut mencapai tujuannya. Pihak yang menjadi jalan menuju tujuan itu akan berada pada posisi fatal tadi.
Mari kita bayangkan sebuah plot. Seorang perempuan cantik berniat untuk menghancurkan bisnis narkoba. Dengan kecantikannya, perempuan itu berusaha mendekati sindikat narkoba tersebut. Paras dan pembawaannya membuat si bos sindikat jatuh hati (atau berhasrat) dan percaya pada perempuan tadi.
Dengan kepercayaan yang bersumber dari paras, perempuan itu bisa melakukan apa pun di dalam sindikat. Membocorkan distribusi narkoba, mengadu domba, atau membunuh bos sindikat langsung. Pemirsa, inilah konsep femme fatale yang tepat.
Konsep ini moncer bersama film-film James Bond. Terutama ketika karakter perempuan tadi adalah bagian dari kelompok mafia. Memanfaatkan paras rupawan hingga seksualitas, perempuan tadi memancing protagonis ke dalam jebakan yang fatal.
Namun, konsep femme fatale juga berkembang. Istilah tersebut bisa diartikan sebagai perempuan cantik dan seksi namun berbahaya. Berbahaya di sini lebih kepada kemampuan perempuan itu untuk membunuh dan bertarung. Kecantikan tadi berfungsi sebagai kedok.
Konsep kedua ini sering digunakan pada sosok psikopat. Perempuan yang haus darah sering dikemas sebagai sosok yang sangat menggoda. Godaan ini melemahkan sasaran ketika berhadapan dengannya. Tiba-tiba, gludak, sang sasaran jatuh tersungkur dalam keadaan tak bernyawa.
Contoh paling mudah dari konsep kedua ini adalah Harley Quinn. Pacar dari Joker dalam serial Batman selalu dikemas sebagai sosok cantik nan seksi. Namun, di balik keseksiannya, sang ratu kriminal Gotham City bisa membunuh penghalang keinginannya. Terutama sosok laki-laki seperti Robin.
Ada juga Boa Hancock yang berasal dari manga One Piece. Sang ratu bajak laut ini dikenal sebagai perempuan tercantik di dunia. Sayang sekali, siapapun yang tergoda pada dirinya akan berubah menjadi batu. Menurut saya, Boa Hancock adalah sosok femme fatale paling sempurna.
Bicara soal menggoda, femme fatale tidak melulu bicara relasi heterogen. Seorang perempuan juga bisa menggunakan pesonanya untuk menaklukkan sesama perempuan. Mereka sering terlihat sangat anggun sehingga tidak tampak berbahaya sama sekali. Tapi, stiletto miliknya mampu melubangi ubun-ubun musuh.
Beberapa tokoh sejarah juga mendapat gelar femme fatale. Sebut saja Cleopatra. Ratu dari Mesir ini dikenal berparas sangat cantik pada masanya. Kecantikan ini dimanfaatkan untuk menaklukkan Julius Caesar dan Mark Anthony.
Inilah yang membuat saya ingin meluruskan konsep Mas Sabri. Tapi, bukan berarti saya serta merta menerima konsep ini. Meskipun terdengar hebat, tapi konsep femme fatale tetap penuh nuansa patriarkis.
Kecantikan perempuan dipandang sebagai bukti perempuan itu lemah. Seolah-olah perempuan cantik tidak punya kemampuan untuk membunuh musuh superior. Dan, konsep kecantikan yang menipu mengesankan perempuan hanya istimewa ketika memiliki paras rupawan.
Tapi, bukan berarti perempuan selalu membawa bencana. Konsep film di Indonesia masih saja menempatkan perempuan sebagai sumber masalah. Tapi, ini bukan femme fatale. Ini semata-mata adalah cara pikir patriarkis ketimuran yang memuakkan.
BACA JUGA Yogyakarta yang Istimewa Tengah Putus Asa Ditelanjangi Covid-19 dan artikel Prabu Yudianto lainnya.