Sebelumnya, mari segarkan kembali ingatan kita tentang kenyataan kesenjangan gender di negeri ini. Berdasarkan survei World Economic Forum (WEF) dalam The Global Gender Gap Report 2020, Indonesia masih menempati posisi ke-85 dari 153 negara dalam hal gap antar gender. Sedangkan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, menunjukan sekitar 400.000 perempuan menjadi korban kekerasan dan KDRT menjadi kasus dengan laporan terbanyak.
Menghilangkan kesenjangan gender dalam suatu negara memang bukan perkara mudah. Apalagi Indonesia masih berpegang pada sistem patriarki baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, sampai bernegara.
Untuk mewujudkan kesetaraan gender, diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, salah satunya media. Media punya fungsi pengawasan untuk mengontrol masyarakat atas berbagai isu sosial yang terjadi. Isu-isu sosial ini seringkali sensitif untuk dibahas, sehingga dipilihlah media yang tepat dalam penyampaiannya, salah satunya film.
Sebagai salah satu media komunikasi, film turut berperan menanamkan nilai dan membentuk realitas sosial di masyarakat. Selain itu, film juga mampu menjangkau emosi penontonnya. Ditambah lagi film lebih dikenal sebagai media hiburan semata oleh masyarakat. Hal itu tentunya semakin memudahkan film dalam menyampaikan isu-isu sosial. Sehingga film seringkali menjadi alat propaganda baik disengaja maupun tidak.
Dalam film, isu-isu sosial tersebut tentunya didramatisir sedemikian rupa agar pesan yang ingin disampaikan tidak terlalu frontal dan tidak menyinggung seseorang atau sekelompok orang.
Salah satu keresahaan saya yang muncul akhir-akhir ini adalah karena kemunculan sinetron yang tayang mulai siang hari di salah satu saluran TV nasional. Sinetron ini punya satu premis sederhana: Seorang perempuan yang diselingkuhi oleh suaminya karena sang suami tergoda wanita seksi.
Dari jam tayangnya saja, kita tahu kalau tontonan ini sangat mungkin untuk disaksikan oleh anak-anak di bawah umur sepulang mereka sekolah. Seperti yang kita ketahui, anak-anak paling cepat menyerap informasi yang mereka lihat atau dengar. Jika tayangan ini disaksikan oleh anak-anak, ini jadi semacam penanaman budaya patriarki dan sifat dasar gender ke generasi berikutnya.
Tema Cerita
Perkara perselingkuhan yang menjadi cerita andalan dalam sinetron ini cenderung mengiyakan kalau perempuan memanglah “mahluk visual”. Dalam tayangan ini peran perempuan selingkuhan ditampilkan sebagai sosok yang cantik dan ‘terbuka’, sehingga membuat laki-laki tergoda. Sedangkan peran istri sah si laki-laki ditampilkan sebagai sosok lemah lembut dan ‘tertutup’. Ini semacam mengamini kalau perempuan adalah obyek seksual yang mana akan lebih menarik bila perempuan menonjolkan daya tarik fisik dibanding akhlak.
Peran dan Stereotip
Salah satu bentuk ketidakadilan gender, stereotip, tercermin dalam sosok perempuan selingkuhan yang mendapat peran sebagai si jahat (antagonis). Peran seperti ini sudah pasti mendapat citra buruk, jahat, penentang, dan lain sebagainya di mata penonton. Selain itu, peran perempuan simpanan ini pun digambarkan sebagai perempuan yang bebas, berani, dan aktif (di ranah publik). Di sinilah stereotip perempuan terjadi. Perempuan yang berpakaian ‘terbuka’ bebas, berani, dan aktif akan dicap sebagai perempuan nakal, vulgar, perempuan simpanan, dan dianggap menyimpang dari sifat dasar gender mereka.
Sementara itu, peran perempuan sebagai istri sah dalam tayangan ini digambarkan sebagai sosok yang bertanggungjawab atas peran domestiknya (menjaga anak, berbelanja, memasak, dan sebagainya) dan patuh pada suami, sehingga dikategorikan sebagai perempuan baik (protagonis). Begitupun di mata penonton. Lalu apakah perempuan atau istri yang baik adalah yang selalu patuh pada suami dan tekun menjalankan peran domestik? Entahlah.
Di samping itu, sosok pria dalam tayangan ini digambarkan sebagai sosok yang bebas, dominan, dan pengambil keputusan. Dalam tayangan ini laki-laki seolah berhak memilih perempuan mana yang ia inginkan dengan bebas, padahal si laki-laki sudah memiliki istri sah. Sang istri digambarkan tidak punya kekuatan untuk melawan atau menolak tindakan suami. Interupsi kala perdebatan di antara keduanya terjadi pun lebih sering dilakukan si laki-laki dan perempuan cenderung memberi respon yang melemahkan posisinya.
Kekerasan
Tindak kekerasan terhadap perempuan juga tak lupa dipertontonkan dari tayangan ini. Perihal kekerasan, kita mengenal beberapa bentuk seperti kekerasan verbal, fisik, seksual, psikis, dan ekonomi. Kekerasan verbal menjadi ‘makanan’ si istri sah dan hal ini menyerang psikisnya, membuatnya merasa takut, tidak percaya diri, atau bahkan trauma. Sedangkan kekerasan ekonomi muncul ketika sang suami mulai tertarik untuk menghabiskan uangnya dengan si perempuan simpanan, kemudian enggan untuk menafkahi istri sahnya.
Akhir Cerita
Dikarenakan tayangan ini bernuansa religi, taubat pun dipilih untuk menyelesaikan cerita dan kemungkinan besar si pria akan hidup bahagia kembali bersama istri sahnya. Terlepas dari bahasan agama, tindakan “taubat” yang dipilih sebagai akhir cerita seolah-olah menunjukan kalau tindakan laki-laki sudah selayaknya dimaafkan. Bila laki-laki tertarik dengan perempuan yang lebih cantik dan seksi, itu memang sudah sifat dasar mereka. Sedangkan, perempuan yang menjadi ‘simpanannya’ sudah selayaknya menyesali perbuatannya karena sudah menggoda suami orang.
Ini adalah sedikit gambaran bagaimana isu kesetaraan gender dikonstruksi dalam sinetron di Indonesia. Dari tayangan ini kita bisa menentukan dua hal, apakah media sedang berperan sebagai pengawas tentang bagaimana indikator kesetaraan gender berjalan dan dijalankan di masyarakat, atau justru sebagai bentuk melestarikan budaya patriarki itu sendiri, entahlah.
BACA JUGA Pengalaman Saya Menonton Sinetron Azab di Indosiar atau tulisan Husen Mulachela lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.